Sunday, October 21, 2007

Suatu Malam di Tepi Pantai

Aku melihat empat anak kecil duduk di tepi pantai. Tiga laki-laki, dan satu perempuan. Ketika kudekati mereka terperanjat dan terkejut. Wajahnya berkerut dan kusut. Kulitnya hitam. Rambutnya merah keriting. Hidungnya mancung. Dan badannya kurus kerempeng. Sepertinya, mereka kurang mendapat perawatan yang cukup.

Duh, siapa dan di mana orang tua mereka,” batinku.

Kusapa. Dan kusalami anak-anak kecil itu. Mereka membalasnya, lemas. Kemudian kutanya satu-persatu. Mulai dari nama, orang tua, dan tempat tinggal. Mereka menimpali semua pertanyaanku dengan suara serak. Kelopak matanya sembab. Tangan kecilnya seraya menggosok-gosok kedua matanya yang sembab air mata. Tangis pecah. Mengharukan.

Sepertinya, angin pun enggan berbisik lirih.

Ah, kelopak mataku sembab pula. Setetes, dua tetes, tiga tetes, sampai empat tetes jatuh berangsur-angsur. Kuambil kertas tisu sebanyak lima lembar. Kusodorkan pada mereka satu-persatu. Tapi, mereka enggan menerimanya. Salah satu dari mereka bertanya, “buat apa kertas putih ini?”

Sambil tersenyum, kujawab pertanyaannya yang polos itu. “Simpanlah kertas ini sebagai kenang-kenangan.” Seketika wajah mereka sumringah, dan senyumnya mengambang.

-$$$-

Mereka bukan hanya menderita, lebih menyedihkan lagi mereka mengarungi hidup di tepi pantai. Tanpa orang tua, tanpa sanak keluarga. Pagi dan siang mereka mencari rumah-rumah tak berpenghuni yang rusak dan kotor untuk ditempati sebagai persinggahan. Jika menjelang sore, dan sampai larut malam mereka berada di tepi pantai. Katanya, menunggu rejeki Tuhan dari tangan-tangan manusia yang sedang berwisata.

Mereka makan dan minum sesuai rejeki yang diperoleh. Terkadang tidak sama sekali. Raib. Kosong. Waduh!

Wah, rupanya kelopak mataku sembab pula. Mendung bergelayut di atas kepalaku. Kristal bening itu luruh. Kaos dan tas yang kukenakan basah. Anak-anak kecil yang duduk di dekatku terkejut melihat air mataku berair. Dahi mereka berkerut. Sepertinya mereka hendak bertanya, “kenapa Tuan menangis?” Tapi, pertanyaan itu tidak terucap. Bungkam. Yang kudengar hanya bisik-bisik lirih. Entah, apa yang mereka bisikkan. Aku tak tahu!

Suasana hening seketika. Tidak kudengar lagi bisik-bisik dari mereka. Sepi sejenak. Dan isak tangisku pun mulai reda. “Aku cengeng,” gerutuku.

Kuhapus sisa-sisa butir air mata dengan kertas tisu. Lalu kulempar kertas tisu itu ke dasar laut. Hanyut ditelan ombak. Anak-anak kecil itu menyimak ulahku. Tanpa berkedip. Lalu secara bersamaan mereka pun meniru apa yang barusan aku lakukan itu. Mereka juga menghapus kelopak matanya yang sembab. Dan ketika selesai, mereka tidak melemparnya ke laut.

“Kenapa?” Tanyaku heran.

“Karena kertas ini adalah kenang-kenangan yang telah Tuan berikan pada kami,” serantak suara mereka bersamaan. Dan kertas tisu itu dimasukkan dalam sakunya masing-masing.

Hatiku berdetak kagum.

Tubuh mereka memang kecil dan kurus kerempeng. Tetapi mereka mempunyai jiwa besar. Aku merasa malu dan tersindir oleh kata-katanya. Tubuhku yang besar, nyatanya sangat lemah dan gampang menyerah, gampang lupa terhadap tanggungjawab. Sementara mereka, anak-anak kecil kere, yang tidak tahu apa-apa mempunyai pendirian yang sangat kuat. Dan tegar.

Sepertinya, angin pun enggan berbisik lirih.

Ah, kelopak mataku sembab lagi. Setetes, dua tetes, tiga tetes, sampai empat tetes jatuh berangsur-angsur. Kugunakan kedua tangan untuk menggosoknya. Persis seperti yang dilakukan anak-anak kecil tadi. Barangkali, aku meniru gaya mereka. Entahlah.

Setelah itu aku melanjutkan sisa obrolanku dengan mereka. Dan selesai...

Sebelum aku pergi, kuambil selembar uang. Kuberikan pada yang lebih besar. Wajah mereka tersipu malu. Sungging senyum tipis menggantung di lekuk bibirnya yang kering. Mereka gembira. Kemudian anak-anak kecil itu menyalami dan mencium tanganku, “terimakasih, Tuan! Ternyata rejeki Tuhan datang menyapa kami malam ini. Entah, esok nanti.” Suara mereka terucap pelan, tapi jelas. Dan pasti.

Aku pergi. Dan kulihat wajah mereka kegirangan. Saling kejar-kejaran dan lompat-lompatan. Hilang dikerumunan para wisatawan.

Aku berjalan gamang. Masih segar dalam ingatanku ucapan anak-anak kecil itu. Sebuah ungkapan yang semestinya keluar dari bibir orang dewasa, tapi anak-anak kecil itu mampu membuatku bengong. Termangu. Tak percaya. Kelopak mataku kian membesar. Heran. Mendengarkan kata-katanya yang sangat bijak itu.

Sepotong senyum pun merona menghias malam yang kian temaram.

-$$$-

Suasana di tepi pantai semakin malam semakin ramai. Aku terus berjalan menyusuri tepi pantai. Setelah jauh dari keramaian, aku duduk menepi sendirian. Sambil menikmati irama musik mp3, tanganku bermain dengan pasir. Kaki kubiarkan dijilat air laut. Dingin merasuk. Mulutku tiada henti bercanda dengan geliat ombak yang bergemuruh. Kadang seperti penyair, terkadang pula seperti orang sinting.

Kusapa alam, laut, samudera, dan ikan-ikan kecil yang menari-nari. Kupandangi langit, awan, bintang, dan rembulan yang berlayar.

“Indah...” Gumamku pecah.

Angin membelai rambutku. Damai.

“Hi...” Tiba-tiba suara perempuan memecahkan keheningan. Aku menoleh ke belakang. Heran!

Perasaan masih tidak percaya. Masak iya... Kugosok-gosok kelopak mata memastikan benarkah dia yang datang. Dan ternyata... Benar! Dia yang datang.

Seorang perempuan yang kutahu sejak dulu. Dan baru kemarin aku bisa mengenalnya. Sekarang... Entah kehadirannya membingkai cerita apa dalam hatiku. Aku lupa. Tapi, aku bahagia. Sebab, dia telah mengenalku kini.

“Entah, darimana dia tahu kalau aku berada di sini.” Hatiku berbisik. Bimbang. Ragu. Bahagia. Ceria. Berbaur dalam otakku.

Dia menghapiriku. Dan duduk di sebelahku.

Wajah ayu, sorot mata yang teduh, dan sebentuk senyum indah serta lekuk bibir merah, terpancar laksana dewi malam. Aku terpana, tapi bukan karena cinta. Aku kagum. Terpesona. Detak jantungku kian berdegub tak teratur.

-Alang-alang rerumputan, bulan rebah di atasnya. Alang-alang rerumputan, angin membawa bau harum rambutnya.-

“Indah ya pemandangan di sini,” suaranya mengalun lembut. Memecahkan keheningan. Mengusir kegaduhan.

“Iya,” jawabku pelan.

“Sendirian aja nih!” Tanyanya. “Pasti cari inspirasi ya...? Wow, memang pekerjaan seorang sastrawan. Menjauh dari keramain, mendekam dalam kesepian. Keren...” Lanjut perempuan itu. Sesungging senyum menggantung di lengkung alis mataku.

“Tidak lama, juga tidak sebentar.” Jawabku sedikit terbata-bata. Masih kaku.

“Boleh aku temenin?” Dia melontarkan sebuah pertanyaan yang memang kutunggu-tunggu. Kok gak mulai tadi pertanyaan itu kau ucapkan. Hatiku.

Dan aku menimpalinya, “oh, silahkan!” Wajahku sumringah, persis seperti anak-anak kecil ketika kuberi selembar uang.

Kemudian obrolanaku dengannya mengalir seperti air laut. Indah. Romantis.

-$$$-

Langit cerah bertabur bintang dengan gemerlap cahaya sang dewi malam menghias kelam. Gemuruh ombak, kecipak air laut, dan ikan-ikan kecil seolah menjadi teman setia di tepi pantai ini.

I’m here without you baby but your still on my lonely mind I think about you baby and I dream about you all the time I’m here without you baby but your still with me in my dreams And tonight it’s only you and me

Lagu 3 Doors Down mengalun syahdu di telingaku. Aku larut menikmati syair-syairnya.

Dan setelah selesai kunikmati lagu itu, tiba-tiba dia pamit pulang. Sebelum pergi dia berkata, “aku pulang dulu yah! Udah malam nih! Sorry, gak bisa lama nemenin kamu di sini.” Aku tersentak.

“Oh, iya. Gak apa-apa. Silahkan!” Suaraku gugup. Tidak bersemangat. Sepertinya, aku tidak ingin dia pergi secepat ini. Tapi apalah daya malam semakin larut. Petang.

Dan, dia pergi meninggalkan kenangan.

Hatiku berbisik melihat kepergiannya, “terimakasih... Engkau telah sudi menemaniku malam ini. Dan esok, aku akan kembali menunggumu di tepi pantai ini.” Mulutku bergetar. Batinku berteriak. Sebab aku masih ingin berdua dengannya. Namun, sepi. Suasana kembali sunyi.

Hening seketika.

Perempuan itu semakin jauh dariku. Aku melihat kepergiannya ketika bisu menelan ragu. Waktu diam membisu. Lesu merunduk kelam. Di tepi pantai aku tertunduk lesu. Mungkin aku menyesali, mungkin juga menangisi. Atau bisa jadi, aku malah tak ingin jauh darinya. Entahlah...

Hanya desau angin yang selalu berbisik lirih; tabahlah.

-$$$-

Kini, senyumnya masih merekah di kelopak mataku. Aku terpesona. Aku memujanya. Aku mengaguminya. Tapi bukan untuk menulis keindahannya. Sebab laut pun tidak akan cukup kujadikan kuli tinta.

“Biarlah kehadirannya menjadi bingkai cerita indah di pantai,” aku mengakhiri keluh-kesah kala seluet fajar menyingkap tabir malam. Cerah melumat kelam.

Pagi datang menjelang. Malam pergi bertandang.


Zues, 25 Juli 2007
Di Zues kau pergi meninggalkan kenangan.