Thursday, November 22, 2007

Kenapa Aku yang Kau Pilih

Kenapa aku yang kau pilih?

Tanyamu pada suatu sore

Kemudian kujawab pada larut malam;

Sebab engkau manusia yang dapat kusentuh

dapat pula kupeluk

Maka di situ

kutemukan sebuah imaji

yang hidup dalam naluri

Coba engkau rembulan yang tak bisa kusentuh

tak bisa pula kupeluk

Maka di sana

takkan kutemukan sebuah imaji

yang hidup dalam naluri


Rabea El-Adawea, 23 Juni 2007
"Malam mengusik mimpiku; Tentangmu."

Manusia

PADA SUATU SORE. Ketika seluet senja mulai menyentuh garis katulistiwa. Aku duduk di bangku merah. Bangku yang menjadi tempatku menunggu kereta. Dan di tempat ini aku dapat menyaksikan berbagai bermacam bentuk kegiatan yang dilakukan oleh anak manusia. Mulai dari yang membaca koran, mengotak-atik telpon genggam, ada yang sambil main gitar, dan ada pula yang hanya duduk terdiam, termangu, tertidur dan yang lainnya itu..., terlalu buang-buang waktu aku menyebutkannya. Karena mungkin, aku bagian dari mereka. Entahlah...

“Barangkali di sinilah tempat yang cocok untuk melihat seberapa besar tembok kesabaranku,” gumamku. Suara itu menggumpal di mulutku. Tidak pecah.

Tiba-tiba ada perempuan tua melintas di depanku menggendong seorang anak kecil. Melihat itu aku jadi teringat sahabatku semasa kecil. Kancil namanya. Ia lahir dari keluarga kaya raya. Hidup serba mewah. Tapi sayang... Ia harus rela menelan pahit kehidupannya tanpa sebuah kasih sayang dari orangtuanya. Kukira ia tersiksa. Dan begitulah...

Kubaca kehidupanku. Membuatku semakin sadar. Bahwa uangpun hanya cukup sekedar mengisi kekosongan perut. Kalau ada, jika tidak, maka air yang aku teguk sebagai pengganti. Perih memang, tapi ini tidak akan sebera perihnya dibanding kesusahan kedua orangtuaku.

Bapak dan ibu bekerja banting tulang siang dan malam. Peras keringat kesana-kemari. Siang, bapak bekerja sebagai kuli bangunan, malamnya menjadi tukang becak. Sedangkan ibu, siang menjual ikan, malamnya membuka warung kopi. Begitulah bapak dan ibu bekerja siang dan malam agar sekolahku tetap berjalan lancar. Mereka rela walau dirinya terlonta-lonta.

Pernah suatu hari...
Hanya karena ingin melihatku mendapatkan selembar Ijazah SMA, ibu sampai menjual cincin yang diberikan bapak sewaktu akad nikah dulu. Alasannya, agar aku tetap bisa mengikuti ujian UNAS. Hatiku berdetak kagum, “kasih sayangmu sungguh luar biasa, Ibu.” Kala itu segurat senyum kegembiraan nampak menghias lekuk bibir ibu. Tidak pernah kutemukan garis-garis kekecewaan tersirat di kening ibu. Demi aku, ibu rela tersiksa dan menderita.

“Terimakasih, Bapak... Terimakasih telah mengajarkan sikap tegar kepadaku. Dan terima kasih, Ibu... Terimakasih telah mengajarkan sikap sabar kepadaku.” Bunyi surat yang kutulis sewaktu lulus SMA dulu.

Dan pada suatu pagi. Ketika perut sampai tiga hari tidak makan. Aku pernah meratap dan bersedih. Yah, aku masih ingat kejadiannya. Waktu itu, kiriman yang biasanya tepat waktu, kini terlambat. Entahlah, mungkin orangtuaku lagi kesusahan di sana, atau barangkali masih berusaha peras keringat mengumpulkan uang untukku di sini. Pikirku sedih.

-Terkadang rasa hanya tahu manisnya, tanpa mau tahu pahitnya-

Kalimat di atas, secara tidak sengaja menyindir kehidupanku yang tidak mau berusaha dan bekerja. Bisanya hanya menunggu hasil jerih payah kedua orangtua. Jika terlambat, meratap dan bahkan bersedih sepanjang hari. Aku sadar... Sebagai manusia yang lemah dan egois, maunya enak sendiri. Enggan mencari dan menutupi dengan usaha sendiri.

“Ah, apalah aku ini...” Ada perasaan yang berkecamuk di sana.

Tapi aku mencoba untuk menahannya. Aku berusaha untuk tidak menyesali kehidupan ini. Aku tidak akan pernah menyerah, apalagi sampai putus asa. Tidak akan pernah... Tekadku. Aku takut memupuk dosa terhadap kedua orang tuaku, apalagi kepada Tuhanku di atas sana. Tidak!!!

“Aku harus bisa mencontoh ketegaran bapak dan kesabaran ibu,” batinku tiba-tiba.

Saya bukan binatang. Saya manusia,” seketika dua kalimat itu kembali terurai dalam ingatanku. Entahlah, aku mendengar suara itu dari mana. Aku lupa. Tapi aku pernah mendengarnya dari seseorang yang berkata demikian, entah itu di mana.

Dan, “Saya dilahirkan dari rahim manusia. Bukan dari perut binatang,” semakin kuat pula kalimat itu menyentak dalam memoriku. Ah, semakin berkerumunan pula pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari benakku. Telingaku. Mataku. Hidungku. Mulutku. Dan semua organ tubuhku.

“Benarkah aku manusia?” Ah, kenapa aku malah jadi memikirkan hal itu.

Hening.

Sinar matahari kian merambat pelan. Senja temaram di pelupuk mata. Di bangku merah tinggal aku sendiri. Lambat-laun semakin tak tersisa orang-orang yang tadinya berada di pinggir jalan. Mereka mulai beranjak pulang dengan raut muka tertunduk lesu. Sementara pemuda yang tadinya duduk di sampingku berlalu gontai. Jalannya sempoyongan.

Jalanan semakin sepi. Kereta yang sejak tadi kutunggu belum juga datang. Kini sepertinya aku mulai kesal, keki dan marah.

“Buang jauh-jauh sifat keegoisanmu, Nak! Dan belajarlah menghargai waktu,” pesan Bapak tiba-tiba menggantung di lengkung alis mataku. Mungkin karena pesan itu hatiku mulai mencair. Seperti ada tetesan embun yang dingin. Kobaran amarah itu mulai padam rupanya.

###

Adalah orangtua yang menginginkan anaknya lebih baik dan tidak menderita seperti yang pernah dialaminya. Barangkali, memang benar tidak ada orangtua yang menginginkan anaknya semakin buruk dari pengalamannya. Orangtua mana yang tega membiarkan masa depan anaknya terbengkalai, tentunya tidak ada. Justru, orangtua akan selalu berharap agar lebih baik. Dan mendoakan supaya apa yang dicita-citakan anaknya diraih dengan sempurna. Sepertinya memang tidak ada. Pikirku masih mengambang. Tidak yakin.

“Cita-cita seorang anak akan mudah terwujud jika mendapat restu dan doa dari kedua orangtuanya,” pesan Bapak melintas di benakku kini.

Semula aku ogah-ogahan menyakini kebenarannya. Namun, setelah sekian lama aku berpisah dari mereka baru sekaranglah aku menyadari bahwa ungkapan itu benar. Nyatanya, setiap pesan orangtua merupakan doa serta landasan untuk berpijak bagi si anak. Baik itu kesuksesan dan keselamatan dunia maupun akhirat. Orangtua merupakan suri tauladan kedua setelah Baginda Nabi. Atau bahkan yang pertama.

Tengok, seekor harimau saja masih melindungi anaknya dari marabahaya. Lalu, tidak malukah seorang manusia terhadap hewan yang tidak berakal itu. Bukankah, kewajiban manusia adalah menjadi manusia. Aku membantin.

Sejenak lidah kelu. Hening tercipta lagi.

Beberapa menit kemudian...
Aku kembali teringat keluarga Kancil. Rupanya kisah itu semakin tajam meliuk-liuk di tempurung otakku kini, pikirku dalam hati.

Kancil jauh dari sentuhan kasih sayang kedua orang tuanya. Bapaknya sibuk mengurusi bisnis. Ibunya juga demikian. Dan dari kesibukan itulah membuat kedua-duanya tak ada waktu kosong untuk menyusui, menimang dan mengurus Kancil. Sahabatku itu terlantar. Bukan karena kelaparan, bukan pula karena kekurangan, tetapi ia terlantar karena ulah kedua orangtuanya yang tidak bertanggung jawab.

Semenjak lahir, orangtuanya memasrahkan Kancil kepada Bi’ Ija. Pembantu yang memang disewa mengurus, merawat, menemani dan bahkan menyusuinya. Waktu itu Kancil tidak akan tahu apa-apa ketika Bi’ Ija hendak menyerahkan dirinya kepada majikannya untuk diberi air asi. Sungguh, kukira Kancil tidak akan tahu, apalagi sampai ingat kejadian itu. Tapi aku yakin, Kancil pun pasti merasakan kepedihan itu. Kepadihan yang mengharuskan bibirnya menetek pada puting perempuan yang bukan ibunya sendiri.

“Ja... Kamu urus anak ini ya. Sekalian susuin dia. Sekarang aku sibuk dengan urusan kantor,” pesan ibu Kancil. Bi’ Ija terperanjat mendengar perkataan majikannya itu. Seluruh tubuhnya bergetar. Kelopak matanya sembab. Merah. Tangannya yang mulai keriput mengelus-elus dadanya. Gemetar. Dalam hatinya, Bi’ Ija hanya bisa bergumam melihat tubuh Kancil yang masih balita, “kasihan sekali kau, Nak!

“Kasihan pula kau, Cil,” rintihku kini. Seperti sore itu, kini perasaanku menyatu dengan perasaan Bi’ Ija. Tak ada jeda, aku berteriak, “Cil... Kau memang lahir dari orang berpunya. Sementara aku lahir dari orang biasa. Amat sederhana. Tapi lihatlah, kasih sayang kedua orangtuaku tak terhitung harganya. Tidak seperti halnya dirimu itu. Sepertinya memang benar dugaanku, kau dilahirkan memang bukan karena kehendak naluri orang tuamu, Cil! Buktinya, dari lahir sampai sekarang pun kau tidak pernah mendapat kasih sayangnya. Bapak dan ibumu malah memasrahkannya pada Bi’ Ija. Menelantarkan dirimu dan membiarkan nasibmu di tangan orang lain. Lalu, inikah bentuk kasih sayang kedua orangtuamu kepadamu, Cil?” Suaraku tercekat. Dan pertanyaan itu... Membentur kepalaku. Keras.

###

Kemudian pada senja yang sebentar lagi akan berpamitan aku berteriak di tempat itu dengan sekencang-kencangnya. Aku tidak memperdulikan apa yang akan terjadi, sebab pikiranku sesak dengan kisah sahabatku itu.

“Tidak Cil... Aku tidak terima. Seandainya aku boleh memilih, maka lebih baik aku milih Adam dan Hawa lahir tanpa orang tua,” lanjutku meratapi nasib sahabatku yang jauh di sana.

-Terkadang pula rasa hanya memikirkan kenikmatannya, daripada hasil jerih payah usahanya-

“Sungguh kasihan kau, Cil,” pekikku menelan nasib. “Kau merana. Aku bahagia,” lanjutku sedih.

Sejatinya kita memang berbeda, Cil! Berbeda dari semua apa yang kita miliki. Tapi dari perbedaan itu kita pun tahu, bahwa kita lahir dari rahim yang sama. Tulang rusuk yang sama. Manusia. Dan kukira kita sama-sama mempunyai baju kehidupan masing-masing. Kau hidup serba ada. Itulah ruang hidupmu. Mungkin juga kenikmatan duniamu. Aku hidup seadanya. Manusia yang pernah kelaparan, pernah kesusahan, dan pernah juga kekurangan. Inilah liturgi hidupku. Dan mungkin juga keindahan duniaku.

Sebab hidup tak selamanya harus berjalan imbang,” pesan itu tiba-tiba menyapaku, entah darimana...


Rabea El-Adawea, 24 April 2007
Ketika seekor burung mengajakku bernyanyi.

Tuesday, November 06, 2007

Malam Ini...

Di sudut kamar yang empuk
aku tak bisa tidur dengan lelap
syetan mengintipku
dari balik jendela
neraka

Bersama kawan-kawannya
ia berbisik, dan kudengar;
malam ini...
mereka akan menjadikan dunia
sebagai taman surga

Kudengar pula;
malam ini...
taman surga itu akan dibakar
dan kayunya adalah lidah-lidah
manusia


Rob'ah, 06 November 2007 03:16 WK

Gadis Mesir

DAN tidak seperti biasanya sepulang dari IKBAL aku mampir ke rumah teman-teman. Tapi kali ini aku langsung menuju rumah Ghi’. Di sana aku shalat Asyar. Setelah selesai, seperti biasa aku membaca beberapa lembar ayat Al-Qur’an. Sesudah itu aku membaca novel karya Saudara Furqon Hidayat. Seorang pemuda asal Purbalingga yang sudah berhasil membukukan satu buah karya masterpiece-nya, yang dalam hal ini juga mendapat dukungan dari pihak KBRI-Kairo. Inilah yang kubaca sekarang ‘Gundukan Tanah Cinta’.

Novel berlatar belakang Mesir ini mendapat apresiasi luar biasa dari pihak pembaca, khususnya di kalangan Masisir (Mahasiswa Indonesia Mesir). Dan bagi aku sendiri -selaku pembaca- menilai novel ini cukup sederhana. Praktis dan tidak berbelit. Di dalamnya tersaji racikan kisah cerita yang mengharu biru.

Sampai di halaman yang entah keberapa, tiba-tiba aku dikejutkan bunyi jam dinding. Nyaring. Kulihat ke atas, jam sudah menunjukkan pukul 18:30 waktu Kairo. Berarti aku harus pulang. Aku pamitan pada semua penghuni rumah, terlebih pada saudaraku yang satu itu. Seperti biasa, kami berpelukan dan bergantian menempelkan pipi. Bukan homo, tapi inilah makna persahabatan di antara kami. Menarik bukan!

@@@

Awal cerita yang tak pernah kuduga sebelumnya.

Dari arah Zahra' mobil angkotan mulai menampakkan batang hidungnya. "Sabi'..." Begitulah teriakan Kernit pada setiap orang yang berada di pinggir jalan. Di depan sang Sopir mengacungkan dua jari sebagai tanda bahwa itu daerah Sabi'. Aku pun mengacungkan dua jariku persis seperti Sopir itu. Mobil angkotan itupun berhenti di depanku. Si Kernit bertanya, "Sabi'?" Aku mengangguk. Kemudian Kernit itu menyuruhku masuk. Aku duduk di bangku paling belakang. Di dalam aku bertemu dengan anak Indonesia, yang kebetulan juga kuliah di Al-Azhar University. Ia menyalamiku, aku pun menjawab salamnya.

Selama dalam perjalanan kami saling tukar cerita, mulai cerita berangkatnya dari Indonesia sampai setiba di Mesir. Tak terasa cerita di antara kami mengalir seperti laju mobil. Namun cerita itu berakhir ketika mobil yang kami tumpangi tiba di Sabi’. Sebelum turun, kusempatkan untuk berpamitan terlebih dulu, "Mas, aku duluan yah!"

"Ok. Senang bertemu denganmu. Semoga kita bisa bertemu lagi," jawabnya seraya menjulurkan tangan kanannya. Oh, ia ngajak bersalaman rupanya.

Busyet deh! Hampir lupa pula aku berjabat tangan denganya, "eh, ya. Sama-sama." Senyumku mengambang.

Setelah turun dari mobil, kulihat anak itu melambaikan tangannya ke arahku. Spontan terangkat juga tanganku. Aku membalas lambaiannya. Kemudian aku berbalik arah. Sejenak aku menunggu hilir mudik para pengendara mobil, setelah jalanan agak lenggang baru aku menyebrang. Di studio aku menyerahkan kertas kecil pada perempuan berkulit hitam langsat.

"Sepertinya perempuan ini berasal dari Negeria," pikirku dalam hati. “Ah, rupanya bukan hanya penduduk Indonesia yang mengadukan nasib ke negeri orang,” lanjutku bergumam.

Kuperhatikan dengan seksama, perempuan tersebut sibuk mengacak-acak semua bungkusan-bungkusan foto yang ada di dalam lemari. Ketika bungkusan fotoku ketemu, perempuan itu menyerahkannya padaku. Kuucapkan terimah kasih, kemudian keluar dari studio.

Sesampainya di luar aku langsung menuju Mahattoh. Di sana aku menunggu mobil angkotan yang ke arah Rob'ah. Jelang beberapa menit, sebuah mobil berwarna putih dengan bemper biru berhenti di depanku. Kuhampiri, lalu aku bertanya, "Rob'ah?"

"Ayuwah," jawab Sopir ramah.

Aku naik, dan ternyata di dalam sudah banyak para penumpang lainnya. Aku mencari kursi kosong, masih ada satu. "Hamdulillah," syukurku. Kemudian aku duduk tanpa memperhatikan keadaan di samping, di depan dan di belakang. Mobil mulai berjalan pelan. Sementara kepala si Kernet masih melongo ke luar sambil berteriak, “Rob’ah... Rob’ah... Rob’ah...”

Seperti biasa, selembar uang 50 Kirs, separuh dari 1 LE hendak kuserahkan pada Kernitnya. Tapi kali ini, uang itu...

Gadis Mesir dengan mata sayu, hidung mancung, lekuk bibir menawan dan semua yang kulihat darinya takkan pernah cukup jika hanya lewat sentuhan kata, spontan meraih selembar uang yang hendak kuserahkan itu.

"Isymahli 'an u'tiyahu," sapanya tiba-tiba. Lembut sekali.

Aku tersentak. Bola mataku terbelalak. Dan hatiku berdetak. Sedikitpun aku tidak bisa berucap. Mungkin karena aku senang, gembira, atau mungkin juga karena aku tidak paham gaya bahasanya. Entahlah, aku hanya bisa mengangguk. Heran dan takjub.

Deru mobil yang kami tumpangi berjalan cukup alot. Kadang cepat, terkadang pula lambat. Sesekali kulirik Gadis Mesir yang duduk pas di sampingku, “anjrit!” Gumamku. Ternyata ia lebih ganas lagi. Tanpa rasa peduli terhadap penumpang yang lain, ia seolah-olah telah menyempatkan waktu untuk memandangiku, dan mungkin juga aku.

Kukira kau senang menatapku karena di Negerimu aku orang asing. Aku pendatang dari Negeri jauh. Dan, bukankah dirimu dalam penilaianku seperti itu pula. Sama. “Kau asing bagiku, jangan salah jika aku terpesona melihatmu." Sepertinya, kalimat itulah yang pertama kali terlintas dalam benak si Gadis Mesir, mungkin juga benakku.

Jujur, walau itu pahit, aku ingin sekali berbicara dengannya. Lebih jauh lagi ingin mengucapkan terima kasih atas kebaikannya. Tapi, aku tidak begitu mengerti bahasanya, ia pun sepertinya begitu, takkan paham bahasaku. Bahasa kita bukanlah bahasa Internasional. Aku membatin. Lemas seketika.

Aku merasakan hembusan nafas yang tak teratur. Kumelirik. Diampun menjadi tanda yang tak mampu kujawab. Akhirnya... Aku hanya bisa pasrah menyampaikan pesan lewat isyarat pandangan mataku yang sesekali berpadu dengan tatapannya. Ya, hanya itu!

@@@

Roda terus berputar. Dan perjalananku akan segera sampai. Iseng, selagi belum turun dari mobil kuambil buku novel dalam tas. Ketika hendak kubaca, silau mata Gadis Mesir itu terpancar ke arahku. Kecantikan dan keindahannya menjadi cermin dalam lembar kertas novel Gundukan Tanah Cinta yang kubawa. Seketika aku menjadi canggung. Kadang kala aku kesal, terkadang pula aku merasa bodoh karena tidak bisa berbahasa Arab dengan lancar. "Jancuk!" Makiku dalam hati. Novel itu tidak jadi kubaca. Lalu kumasukkan lagi dalam tas.

Di depan, perempatan jalan raya Rob'ah sudah semakin dekat. Sebentar lagi aku akan turun. Rasa penarasan, kekecewaan, kekesalan, kebahagiaan, ketidakpuasan semua melebur dalam otakku. “Kenapa untuk bertutur sapa saja aku terlalu kaku. Tidak berani. Takut. Dasar bego’!!!“ Kembali aku memaki diri sendiri.

Ketika mobil hampir sampai di perempatan Rob’ah aku berucap, "lausamah, kuddem 'ala gambak, ya Kapten!" Nada suaraku seperti dipaksakan. Gadis itu melirik. Senyumnya merekah. Seperti sedang melontarkan pesan untukku, entah apa itu.

Entahlah, kini perasaanku semakin tak karuan setelah jauh darinya. Padahal baru bertemu dalam sekejab. Dan itu membuatku terpelanting dalam jurang ketidakberdayaan menahan emosi yang kian membuncah. Duduk di sampingnya seolah-olah kutemukan detak kehidupan yang begitu dahsyat. Tapi, kupaksakan untuk tidak mustahil. “Itu tidak mungkin!” Aku membatin.

Aku harus tegas dalam hal ini. Walau kenyataannya sangat berat, aku akan tetap memilih; mana yang lebih penting untuk aku jalani. Bukankah hidup adalah sebuah pilihan. Jadi, aku harus mempunyai sikap itu. Batinku menghancurkan pagar emosiku.

"Mesyi," jawab Sopir kemudian. Dan mobil pun sampai di ujung perempatan jalan. Aku turun. Untuk yang terakhir kalinya, setidaknya saat ini, kupuaskan diri memandang elok wajahnya.

Kelopak mata itu... Hidung itu... Senyum itu... Lekuk bibir itu... Adalah Si Gadis Mesir berbaju biru Akan selalu abadi dalam ingatanku Dan akan selalu begitu Untuk selamanya...

@@@

Aku yang berdiri mematung di pinggir jalan menjadi lemas seketika, tidak bergairah. Penyesalan datang di akhir tarian mentari. Mobil yang kutumpangi semakin jauh dariku. Dan Gadis Mesir itu..., seketika lenyap dalam kelopak mataku yang kian basah.

"Kenapa aku bodoh..." Hujatku pada senja yang kian lembayung.


Rabea El-Adawea, 21 Mei 2007

Keterangan:
1. IKBAL : Sekretariat Keluarga Besar Al-Amien, cab. Kairo-Mesir
2. Bukroh : Besok
3. Zahra' : Daerah yang terletak di kawasan Nasr City
4. Sabi' : Terminal mobil
5. Mahattoh : Halte
6. Rob'ah : Daerah metropolitan. Letaknya di Jantung kota Kairo
7. Ayuwah : Baik/Oke
8. 50 Kirs - 1 LE : Nama mata uang Mesir
9. Isymahli 'an u'tiyahu : Kalau boleh, biar saya yang memberikannya
10. Lausamah,kuddem 'ala gambak, ya Kapten! : Permisi, di depan saya turun, Pak!
11. Mesyi... : Oke...

Thursday, October 25, 2007

Darah dan Air Mata

Sahara anyir darah
Irak terisak
Libanon menangis
Palestina tersedu-sedu

Dan, aku hanya mampu mengusap peluh

Koran-koran lusuh itu menumpahkan air mata manusia. Mulai dari anak-anak kecil sampai orang-orang dewasa. “Mereka lebaran dengan darah dan air mata,” sebut koran itu.

Saat ini tangan-tangan bijak itu tak mampu menopang kepedihan mereka. Mereka terlalu banyak. Sementara para dewa hanya menitikkan air mata. Duh, seharusnya mereka menikmati kemenangan di hari lebaran. Malah, mereka menelan ludah kekalahan,” lanjut koran itu memaparkan kondisi masyarakat Irak, Libanon, dan Palestina.

Dan, aku hanya mampu mengusap peluh


Nasr City, 2007

Bleeding Heart

“Mak, Agung meninggal tadi sore,” bunyi sms yang masuk ke hpku tiba-tiba. Aku kaget. Sebab tidak seperti biasanya. Pesan singkat itu menggantung di lengkung alis mataku. Ada perasaan aneh menyeruak. Aku mencoba memastikan untuk tidak percaya.

Ah, bercanda,” selaku begitu saja. Masih dengan sikap tenang. Dan mulut mencibir tanda tidak percaya.

Tapi sejurus kemudian, “Cong, sabar ya... Agung kamu telah meninggal dunia sekitar jam 4 sore tadi. Sabar ya...” Ada sms lagi masuk ke hpku. Nomer baru. Aku terkejut. Masih dengan perasaan aneh, kupaksakan untuk tetap tenang, dan menganggapnya hanya sebagai 'guyonan' orang-orang yang tidak punya kerjaan.

“Ah, jangan-jangan keluargaku sudah gila semua. Seenaknya dewe ngabarin Agung meninggal. Dasar...” Kesalku pada mereka yang mengirim sms. Karena kesal, kucoba untuk menonaktifkan hp. Dan ternyata gagal. Hpku berdering. Ada sms lagi.

Awalnya ingin kubiarkan saja sms itu. Tapi ada dorongan kuat, entah itu darimana, tiba-tiba datang menyergapku. Mengajakku untuk membaca dulu bunyi sms itu. Tanpa berpikir panjang, akhirnya kubaca;

“Ong, kalau bisa telpon sekarang juga. Aku di Lombang nih. Dan kamu gak usah gusar, tenang aja. Semua Allah yang menentukan. Pokoknya kamu harus sabar (Innallaha Ma’a Al-Shobirin). Ok! SABAR YA, CONG! SABAR!!!” Bunyi sms ketiga yang kuterima. Berbeda dari menit sebelumnya. Kali ini tidak berbentuk berita, tapi berupa pesan moral. Menyuruhku untuk bersabar. Kukira orang ini cukup bijak.

Tapi, sebijak apapun orang itu menyampaikan bahasa pesannya tetap saja meninggal tanda tanya dalam benakku. “Kenapa orang itu menyuruhku bersabar? Pasti sudah terjadi sesuatu, dan orang itu menyembunyikannya,” aku mereka-reka. Ada kepingan patah. Antara ragu dan percaya.

Benarkah?” Hanya itu yang sanggup terucap dari lidahku yang semakin kelu. Tak mampu aku berujar.

###

Langit merah. Kairo gerimis. Kemarin malam guntur meraung. Petir menyambar. Halilintar melukis punggung sahara. Kini desau angin bertiup kencang. Seiring suara adzan berkumandang kulepas semua belenggu kebingunganku perihal sms itu. Kemudian aku bergegas masuk hammam5. Selesai berwudhu’ aku melangkah menuju masjid untuk shalat Jum’at.

Sepulangnya dari masjid hpku berdering. “Ada sms lagi rupanya,” kataku pelan. Dan kubaca. Hah, sorot mataku tajam. Sms itu tidak ada tulisannya sama sekali. Kosong. “Ada apa ini?” Tanyaku kemudian. Jantung bergetar. Pikiran melayang.

Dan setelah dua menit berlalu hpku berdering lagi. Sms kesekian kalinya. Dengan cepat kubuka, dan kubaca;

Innalillahi Wainna Ilahi Raji’un… Agung telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Hari ini tepat jam: 16:00. Tolong doakan semoga arwahnya diterima di sisiNya.” Tanganku gemetar, dan hp yang kupegang jatuh. Keringat mengucur deras. Aliran darahku terhenti sejenak. Dan jantungku berdegub tidak teratur. Naik turun. Nafasku sesak.

Aku masih gamang dan ragu membaca sms dari Mbakku itu. Maka dengan hati yang terpukul, entah marah atau sedih, aku memberanikan diri balas bertanya; “Mbak, tidak main-main kan! Tidak bercanda kan! Dan Mbak tidak gila seperti mereka kan! Jawab, Mbak!!!” Begitu bunyi sms yang kukirim. Tidak lama, Mbakku yang berada di pulau Madura membalasnya.

“Tidak, Adikku. Kamu sabar ya…” Ah, benar juga tebakanku. Telah kukira sebelumnya, Mbak bakal menjawab pertanyaanku seperti itu. Kenapa pula ini. Langit berputar sangat kencang di atas kepalaku. Pusing…

###

Kadang aku marah, kesal mungkin juga terpukul membaca sms yang berderet di hpku itu. Tapi sekali lagi, setidaknya untuk saat ini, aku masih ragu untuk mempercayai kenyataan itu. Aku mencoba menepis. Namun pikiranku berguncang keras.

Antara percaya dan tidak!

Kulempar sajadah. Kemudian aku berlari sekencang-kencangnya menuju Wartel, tempat biasa aku menghubungi keluarga di Indonesia. Selama dalam perjalanan pikiranku terus berkecamuk.
“Aku harus mendengarnya langsung,” gerutuku tanpa henti.

Jam dua kurang seperempat menit aku sampai. Di sana sudah tersedia dua alat elektronik yang bersambung langsung ke internet. Kupilih paling pojok. Dan setelah selesai diaktifkan, langsung kupencet nomer yang hendak kuhubungi. Tidak begitu lama, suara di seberang menjawab salamku.

“Sehat kamu, Dik?” Mbak bertanya dengan suara parau yang tidak jelas terdengar.

“Hamdulillah, sehat.” Jawabku datar. “Mbak sendiri gimana, sehat kan!” Lanjut aku bertanya.

Mbak menimpalinya, “iya, sehat.” Suaranya tertahan. “Bapak dan Ibu juga,” Serunya lagi sambil sesenggukan.

“Sepertinya, Mbak baru selesai menangis,” pikirku.

“Mbak menangis ya?” Tanyaku kemudian. Namun tidak ada jawaban. Mbak diam. Keningku berkerut. Dan kedua alisku mengernyit. Aku bertambah bingung, “benarkah?” Kembali pertanyaan itu terkuak.

###

Tiga menit berlalu…

Disela-sela waktu yang terus berputar kudengar isak tangis dari seberang. Hah, Mbak!!! Sebelum sempat aku berkata, tiba-tiba Mbak terisak memanggil Bapak dan Ibu. Aku mengangkat bahu, dan termangu mendengarkan suaranya. Pikiranku semakin berkecamuk.

“Ada apa sih, Mbak!” Rupanya ketidaksabaran itu sudah membakar kepalaku. “Apa yang terjadi, Mbak?” Tanyaku keras. Dan orang di sampingku -yang kebetulan juga lagi menelpon- terperanjat mendengar suaraku. Aku tidak memperdulikannya.

Satu, dua sampai tiga menit tetap tak ada jawaban. Mbak malah memberikan hp itu kepada Bapak. Aku tertunduk lesu. Kudengar, Bapak memulai percakapannya. Pertama-tama menanyakan kabarku, kemudian berlanjut pada pesan yang tidak pernah kusangka sebelumnya. Bapak menyuruhku untuk bersabar.

“Nak, sabar yah!” Begitulah Bapak berpesan. Dan aku semakin tidak mengerti. Sebelum sempat aku bertanya, lebih dulu Bapak menyudahi kata-katanya. “Nih, Ibumu mau bicara,” kemudian hp itu beralih ke tangan Ibu. Kini giliran Ibu bercerita. Aku pun mendengarkannya dengan baik.

Sampai di menit ke kesepuluh, percakapanku dengan Ibu berakhir sendu.

Tangisku pecah dan air mata tumpah. Ibu juga. Aku tidak kuat membendung sungai yang mengalir deras di kelopak mataku. Dan, ibu juga. Kristal bening itu luruh.

Innalillah…” Hatiku menjerit pilu.

Lagu yang dibawakan oleh sekelompok musisi Jerman mengalun lembut disela-sela isak tangisku. Seperti sedang menata kembali kepingan hatiku yang telah robek. Membelai dan mengajakku untuk tabah dan sabar.

We shared a life, a world of lies You are gone, no reason to cry.

Cuilan lyric lagu tersebut mampu membuatku berdiri. Setidaknya, air mata mampu kutahan. Dan luka hati sedikit demi sedikit terobati. Entah, kekuatan apa yang bersembunyi di balik lagu itu. Hingga membuatku tegar menghadapi semuanya. Aku tidak tahu! Kini yang kurasa hanyalah ketenangan dan kedamaian.

“Aku tidak boleh cengeng,” pekik hatiku.

“Cong, nanti kalau kamu sudah gede jangan cengeng. Kamu harus tegas dan berani. Umur hanya sekali. Tapi kehidupan akan tetap abadi. Selamanya…” Pesan Agung kembali mengiang di gendang telingaku. Jelas sekali. Semakin terpuruk pula aku mengingat pesan itu.

Ah, ternyata aku masih belum bisa menjadi makhluk sempurna, Gung!” Ratapku.

Wajah itu bergelayut dalam benakku.


Cairo, 20 Oktober 2007
Seuntai cerita untuk almarhumah, Agung Adhawiyah.


Keterangan:

Bleeding Heart : Salah satu judul lagu music rock “Freedom Call”
Mak : Panggilan untuk Kakak
Agung : Panggilan untuk Nenek
Cong : Panggilan untuk anak-anak
Hammam : Toilet atau WC

Wednesday, October 24, 2007

Mawar Berduri

Wahai, Sang Juwita...
kau memang patut kupuja
pantas pula kusanjung mesra

sebab kecantikan itu
terpasung ayu
di lekuk wajahmu

Wahai, Sang Juwita...
banyak mata memandangmu
bukan hanya aku

terbelenggu pesonamu
terjerat keindahan senyummu

Tapi duh!
pesonamu
keindahan senyummu
dan bahkan tubuh molekmu

kini
bagai mawar berduri
menusuk hati


Lapa Laok, 21 Juli 2005

Sebatas Mimpi

“Pak Onk..,” tiba-tiba suara panggilan menggertakku. Nyaring. Dan aku terkejut.

“Mau kemana? Di luar udaranya dingin lho!” Lanjutnya penuh perhatian.

Aku mengangkat bahu. “Eh, kamu Ghi’. Tak kirain Jin Ifrid.” Jawabku datar. “Lum tidur tah!” Dan kulanjutkan, “katanya kalau punya selimut tebal akan jadi raja tidur. Buktinya, hayyo… Rupanya mulai berani berbohong nih!” Sambungku. Dan yang ditunjuk hanya senyam-senyum.

“Hmmm... Tadinya juga gitu sih! Tapi kalau dipikir-pikir gak enak terus-menerus di atas kasur. Pegal juga tahu!!!” Imbuhnya.

“O, Gitu toh! Ya udah, aku pergi dulu.” Tanpa menunggu jawaban, aku langsung meloncat ke daun pintu. Kemudian aku pamitan, ”daaah... Jid Ifrid!!!” Sepintas kulirik raut mukanya, ada guratan merah di sana. Jangan-jangan dia marah. Pikirku kecut. Tapi… Sungging senyum itu seketika nampak merona di lekuk bibirnya. Ah, dia hanya bercanda. Batinku bahagia.

Sahabatku itu memang terkenal sangat unik, mungkin juga terbilang lucu. Disatu sisi kerjaannya selalu mengganguku. Seringkali aku dibuatnya keki. Tapi dilain sisi dia juga sering membantuku. Masakin buat aku, merapikan kamarku, bahkan tak jarang mencuci baju-baju kotorku. Sebenarnya aku sayang padanya. Tapi kalau boleh jujur, walau itu pahit, aku terkadang merasa kesal atas ulahnya. Kesal bukan berarti benci, hanya sebatas emosi sesaat.

Itulah manusia kukira.

@@@


Tiba di luar rumah kupakai jaket. Kuambil sebatang rokok Mesir, Cleopatra namanya. Kubakar dan kuhisap dalam-dalam. Buus... Asap rokok itu menggumpal dan lenyap ditelan pekat.

Tak salah Ghi’ bilang; udara di luar sangat dingin. Lihatlah, jaket yang kupakai masih tidak mempan. Dinginnya masih merasuk ke sekujur tubuhku. Memperkosa kehangatan jaketku. Menjilat gumpalan asap rokokku. Kakiku melangkah gemetar. Entah, berapa derajat celcius keadaan kota Kairo saat ini.

Kupaksakan kaki kuayun terus ke depan, sambil kupandangi bintang-gemintang yang sinarnya redup-terang, sesekali tertutup gumpalan awan. Dan entah kenapa, tiba-tiba seperti ada bunyi mengiang di gendang telingaku. Aku tidak bisa menguraikan bunyi itu, yang jelas keras sekali. Bunyi itu membuyarkan gumamku. Aku terkejut.

Mobil warna merah muda tiba-tiba berada di depan mataku. Aku diam mematung, tidak tahu menahu. Seluruh badanku gemetar. Waktu itu aku takut, karena aku mengira mobil di depanku adalah malaikat maut yang hendak merenggut nyawaku. Atau bisa jadi, aku malah tertegun lantaran seorang gadis tersenyum manis dalam mobil itu. Entahlah...

Aku tidak tahu! Hanya terdiam seperti batu.

Dan tiba-tiba, “hi... Guy!” Gadis itu seperti sedang memanggilku. Aku tertegun. Dan kemudian aku diam lagi. Tidak kujawab panggilannya. Aku masih bisu. Seperti batu.

“Kenapa gadis ini memanggilku. Marahkah ia padaku,” pikirku dalam hati. Embun menetes jatuh berderai. Kekawatiran datang menjamah pikiranku, menghantui perasaanku. “Barangkali karena aku berjalan di tengah, sehingga menghalanginya,” pikiranku tak tenang. Aku pun segera ke pinggir, dan meneruskan perjalananku tanpa menoleh ke belakang.

Tapi, gadis itu malah membuntutiku dari arah belakang. Aku semakin heran, “kenapa ia masih mengikutiku. Marahkah ia padaku,” pikirku sekali lagi. Ah, tidak mungkin. Mungkin kebetulan saja ia hendak melewati jalan ini. Tapi... Mobil itu semakin mendekat, dan tiba-tiba berhenti di depanku. Pas di dekat kakiku. Kedua mataku terbelalak, ada perasaan aneh menyergap. Aku hanya bisa diam, berdiri mematung, dan kepalaku tertunduk menatap isi bumi yang seakan menertawai kegugupanku. Mulut tertutup rapat. Muka tertunduk kaku. Aku tidak berani menyapa dirinya, apalagi sampai menegurnya.

Entahlah, hanya bisu menelan ragu.

@@@

Hi Guy...” Gadis itu kembali mengeluarkan suaranya. Seperti memanggil diriku untuk yang kedua kalinya. Kurasa panggilan itu memang sengaja ditujukan untukku. Pikirku akhirnya. Tapi panggilan itu asing bagiku. Sebelum-sebelumnya tidak seorang pun memanggilku dengan sebutan itu. Baru kali ini. Dan aku masih ragu.

Pelan-pelan kuangkat juga wajahku. Terasa berat dan kaku. Kemudian kulirik rupa gadis itu. Elok. Ayu. Dan tentu saja sangat cantik. Luar biasa! Degub jantungku berdetak kagum. Dan keringat itu..., mengucur deras di sekujur tubuhku. Aneh, musim dingin berkeringat.

Barangkali sesuatu yang aneh akan terjadi. Batinku.

Semerbak harum nan wangi menebar di sekelilingku. Aku menikmatinya dengan mata terpejam. “Nikmat sekali!” Dan sambil aku bergumam, “harum darimana ini?” Tidak sanggup aku menguraikan rasa itu, tiba-tiba sebuah kecupan mendarat di bibirku. Aku terkejut. Tersentak. Kubuka jendela mata. Hah!

Gadis yang tadi menunggangi mobil telah berdiri di depanku. Menunggangiku kini. Hembusan nafasnya tersengal-sengal. Kristal bening jatuh membasahi keningnya yang putih. Antara percaya dan tidak. Gadis itu pertama kali menyentuh, mencium, mengecup, bahkan melumat habis kedua bibirku dengan mesra. Dan sekali ia bertingkah nakal dan liar, kubiarkan begitu saja. Sebab kupikir ini jarang terjadi. Maka kunikmati sepuas hati.

Suara malam mendesah pelan. Dingin mengendap. Hangat merayap.

@@@

Ohhh, Akhirnya..., tuntas sudah dingin di tubuhku. Si Gadis bertubuh gemulai itu membalut hangat ujung tombakku,” desahku meniru bahasa malam.

Dan seketika, terdengar teriakan melengking di gendang telingaku. "Pak Onkkk... Bangunnnn... Hari sudah pagiii... Berhenti ngigaunyaaa..." Teriakan sahabatku melilit panjang. Aku terkejut.

Astaghfirullah, Ghi’! Kamu bangunin aku, apa sedang sekarat sih!” Jawabku agak terperanjat. “Lagian siapa yang ngigau,” lanjutku mencibir.

"Yee...” Eh, dia malah balas mencibirku. “Kalau Pak Onk tidur mana bisa nyadar. Apalagi tidurnya mimpi gadis cantik. Gimana sih, enak gak teriakanku?" Jahilnya, kemudian berlalu dari kamarku.

"Dasar kamu ya..." Makiku sembari melempar bantal guling. Tapi sayang, Ghi’ keburu menutup daun pintu.

Kini tinggal aku sendirian dalam kamar.
Masih segar dalam ingatan, Ghi’ tadi bilang aku bermimpi. Sejenak aku merasa ragu, ada perasaan heran yang mengusik pikiranku, “benarkah semalam aku bermimpi?” Tanyaku dalam bimbang. Ah, tidak mungkin! Kubuang jauh-jauh perasaan was-was itu. Sebab kutakingin kejadian itu hanyalah bunga malam.

“Tidakkk...!!! Aku benar-benar merasakan kenikmatannya. Itu adalah hadiah nyata dari Tuhan, bukan kado dari syetan.” Teriakku memastikan sebuah jawaban. Sayang, teriakanku didengar oleh Ghi’. Ternyata sejak tadi dia hanya mengumpat di depan pintu. Lalu dia masuk. Dan berkata;

“Kok teriak-teriak sendirian, Pak Onk! Meniru gayaku, atau sedang memastikan sebuah adegan mesra dengannn..., siapa tuh?” Mulai dia berbasi-basi. Pasti dia akan mempermainkan aku lagi.

“Eh, ngapain lagi kamu ke sini, Anjinggg…!!!” Sergahku sekedar menghapus kecurigaan.

Loh, Pak Onk kok marah piye toh! Apa karena mimpinya udahan. Mau ditambah lagi? Hihihihi...” Dia ngeledekin aku. Membuatku semakin keki. Dasar nih anak! Umpatku kesal.

Aku garuk-garuk kepala yang tak gatal. Kemudian aku mengangkat bahu. Kenapa pula si Ghi’ masih membahas tentang mimpi. Aku mereka-reka. Jangan-jangan, memang benar kejadian yang kualami tadi malam. Tapi kok dia bisa tahu! Masih gamang. Pikiranku mulai berkecamuk.

“Pak Onk gak usah pusing-pusing memikirkan kejadian itu lagi. Entar malah jadi gila lho! Kekekek...” Sindirnya. Sekali lagi, suara itu persis seperti nenek lampir menyergahku.

“Maksud kamu?” Aku menimpalinya kebingungan. “Ghi’, kamu ngerjain aku ya?” Sambungku lemas. Tak berdaya sudah. Keningku berkerut. Kernyit alisku membentuk geometri.

“Hehehe... Pak Onk bingung niyyeeeee... Kaciaaan. Aku tidak ngerjain, Pak Onk. Mimpi kali yang ngerjain, Pak Onk! Hehehe...” Jawabnya sambil cengengesan. Kemudian dia melanjutkan kata-katanya, “eh, sekalian aku minta maaf, dinks. Mungkin karena teriakanku mimpi Pak Onk jadi berkesudahan. Sorry ya...” Setelah berkata demekian dia beranjak dari kamarku. Dan lihatlah, sebelum daun pintu ditutup lidahnya masih saja sempat mencibir ke arahku. Dasar wong edan...

Sekarang aku tidak memperdulikannya lagi. Apakah sudah pergi, atau masih mengumpat dan sembunyi di balik pintu. Sesuatu yang aku bingungkan sudah terjawab kini; sebuah adegan yang membuatku berlabuh di lautan asmara, nyatanya hanyalah sebatas mimpi belaka.

“Jancokkkkk...” Umpatku melepas kekesalan.

Mentari menertawaiku bersama kawanan burung camar.


Rabea El-Adawea, 13 Juni 2007
"Mimpi. Barangkali segala yang terealisasi berasal dari mimpi."

Sunday, October 21, 2007

Malam Itu...

Nek,
ingin kuajak semua malaikat berdansa ria
malam itu
biar ia lupa mengintrogasi nenek
di alam kubur
sebab aku takut nenek dipukul

sekarang tenanglah, Nek!

aku tidak akan membiarkan tubuh nenek terluka
pasti kuajak semua malaikat berdansa ria
ya, berdansa ria

Nenek tidurlah dengan tenang...


Rob'ah, 21 Oktober 2007
"Seuntai doa mengantar kepergian nenek tercinta; Adhawiyah binti Hasbullah."

Suatu Malam di Tepi Pantai

Aku melihat empat anak kecil duduk di tepi pantai. Tiga laki-laki, dan satu perempuan. Ketika kudekati mereka terperanjat dan terkejut. Wajahnya berkerut dan kusut. Kulitnya hitam. Rambutnya merah keriting. Hidungnya mancung. Dan badannya kurus kerempeng. Sepertinya, mereka kurang mendapat perawatan yang cukup.

Duh, siapa dan di mana orang tua mereka,” batinku.

Kusapa. Dan kusalami anak-anak kecil itu. Mereka membalasnya, lemas. Kemudian kutanya satu-persatu. Mulai dari nama, orang tua, dan tempat tinggal. Mereka menimpali semua pertanyaanku dengan suara serak. Kelopak matanya sembab. Tangan kecilnya seraya menggosok-gosok kedua matanya yang sembab air mata. Tangis pecah. Mengharukan.

Sepertinya, angin pun enggan berbisik lirih.

Ah, kelopak mataku sembab pula. Setetes, dua tetes, tiga tetes, sampai empat tetes jatuh berangsur-angsur. Kuambil kertas tisu sebanyak lima lembar. Kusodorkan pada mereka satu-persatu. Tapi, mereka enggan menerimanya. Salah satu dari mereka bertanya, “buat apa kertas putih ini?”

Sambil tersenyum, kujawab pertanyaannya yang polos itu. “Simpanlah kertas ini sebagai kenang-kenangan.” Seketika wajah mereka sumringah, dan senyumnya mengambang.

-$$$-

Mereka bukan hanya menderita, lebih menyedihkan lagi mereka mengarungi hidup di tepi pantai. Tanpa orang tua, tanpa sanak keluarga. Pagi dan siang mereka mencari rumah-rumah tak berpenghuni yang rusak dan kotor untuk ditempati sebagai persinggahan. Jika menjelang sore, dan sampai larut malam mereka berada di tepi pantai. Katanya, menunggu rejeki Tuhan dari tangan-tangan manusia yang sedang berwisata.

Mereka makan dan minum sesuai rejeki yang diperoleh. Terkadang tidak sama sekali. Raib. Kosong. Waduh!

Wah, rupanya kelopak mataku sembab pula. Mendung bergelayut di atas kepalaku. Kristal bening itu luruh. Kaos dan tas yang kukenakan basah. Anak-anak kecil yang duduk di dekatku terkejut melihat air mataku berair. Dahi mereka berkerut. Sepertinya mereka hendak bertanya, “kenapa Tuan menangis?” Tapi, pertanyaan itu tidak terucap. Bungkam. Yang kudengar hanya bisik-bisik lirih. Entah, apa yang mereka bisikkan. Aku tak tahu!

Suasana hening seketika. Tidak kudengar lagi bisik-bisik dari mereka. Sepi sejenak. Dan isak tangisku pun mulai reda. “Aku cengeng,” gerutuku.

Kuhapus sisa-sisa butir air mata dengan kertas tisu. Lalu kulempar kertas tisu itu ke dasar laut. Hanyut ditelan ombak. Anak-anak kecil itu menyimak ulahku. Tanpa berkedip. Lalu secara bersamaan mereka pun meniru apa yang barusan aku lakukan itu. Mereka juga menghapus kelopak matanya yang sembab. Dan ketika selesai, mereka tidak melemparnya ke laut.

“Kenapa?” Tanyaku heran.

“Karena kertas ini adalah kenang-kenangan yang telah Tuan berikan pada kami,” serantak suara mereka bersamaan. Dan kertas tisu itu dimasukkan dalam sakunya masing-masing.

Hatiku berdetak kagum.

Tubuh mereka memang kecil dan kurus kerempeng. Tetapi mereka mempunyai jiwa besar. Aku merasa malu dan tersindir oleh kata-katanya. Tubuhku yang besar, nyatanya sangat lemah dan gampang menyerah, gampang lupa terhadap tanggungjawab. Sementara mereka, anak-anak kecil kere, yang tidak tahu apa-apa mempunyai pendirian yang sangat kuat. Dan tegar.

Sepertinya, angin pun enggan berbisik lirih.

Ah, kelopak mataku sembab lagi. Setetes, dua tetes, tiga tetes, sampai empat tetes jatuh berangsur-angsur. Kugunakan kedua tangan untuk menggosoknya. Persis seperti yang dilakukan anak-anak kecil tadi. Barangkali, aku meniru gaya mereka. Entahlah.

Setelah itu aku melanjutkan sisa obrolanku dengan mereka. Dan selesai...

Sebelum aku pergi, kuambil selembar uang. Kuberikan pada yang lebih besar. Wajah mereka tersipu malu. Sungging senyum tipis menggantung di lekuk bibirnya yang kering. Mereka gembira. Kemudian anak-anak kecil itu menyalami dan mencium tanganku, “terimakasih, Tuan! Ternyata rejeki Tuhan datang menyapa kami malam ini. Entah, esok nanti.” Suara mereka terucap pelan, tapi jelas. Dan pasti.

Aku pergi. Dan kulihat wajah mereka kegirangan. Saling kejar-kejaran dan lompat-lompatan. Hilang dikerumunan para wisatawan.

Aku berjalan gamang. Masih segar dalam ingatanku ucapan anak-anak kecil itu. Sebuah ungkapan yang semestinya keluar dari bibir orang dewasa, tapi anak-anak kecil itu mampu membuatku bengong. Termangu. Tak percaya. Kelopak mataku kian membesar. Heran. Mendengarkan kata-katanya yang sangat bijak itu.

Sepotong senyum pun merona menghias malam yang kian temaram.

-$$$-

Suasana di tepi pantai semakin malam semakin ramai. Aku terus berjalan menyusuri tepi pantai. Setelah jauh dari keramaian, aku duduk menepi sendirian. Sambil menikmati irama musik mp3, tanganku bermain dengan pasir. Kaki kubiarkan dijilat air laut. Dingin merasuk. Mulutku tiada henti bercanda dengan geliat ombak yang bergemuruh. Kadang seperti penyair, terkadang pula seperti orang sinting.

Kusapa alam, laut, samudera, dan ikan-ikan kecil yang menari-nari. Kupandangi langit, awan, bintang, dan rembulan yang berlayar.

“Indah...” Gumamku pecah.

Angin membelai rambutku. Damai.

“Hi...” Tiba-tiba suara perempuan memecahkan keheningan. Aku menoleh ke belakang. Heran!

Perasaan masih tidak percaya. Masak iya... Kugosok-gosok kelopak mata memastikan benarkah dia yang datang. Dan ternyata... Benar! Dia yang datang.

Seorang perempuan yang kutahu sejak dulu. Dan baru kemarin aku bisa mengenalnya. Sekarang... Entah kehadirannya membingkai cerita apa dalam hatiku. Aku lupa. Tapi, aku bahagia. Sebab, dia telah mengenalku kini.

“Entah, darimana dia tahu kalau aku berada di sini.” Hatiku berbisik. Bimbang. Ragu. Bahagia. Ceria. Berbaur dalam otakku.

Dia menghapiriku. Dan duduk di sebelahku.

Wajah ayu, sorot mata yang teduh, dan sebentuk senyum indah serta lekuk bibir merah, terpancar laksana dewi malam. Aku terpana, tapi bukan karena cinta. Aku kagum. Terpesona. Detak jantungku kian berdegub tak teratur.

-Alang-alang rerumputan, bulan rebah di atasnya. Alang-alang rerumputan, angin membawa bau harum rambutnya.-

“Indah ya pemandangan di sini,” suaranya mengalun lembut. Memecahkan keheningan. Mengusir kegaduhan.

“Iya,” jawabku pelan.

“Sendirian aja nih!” Tanyanya. “Pasti cari inspirasi ya...? Wow, memang pekerjaan seorang sastrawan. Menjauh dari keramain, mendekam dalam kesepian. Keren...” Lanjut perempuan itu. Sesungging senyum menggantung di lengkung alis mataku.

“Tidak lama, juga tidak sebentar.” Jawabku sedikit terbata-bata. Masih kaku.

“Boleh aku temenin?” Dia melontarkan sebuah pertanyaan yang memang kutunggu-tunggu. Kok gak mulai tadi pertanyaan itu kau ucapkan. Hatiku.

Dan aku menimpalinya, “oh, silahkan!” Wajahku sumringah, persis seperti anak-anak kecil ketika kuberi selembar uang.

Kemudian obrolanaku dengannya mengalir seperti air laut. Indah. Romantis.

-$$$-

Langit cerah bertabur bintang dengan gemerlap cahaya sang dewi malam menghias kelam. Gemuruh ombak, kecipak air laut, dan ikan-ikan kecil seolah menjadi teman setia di tepi pantai ini.

I’m here without you baby but your still on my lonely mind I think about you baby and I dream about you all the time I’m here without you baby but your still with me in my dreams And tonight it’s only you and me

Lagu 3 Doors Down mengalun syahdu di telingaku. Aku larut menikmati syair-syairnya.

Dan setelah selesai kunikmati lagu itu, tiba-tiba dia pamit pulang. Sebelum pergi dia berkata, “aku pulang dulu yah! Udah malam nih! Sorry, gak bisa lama nemenin kamu di sini.” Aku tersentak.

“Oh, iya. Gak apa-apa. Silahkan!” Suaraku gugup. Tidak bersemangat. Sepertinya, aku tidak ingin dia pergi secepat ini. Tapi apalah daya malam semakin larut. Petang.

Dan, dia pergi meninggalkan kenangan.

Hatiku berbisik melihat kepergiannya, “terimakasih... Engkau telah sudi menemaniku malam ini. Dan esok, aku akan kembali menunggumu di tepi pantai ini.” Mulutku bergetar. Batinku berteriak. Sebab aku masih ingin berdua dengannya. Namun, sepi. Suasana kembali sunyi.

Hening seketika.

Perempuan itu semakin jauh dariku. Aku melihat kepergiannya ketika bisu menelan ragu. Waktu diam membisu. Lesu merunduk kelam. Di tepi pantai aku tertunduk lesu. Mungkin aku menyesali, mungkin juga menangisi. Atau bisa jadi, aku malah tak ingin jauh darinya. Entahlah...

Hanya desau angin yang selalu berbisik lirih; tabahlah.

-$$$-

Kini, senyumnya masih merekah di kelopak mataku. Aku terpesona. Aku memujanya. Aku mengaguminya. Tapi bukan untuk menulis keindahannya. Sebab laut pun tidak akan cukup kujadikan kuli tinta.

“Biarlah kehadirannya menjadi bingkai cerita indah di pantai,” aku mengakhiri keluh-kesah kala seluet fajar menyingkap tabir malam. Cerah melumat kelam.

Pagi datang menjelang. Malam pergi bertandang.


Zues, 25 Juli 2007
Di Zues kau pergi meninggalkan kenangan.

Seperti Seekor Kelelawar

Kupotong-potong tubuhku
sebagian dari hasilnya
hendak kupersembahkan padaMu

Maukah...?

Tapi terlebih dulu,
izinkan aku
menghisap setetes saja
maduMu

Dan, ketika tubuhku sampai di atas
terbang
mengawang
seperti seekor kelelawar
bercericit kelaparan

"Maafkan Aku yang terlambat untuk sempurna, hingga Kau menjadi marah."

Tuhan...!
mungkin dengan begitu
aku bisa menapak tilas
mengubur jejak dosaku
hingga aku
tidak lagi merasa malu, dan
gugup pada dunia


Ramadhan Kariem, 20 Sept 2007 04:12 WK
"Celoteh seekor kelelawar pada anak manusia."

Saturday, October 20, 2007

Ijazah

SENIN PAGI. Mentari kembali tersenyum menyapa seluruh isi bumi. Aku bergegas pergi ke sekolah hendak mengambil ijazah. Sabtu kemarin, ijazah milik teman-temanku sudah ada yang diambil. Katanya, nilai mereka ada yang tinggi, ada pula yang rendah. Dan ketika kulihat...

Masya Allah!!!

Semakin aku mengingat nilai ijazah teman-temanku itu, semakin kuat pula rasa penasaranku untuk melihat nilai ijazahku sendiri. Aku menduga-duga, seperti apakah gerangan nilai ijazahku itu. Puaskah nanti aku menerima hasilnya? Atau jangan-jangan, nanti aku malah kecewa. Dalam benaku, berkelebatan sejuta tanda tanya.

Seperti biasanya, ketika berangkat ke sekolah aku naik angkutan umum. Sekitar satu jam lebih aku sampai di sebuah persimpangan jalan. Dan di sana aku turun, kemudian berjalan menuju tempat sekolah. Sesampainya di halaman depan sekolah, aku berpapasan dengan kakak senior yang diangkat menjadi guru agama di sekolah ini. Kepadanya aku memberi salam, serta tak lupa mencium tangannya.

Nak, kalau kamu bertemu dengan ulama, kiai, atau seorang guru pun, baik di masjid, di tempat pengajian, di sekolah, dan di mana saja, ciumlah tangan mereka. Jangan lupa ya, Nak! Cium. Karena mencium tangan mereka sama halnya kamu mencium tangan Nabi.” Seperti itulah mendiang Abah menganjurkan dan berpesan padaku.

Di halaman depan sekolah, aku diajak ngobrol sebentar. Sebagai muridnya, tentu saja aku mengiyakan. Kemudian, obrolan itupun bermula dari sebuah pertanyaan yang tak pernah kuduga sebelumnya.

“Menurut, dik Wafie. Pantas tidak Agama Islam itu diberi stigma sebagai agama teroris?” Seperti itu ia memulai obrolannya.

“Hah, masak sih, Mas!” Sedikit aku terperanjat. Pertanyaan yang dilontarkan guru agama menusuk telingaku. Kepalaku panas.

“Eh, Adik belum tahu, ya?!” Ia heran melihat ketidaktahuanku mengenai hal itu. Dan aku hanya bisa mengangkat bahu.

“Kemarin saya baca sebuah buku. Dan di situ menyatakan, bahwa Agama Islam itu adalah agama teroris. Agama yang ingin merusak, menghancurkan dan memberantas agama lain,” ia menjelaskan sangat antusias. Aku tidak bisa menimpali penjelasannya. Aku masih bingung. Merasa aneh.

Sejenak aku berpikir, apakah benar Agama Islam telah menjadi teroris bagi agama lain? Atau jangan-jangan, ini hanya rekayasa pemeluk agama lain untuk menghancurkan reputasi Agama Islam. Ah, tahulah. Aku masih kaku menafsirkan kenyataan itu.

Sejurus kemudian, guru agama yang berdiri di dekatku berkata lagi, “Nah, penyebab timbulnya statemen; Agama Islam teroris karena dititikberatkan kepada ulah para pemeluk Agama Islam itu sendiri, Dik. Di buku itu dicontohkah seperti, Imam Samudra, Amrozi, dkk. Konon katanya, Gedung WTC di Amerika runtuh diprakarsai oleh Osama Bin Laden. Lalu kemudian, Osama pun diincar oleh pasukan Amerika, bahkan diumumkan ke seluruh dunia; 'Barang siapa yang menemukan Osama, hidup ataupun mati, akan dibayar dengan berjuta-juta dollar!'” Demikian ia menyambung pembicaraannya. Amat serius.

Sekali ini, tanpa berpikir panjang aku langsung menimpali ungkapannya. Mungkin ada benarnya juga jika aku marah (entah pada siapa) dan tidak bisa menerima agamaku sendiri (Islam) disebut dan dikutuk sebagai teroris.

“Lantas, apakah Mas percaya?” Suaraku pun mengeras. Persis seperti orang membentak. Ia sedikit terperanjat mendengar pertanyaanku itu.

Namun kemudian dengan khas senyumannya itu, ia pun kembali menjawabnya dengan cara yang menurutku bijaksana, “percaya atau tidaknya itu kan tergantung bagaimana kita bisa melihat dan menemukan kenyataan yang sebenarnya toh, Dik! Kalau pun ternyata apa yang telah saya baca itu salah, kenapa juga kita harus percaya? Mungkin agama lain hanya ingin menjelek-jelekkan agama kita. Dan kalau pun itu tidak benar, hal inilah yang seharusnya perlu kita lakukan re-interpretasi. Perlu kita pertanyakan kembali. Mengapa saudara-saudara kita berani melakukan tindakan konyol? Atas dasar apa mereka bertindak seperti itu? Bukankah, tindakannya malah akan membuat jelek agamanya sendiri, yaitu Islam.” Jelasnya.

“Ya. Ya, aku setuju dengan hal itu. Tetapi apakah kita akan terus berdiam diri, tutup mulut, dan bungkam jika kabar tersebut sudah merajalela? Bukannya hal itu nanti malah akan membuat agama kita sendiri (Islam) yang dijadikan sebagai objek kambing hitam agama mereka; non Islam, maksudku?” Guru agama diam sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaanku. Barangkali, ia sedang berpikir atau mencari jawaban yang pas. Aku tidak tahu.

Semenit, dua menit, dan lima menit berlalu.

“Dik,” dengan lembut ia memulai ucapannya, “Rasulullah adalah panutan sekaligus suri tauladan yang patut kita contoh. Dulu, ketika beliau menyebarkan Agama Islam tidak hanya gunjingan, ejekan, caci makian dan umpatan yang sering beliau telan. Orang-orang kafir di masanya sering meludahi beliau. Bahkan lemparan batu-batu harus juga beliau rasakan. Tapi apa yang terjadi? Sedikitpun beliau tidak pernah marah, apalagi sampai membenci orang-orang kafir itu. Beliau tetap tersenyum. Dan tidak pernah membalas kejahatan dengan kejahatan pula. Tidak pernah! Sedikitpun, tidak pernah, Dik!!! Beliau justru bersabar dan tabah menghadapi semuanya. Kejahatan dibalas dengan kebaikan, kekerasan dibalas dengan kelembutan, amarah dibalas dengan senyum, dan begitu seterusnya. Itulah sifat Nabi kita, Dik! Lalu, bisakah kita selaku umatnya mencontoh dan meneruskan perjuangan beliau itu?”

Pertanyaan itu membentur kepalaku. Sebelum sempat aku berucap, guru agama meneruskan kembali paparannya, “Adik tahu pesan terakhir Nabi?” Ia melontarkan sebuah pertanyaan. Dan aku tidak mengetahuinya.

“Tidak!” Jawabku singkat. Garis di keningku berkerut. Sementara di kedua alisku membentuk perahu.

Melihatku seperti itu, guru agama memegang pundakku dan berkata, “sebelum meninggal beliau berpesan kepada Sahabat Ali. ‘Ummati... Ummati... Ummati...’ Ya, begitulah, Dik. Nabi kita mengulang-ulang pesan terakhirnya. Tiga kali!”

“Lalu, apa hubungannya dengan perkataan Mas tadi?” Dasar bego!!! Kenapa harus pertanyaan itu yang keluar dari mulutku. Bodoh! Goblok! Batinku bertempur dengan sifat keegoisanku. Kesabaranku sepertinya sudah mulai menipis, hingga suasana menjadi tegang seketika.

Tapi untunglah, guru agama orangnya sangat bijak, pengertian dan bisa membaca suasana. Ia tidak marah mendengar pertanyaanku yang bodoh itu. Lalu dengan khas senyumnya, guru agama kembali memintaku untuk tenang. Setelah suasana kembali mencair, ia pun bertutur dengan nada yang cukup lembut nan halus.

“Dik Wafie... Saya tidak bermaksud menghubung-hubungkan apalagi mencampur-aduk peristiwa di masa Nabi dengan peristiwa yang sering terjadi sekarang ini. Tidak!!! Tapi yang saya inginkan dari perkataan tadi adalah; agar Adik Wafie tahu betapa pentingnya kesabaran itu sendiri. Sabar, bukankah itu titah dari Baginda Nabi.” Sejenak beliau berhenti, menghela nafas tinggi-tinggi.

“Adik tidak perlu terlalu pusing memikirkan kejadian-kejadian yang sering menimpa agama kita,” lanjutnya. “Mulai dari label agama teroris sampai kepada Al-Qur’an yang sering disalahartikan. Seandainya seluruh jagat raya berteriak Agama Islam teroris, Al-Qur’an perkataan Muhammad belaka dan sebagainya itu, biarkan saja! Cukuplah dengan sabar Adik menghadapinya. Layaknya Rasulullah ketika menghadapi umatnya. Yang terpenting dari yang paling penting adalah Adik tetap yakin dan percaya bahwa Agama Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Dan, Al-Qur’an adalah kalamullah yang hakiki. Nah, dengan bersikap seperti itu sudah cukup. Tidak perlu membalas sebuah kebencian dengan kebencian pula. Itu tidak baik, Dik! Bukankah, Allah akan melihat dan menyaksikan seberapa besar nilai kesabaran kita ketika dihadapkan kepada berbagai macam cobaan di dunia ini. Apakah benar kita umat Muhammad sejati atau malah umat Firaun yang abadi,” panjang lebar ia menjelaskannya padaku.

Aku kembali terdiam ketika guru agama menjelaskan pentingnya nilai kesabaran itu. Sungguh aku tidak bisa berucap barang sedikitpun. Laiknya seorang prajurit yang ditegur oleh sang raja. Hanya bisa diam. Tanpa sepatah kata. Tertunduk lemas dan patuh.

Di hadapanku, guru agama mengangkat suaranya lagi, “Dik Wafie, kiranya cukup dulu sampai di sini. Sekarang saya hendak mengajar, dan Adik harus belajar. Ok?! Assalamu ‘alaikum,” ia beranjak meninggalkan aku sendiri. Tersenyum ramah.

Dalam diam, aku menjawab salamnya, “wa’alaikum salam.” Cara jalannya segagah mendiang Abah. Kata-katanya sebijak mendiang Abah. Sifatnya sesopan mendiang Abah. Semuanya tak ada yang beda. Sama. Aku membatin.

Tak terasa, aku dan guru agama berdiri di tempat ini sudah dua jam lebih. Semenjak mentari tersenyum menyapa bumi. Dan kini, sinarnya mulai menyengat ubun kepalaku. Menjamah sekujur tubuhku. Keringat pun mengucur membasahi seragam sekolahku.

&&&

Di ruang guru, para murid sedang berebutan menerima ijazahnya. Sepintas kusimak wajah mereka dari jauh. Ada yang tampak ceria, ada pula yang tampak sedih. Barangkali karena sebuah keberhasilan dan kegagalan. Pikirku dalam hati.

“Wafie,” bapak guru yang membagi-bagikan ijazah itu menyebut namaku. Oh, mungkin itu ijazahku. Spontan aku tersentak. Perasaanku mendadak gamang. Tanpa larut dalam lamunan, aku pergi menghampirinya. Kuambil ijazah itu. Sebelumnya, seperti biasa, aku mencium tangannya.

Nak, kalau kamu bertemu dengan ulama, kiai, atau seorang guru pun, baik di masjid, di tempat pengajian, di sekolah, dan di mana saja, ciumlah tangan mereka. Jangan lupa ya, Nak! Cium. Karena mencium tangan mereka sama halnya kamu mencium tangan Nabi.” Seperti itulah mendiang Abah menganjurkan dan berpesan padaku.

Seperti kali ini, pesan itu pun terngiang kembali di telingaku. Seolah-olah mendiang Abah datang menghampiriku seraya berucap lirih. Lembut dan halus. Selembut permadani. Sehalus sutera.

“Abah, lihatlah anakmu sekarang. Akhirnya, setelah 5 tahun duduk di bangku sekolah MAN, anakmu kini berhasil juga mendapatkan ijazah,” kataku menatap langit yang cerah. Dengan senyum gembira.

“Berapa nilai ijazahmu, duhai Anakku?” Suara itu datang tiba-tiba, entah dari mana. Aku terkejut mendengarnya. Suara itu cukup jelas. Seperti suara manusia. Kepalaku menoleh ke kanan, ke kiri, ke depan, ke belakang. Tapi, tak ada seorang pun di sana.

Benarkah itu suara Abah? Aku bertanya-tanya. Dan seketika... “Berapa nilai ijazahmu, duhai Anakku?” Suara itu terdengar lagi di telingaku. Jelas sekali.

“Benarkah itu Abah?!” Gumamku pecah. Ah, tidak mungkin! Aku mencoba memastikan; Abah sudah meninggal. Sangat impossible orang mati bisa bicara lagi dengan orang yang masih hidup? Tidak masuk akal. Tapi suara itu..., pikiran bertempur dengan batinku. Antara iya dan tidak!

“Berapa nilai ijazahmu, duhai Anakku?” Lagi, lagi, dan lagi. Suara itu sudah tiga kali terdengar semakin jelas di gendang telingaku. Saat itu juga pikiranku meyakini, bahwa itu suara Abah. Siapa lagi kalau bukan Abah! Batinku.

Tanpa berpikir panjang, kubuka bungkus ijazah. Dan kusimak semua nilainya. Astaghfirullah... Mataku terbelalak. Nanar. Kakiku seperti mengambang. Lemas.

Lihat! Nilai ijazahku semuanya rata-rata 5,86. Tak lebih dan tak kurang.

Tak terasa air mataku menetes, dan mengucur deras. Tangisku tumpah di sudut sekolah. Hatiku menjerit pilu. Dan entah kenapa, tiba-tiba aku menjadi lemas tak bertenaga. Tubuhku terkulai dan roboh tak sadarkan diri.

Saat kubuka mata...
Ijazah dan sekolahku tak terlihat lagi. Semuanya terasa gelap. Sorot mataku tak dapat menangkap sesuatu apapun. Yang ada hanya si hitam merayap. Ketika aku hendak berteriak, tiba-tiba ada satu titik cahaya menghapiriku. Makin dekat. Dekat. Dan dekat. Kemudian cahaya itu bersuara, persis seperti suara Abah.

Duh, Nak! Bukankah kamu telah diajarkan untuk selalu bersabar dalam menghadapi dan menerima cobaan di dunia ini. Kenapa kamu malah bersedih? Apakah kamu tidak ikhlas menerima hasilnya. Bukankah, itu hasil dari pekerjaanmu sendiri. Nak, sebagai manusia mestinya kamu harus sabar, kuulangi, sabar. Karena dengan bersabar itulah Tuhan akan melihatmu tersenyum bangga. Ya, tersenyum bangga, Nak!

Setelah berkata demikian, cahaya itu pergi meniggalkanku. Makin jauh. Jauh. Dan jauh. Aku mengerjapkan mata. Kristal bening itu luruh. Di kelopak mataku yang kian basah, cahaya itu hilang seketika. Tak berbekas. Hanya pesan itulah yang masih membekas di telingaku.

Hingga kini.


Rabea El-Adawea, 17 April 2007
Ketika sabar menjadi lelatu dan angin menghempasnya melayang jauh.

Wednesday, October 17, 2007

Air Mata Lazuardi

Guntur meraung memecah kesunyian malam
Halilintar menyambar menyibak tabir kelam
Gerimis menetes, dan jatuh pelan-pelan

O, malam…
Tangan raksasa itu berkelabat
Di atas kepalaku

Aku terkejut dan takut
Aku gelisah dan resah

Tapi tiba-tiba, desau angin berbisik mesra;

“Tenanglah, wahai sang pujangga. Tangan raksasa itu tak ‘kan menamparmu.
Ia tidak jahat, sebab ia bukan penjahat. Ia hanya ingin mencari seekor kutu di rambutmu.”

Aku tercengang, keheranan!

O, malam…
Rupanya, tangan raksasa itu masih berkelebat
Di atas kepalaku

Hingga kini
Aku pun hanya bisa berilusi;

Mungkinkah, di malam itu aku kembali fitri?

Di luar dugaan
Derai hujan menganak sungai di halaman depan


Hay Tasi’, 17 Oktober 2007
Kala hujan deras menyiram kota Kairo.

Monday, October 15, 2007

Seorang Hamba Bertanya Pada Tuhannya

Mulai kudengar;
langit bertasybih
bumi bersyujud
mengalunkan puja-puji
ke hadirat Sang Ilahi

"Marhaban Ya Ramadhan..."

Mata tak mampu memandang
setumpuk dosa kian terpendam
di lubuk yang terdalam

Ya, Allah...
bulan maghfirahMu
kembali
bersinar terang di jagat ini

Tapi,
lihatlah tanganku
hampa
sejumput saja tak mampu meraih
anugerahMu yang suci

Kini,
hamba bertanya padaMu, Allah!
sudikah?
menghapus beban bejat
di hati ini


Kairo, 06 Sept 2007

--
"Minal Aidzin Wal Faidzin. Mohon Maaf Lahir Batin."

Saturday, September 29, 2007

Bisikan Semu

Kudengar…
Mereka berceloteh
Ini sampai itu

Tapi...
Aku mendengarnya tuli
Sebab, telingaku sudah terkunci

Ah, ternyata...
Di dinding jendela luar, kumelihat rembulan berlayar
Mengikuti jejak langkah para petualang

Duh, bisakah aku?
Meninabobokkan sang dewi malam


Menepuh Batas Kairo, 29 Juli 2007 22:30 WK

Friday, September 28, 2007

Rembulan di Langit Kairo

Wajah pasi Nayla menebar di seluruh ruang imajinasiku. Entah sedang apa Nayla saat ini. Merintih sakit? Dibujuk makan bubur putih? Ataukah sedang memikirkanku juga? Tidak Nayla. Maafkan aku. Jika dulu-dulu aku sering merasa ingin selalu ada dalam pikiranmu. Tapi tidak untuk saat kau sakit sekarang. Aku ingin kau lebih banyak bermunajat. Tidak rewel saat minum obat. Banyak melafalkan dzikir sebagai obat supaya sakitmu lekas sembuh. Kau harus tahu Nayla, sekarang Aku lebih rajin menghafal Al-Quran supaya lekas khatam, supaya bisa menemuimu dan diberkahi oleh-Nya.

Aku menyadari kebodohanku. Aku salah satu dari daftar ikhwan egois yang hanya memikirkan kepentingan pribadi tanpa mau memikirkan orang lain. Baru saat kekasih sakit aku menyadari kekeliruanku. Nayla mengharamkan bertemu lagi denganku. Padahal ia sedang sakit parah. Aku ingin memberikan kekuatan padanya. Ia mengajukan satu syarat; mau bertemu denganku setelah aku fasih dan hafal al-Quran 30 juz. Untuk menebus kesalahanku pada Nayla, aku habiskan waktuku dengan mempelajari dan menekuni ayat-ayat Allah.

Suatu hari aku pernah bercerita pada Nayla bahwa nilai hafalan Al-Quranku sangat rendah. Aku lebih asyik diskusi soal artis cantik dan gadis-gadis Mesir yang bertelanjang. Lebih asyik bercerita pemain-pemain sepak bola dunia. Syekh Qordawi sering menegurku. Nayla pun tak luput mengultimatumku. Semula aku benci dengan persyaratan yang diajukan oleh kekasihku, Nayla. Ia sebagai akhwat terlalu mengaturku. Harusnya sebaliknya, aku sebagai ikhwan yang lebih layak mengaturnya? Tapi, keadaan berubah. Sebulan kemudian Nayla jatuh sakit. Aku tersiksa dan tertekan. Menjadi Ikhwan tak berguna.

Usai shalat Ashar aku harus ke Husein, di tempat Masjid Al-Azhar untuk talaqqi Qur’an kepada Syekh Qordhawi. Tidak boleh terlambat. Harus sampai di sana tepat Pukul 04:00 waktu Kairo. Kusiapkan mushaf kecil, buku catatan, pensil, serta novel kesayanganku, karya Naguib Mahfouz (Lorong Midaq) ke dalam tas. Satu yang tidak kuikutsertakan ke dalamnya, yaitu; Ponsel. Benda itu kumasukkan ke saku celana supaya aman. Di negeri ini banyak pencopet yang berkeliaran. Di bis, di pasar, di terminal, dan di tempat ramai lainnya. Kubiasakan berdoa sebelum meninggalkan rumah agar perjalananku mendapat perlindungan dari-Nya.

Syekh Qordhawi sudah menungguku sejak tadi. Aku terlambat 30 menit. Perempatan Rob’ah macet total. Bis yang kunaiki terhambat di tengah jalan. Para sopir saling memaki. Suara mereka dan bunyi klakson sangat bising. Lantunan ayat-ayat suci Al-Quran dari MP3 yang kubawa cukup bisa mengusir kegaduhan itu. Hafalanku pun jadi lebih fasih.

Sesampainya di sana, seperti biasa, sebelum memulai talaqqi, Syekh Qordhawi menanyakan tentang kesiapanku. Beliau akan memulai bila hafalanku benar-benar di luar kepala. Hatiku sempat membatin, Syekh Qordhawi tak ubahnya seperti Nayla. Hafalanku tidak boleh tersendat-sendat. Tidak boleh putus-putus. Harus lancar dan sesuai dengan tata cara pembacaan Al-Qur’an yang benar. Begitu aku bilang siap, beliau memberiku isyarat dan memulai dengan membaca Basmallah.

Aku sukses mempraktekkan hafalan Qur’an sebanyak 3 Juz. Aku merasa lega dan Syekh Qordhawi juga tersenyum bangga padaku. Tinggal 27 Juz harus kuhafal sekaligus kuamalkan. Aku pamitan pada beliau. Pulang menuju rumah di Hay ‘Asyir. Kuperkirakan, waktu Maghrib aku sampai di Bawwabah. Sesampainya di sana nanti, aku tidak akan langsung menuju rumah melainkan mampir dulu di Masjid As-Salam. Di sana aku bisa shalat Maghrib sekalian melanjutkan hafalan Al-Qur’an.

Pesona rembulan tampak di langit Kairo. Kemilau sinarnya putih membiasi awan. Kerlap-kerlip sang bintang berpijar seperti kunang-kunang. "Indah..." Gumamku ketika muka tengadah ke atas. Namun keindahan itu tak lama tertindih oleh wajah Nayla yang sedang terbaring pasi di tempatnya. Aku ingin sekali ke sana menjenguknya. Tapi syarat yang diajukan Nayla belum bisa kupenuhi. Aku baru hafal 3 juz. Sedangkan yang diinginkan Nayla 30 Juz. Satu hal yang membuatku terlecut saat Nayla bilang; “sampai mati pun jika kau belum hafal Al-Quran 30 juz, maka aku tak akan mengijinkan dirimu menemuiku.” Bukan sekedar gertak. Hal itu harus menjadi komitmen antara aku dan dia.

Di bus, di kereta, di tikungan jalan, di perempatan jalan, di mana-mana mulutku tiada henti melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an. Tak terasa aku sampai di depan pintu rumah tepat jam 19:20 malam. Kupuaskan diri memandang wajah sang rembulan sebelum memasuki rumah. Bias sinarnya menyejukkan palung hati. Sementara udara malam membelai tubuhku dengan mesra. "Nikmat sekali..." Gumamku lagi.

Cukup lama aku mematung, tiba-tiba nada pesan ponselku berbunyi di saku celana. Kuambil, kemudian kubuka sms yang masuk, dan kubaca. Tidak sampai selesai pesan itu kubaca, aku spontan berlari masuk rumah. Di atas, kuambil jaket dan sedikit sisa uang bayar sewa rumah.

“Saiful, mau kemana lagi. Baru saja masuk, dah mau ngeloyor lagi?” Romli menyembul dari kamar dengan raut muka keheranan melihatku yang hendak menutup pintu. Dan, ia segara datang menghampiriku.

“Ehm, kamu Rom. Gak ada apa-apa kok! Hanya ingin keluar saja.” Sahutku.

“Oh, tak biasanya kamu begitu?” Jawabnya selidik.

Aku tak mempedulikannya.

“Udah makan belum? Kalau belum, makan dulu sana. Udah aku sisain tuh!” Jemarinya menunjuk meja makan.

“Makasih, Rom. Aku masih kenyang nih! Berangkat dulu ya...” Aku bergegas pergi. Setengah berlari. Tanpa menunggu jawaban darinya, aku menuruni tangga.

“Ful, hati-hati.” Romli berteriak mengingatkanku.

Cesss...! Perhatian Romli bagai tetesan embun malam. Romli satu-satunya temanku yang baik hati. Kebetulan kami sama-sama berasal dari Sumenep, Madura. Perhatian Romli membuatku merasa bersalah telah membohongi dirinya. Menyembunyikan sesuatu yang semestinya aku ceritakan. Apalagi aku hidup serumah dengannya. Sebagai seorang sahabat yang baik tidak seharusnya aku menutup-nutupi penyakit yang menimpa kekasihku, Nayla. Inikah makna persahabatan itu? Entahlah, hanya lambaian tangan inilah yang mengisyaratkan rasa terima kasihku yang mendalam. Semoga kebaikannya mendapat balasan yang mulia dari-Nya. Doaku kemudian dalam hati.

Jalan setapak kulalui, gang-gang kulewati. Malam ini rembulan bersinar penuh di langit Kairo. Jalan setapak dan gang-gang tampak sepi, tak ada satupun orang berkeliaran. Malam ini tampak lain dari biasanya. Para perampok, penyamun, dan orang-orang berkulit hitam tidak lagi melakukan aksinya. Mungkin mereka larut menikmati indahnya bulan di langit Kairo. Atau mungkin juga mereka ikut berpesta-fora bersama para gelandangan, anak-anak jalanan, serta penduduk sekitar. Menyanyikan lagu dan tari-tarian khas Mesir-an. Ah, ternyata pesona rembulan mampu mengetuk pintu hati manusia. Yang jahat menjadi baik. Yang baik bertambah baik? Hem, Indahnya...!

*@*

Di persimpangan jalan rumah megah itu sudah kelihatan. Sebentar lagi aku akan sampai di rumah Nayla. Kupercepat langkah kaki, hingga berlari. Risaunya pikiran masih mengusik ketentraman yang baru kurasakan. Pesan itu terus memburu jejak kakiku agar cepat sampai di sana.

Nayla gadis berdarah Kairo - Indonesia. Ayahnya dari Indonesia dan Ibunya campuran Kairo - Turki. Aku mengenalnya setahun lalu. Waktu itu aku sangat terburu-buru hendak pergi ke kampus. Sesampainya di tikungan jalan, secara tak sengaja aku menabraknya. Aku pun tidak tahu, tiba-tiba saja ia menyembul di depanku. Buah orange yang dibawanya berjatuhan. Ada yang menggelinding ke tengah jalan, dan sebuah mobil hampir saja menggilasnya. Untung aku cekatan. Terlambat satu menit saja barangkali tubuhku yang akan tergilas mobil.

Kulihat, ia menangis. Aku panik, sementara harus cepat-cepat sampai di kampus, ia menangis sambil memunguti barangnya yang berjatuhan. Tangisnya kini semakin keras. Rasa bersalah pun membuncah dalam dada. Akhirnya, aku membujuknya supaya idtak menangis. Tapi ia tetap menangis. Buah orange itu kukumpulkan dalam satu plastik berwarna putih. Kuserahkan kepadanya. Eh, tangisnya agak reda. Aku tersenyum.

“Maaf,” sapaku kemudian. “Aku Saiful,” kuserahkan kartu namaku. Tak lama, aku langsung bergegas pergi setelah mendapatkan nama dan nomor telepon darinya. Nayla, itulah nama yang tersimpan dalam otakku saat itu. Seminggu kemudian, aku diundang datang makan malam oleh kedua orang tuanya. Aku pun tak menolak ajakan itu. Aku sudah siap misal harus dimarahi karena telah menabrak anak gadisnya. Diluar dugaanku, ternyata Ayah Nayla sangat baik hati. Ia banyak bercerita tentang masa mudanya.

Dari situlah terbangun ikatan emosional antara aku dan Ayah Nayla. Ringkas cerita, kedua orang tua Nayla menjodohkan aku dengannya. Nayla pun mengiyakan. Hatiku tambah berbinar karena sejak pertemuan pertama aku tak bisa menghindari makluk sempurna ciptaan Allah itu. Hanya saja untuk segera menikahi Nayla, aku menawarkan supaya aku lulus dulu dari Al-azhar. Mendapat gelar Lc. Dan, ia juga menawarkan agar aku hafal semua ayat-ayat Al-Qur’an dengan fasih. Kesepakatanpun terikat menjadi tali kasih abadi.

Kini, aku terpaku setelah sampai di halaman depan rumah Nayla. Tanganku nyaris memencet tombol bel, namun kuurungkan. Aku ingat komitmen kami. Hafalan Al-Qur’anku belum genap 30 juz. Sejenak aku mematung di tempat itu. Namun tiba-tiba aku disentakkan oleh suara adzan Isya’ yang berkumandang dengan lembut nan syahdu. Takbir dan tahmid menusuk lubuk hatiku. Sebuah energi menelusup ke jiwaku. Rasa tenang. Damai. Teduh. Sinar rembulan menerpa wajahku. Kuurungkan menemui Nayla.

Dengan langkah cepat aku menuju masjid terdekat. Bergegas menuju Hammam mengambil air wudhu. Jangan sampai ketinggalan berjama’ah. Masjid tampak penuh. Para jema’ah menunggu Imam Masjid. Dari sudut ruangan, Imam Masjid keluar dengan jubah putih dan sorban merah. Jenggot dan rambutnya yang putih menandakan orang tua itu sudah berumur tujuh puluhan tahun. Namun wajahnya masih tampak berseri. Serentak para jema’ah berjajar rapat. Membentuk shaf. Salah satu di antaranya ada yang beriqomat. Shalat Isya’ pun dimulai. Aku berada di shaf ketiga.

Busyet, aku lupa mematikan HP atau sekedar menggetarkan nada deringnya saja. Ah, biarkan saja deh! Tidak mungkin ada yang nelpon. Bisikku. Kubiarkan HP dalam saku celana. Kemudian aku bertakbir; Allahu Akbar... Pada raka’at keempat nada panggilan tiba-tiba berbunyi. Aku tersentak, kubiarkan begitu saja.

Usai shalat, kulihat misscall di HPku. Penelponnya sama dengan yang tadi mengirim sms padaku. Saat itu juga perasaanku kembali kacau. Pikiran terus berkecamuk. Ada apa gerangan malam ini? Tanyaku dalam hati. Kenapa orang itu terus menghubungiku. Jangan-jangan...? Aku bermain dengan pikiranku sendiri. Aku bergegas keluar dari masjid. Kupercepat langkah kaki. Hingga berlari. Orang-orang Mesir melihatku keheranan. Namun tidak kupedulikan keadaan di sekitar. Aku ingin cepat-cepat sampai di rumah Nayla. Perasaanku tiba-tiba berkecamuk. Seperti terjadi sesuatu pada Nayla. Bukankah Nayla sedang sakit parah. Apalagi orang itu sudah beberapa kali mencoba menghubungiku.

“Sampai aku mati pun jangan sesekali mengunjungiku jika hafalan Al-Qur’anmu belum tuntas 30 juz!” Suara Nayla kembali terngiang-ngiang ditelingaku. Ya Robb, mengapa suara itu yang harus menghantuiku di saat aku mengkhawatirkan kondisinya? Aku marah. Ya. Marah pada diriku sendiri.

Dari seberang jalan aku melihat ambulan berada di depan rumah Nayla. Di sekelilingnya banyak orang-orang Indonesia dengan wajah sedih. Sepertinya telah terjadi sesuatu di rumah itu. Benarkah Nayla...? Tidak!!! Pekikku dalam hati. Aku ingin bertemu denganmu, melantunkan hafalan Al-Quran 30 Juz itu, lalu meminangmu. Tunggulah aku, Nayla. Jangan secepat itu kau pergi. Rengekku dalam hati. Tak terasa wajahku bersimbah air mata. Mulutku seakan tercekat.

Di bawah sinar lampu neon tampak sosok Romli berdiri di depan pintu rumah Nayla. Wajah yang biasanya ceria tampak sekali murung. Apa yang terjadi, Ya Allah? Benarkah Nayla...?! Kupercepat langkah kaki, hingga berlari. Dan sampailah aku di halaman depan rumahnya.

Romli datang menghampiriku. Rupanya ia melihat kehadiranku. Ia mendekat ke arahku. Kemudian berbisik lirih, “Ful, kamu tenang ya. Dan tabahkan hatimu. Nayla...., Nayla....” Belum selesai bicara dia menangis dan memelukku.

“Eh, ada apa ini. Mulai sejak kapan kamu jadi cengeng seperti ini?” Tanyaku dengan nada tinggi. Semua orang yang berada di tempat itu pada menatapku iba. Romli bermaksud menuntunku masuk. Tapi aku menggeleng dan bergeming di tempatku.

“Mas Saiful, Nayla sudah...” Salah satu dari sekian temanku yang ada di situ tiba-tiba menyembul dan bermaksud memberitahuku, tapi suara itu terpotong.

“Heiii... Diam kamu!” Bentak Romli pada teman yang hendak memberitahuku. Dia pun tidak berani meneruskan kata-katanya. Dan mundur ketakutan melihat wajah Romli yang naik darah.

“Ful, sahabatku yang terbaik,” kini beralih kepadaku dengan nada suaranya yang pelan dan lembut. “Sabar ya... Nayla..., Nayla..., ia telah berpulang ke Rahmatullah. Tadi selepas adzan Isya’ meninggal dunia. Katanya kamu sudah ditelpon oleh teman dekatnya, tapi gak ada jawaban.” Tangan kekar Romli merengkuh pundakku. “Aku dan semua teman-teman di sini ikut berduka cita atas kepergian kekasihmu, Nayla.” Ungkapnya penuh perhatian. “Ayolah, kita masuk!” Ajaknya kemudian.

Namun, aku tetap bertahan di posisiku berdiri. Romli semakin aneh dengan sikapku. “Apa kamu tak ingin melihat Nayla untuk terakhir kalinya?” Romli jengkel rupanya melihat ulahku itu.

Aku menggeleng. Tetap bersikukuh di tempatku, bahkan aku berusaha pergi meninggalkan rumah Nayla. Tapi Romli menahan dengan menarik lengan kananku dengan keras.

“Apa-apaan kamu ini, Ful? Masa kamu gak ingin takziah jenazah Nayla? Apa kamu sudah edan? Apa kata orang melihatmu datang tanpa mau masuk ke rumah dan ketemu dengan Nayla?” Romli berkata dengan berapi-api. Bola matanya membesar.

Pikiranku sudah mengembara, entah kemana... Aku seolah tidak sedang berada di depan rumah Nayla. Sungguh, aku ingin sekali duduk di samping jenazah Nayla. Berdoa untuknya saat ini. Tapi aku masih punya janji yang belum terlunasi. Aku benar-benar pergi. Romli geleng-geleng kepala seraya menjejeri langkahku. Dia tak mengerti dengan sikapku. Orang-orang di sekitarku juga terasa aneh menatapku. Romli masih berusaha membujukku supaya aku masuk melihat jenazah Nayla untuk yang terakhir kalinya.

Di atas langit bulan cantik menjelma petir, luluh-lantakan batinku, membakar hangus jiwaku. Jika boleh memilih, aku pilih tak percaya dengan apa yang kulihat. Nayla tidak mungkin pergi secepat itu. Dia pasti menungguku, datang dengan hafalan murottal 30 juz. Aku yakin Nayla masih hidup. Aku berbisik pada sahabatku itu, ”Rom, aku akan bertemu dengannya di surga kelak. Percayalah, aku mencintainya seperti aku mencintai Pencipta Rembulan yang sedang pasi tertindih awan itu.” Wajahku tengadah ke langit. Romli mendesah-esah. Nafasnya terasa berat berhembus. Dia membiarkanku pergi setelah menepuk pundak kananku.

Baru beberapa langkah aku pergi, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang-orang yang membacakan kalimat-kalimat tauhid. Terkejut, tersentak. Berbaur dalam pikiranku. Dan kalimat itu...

Kepalaku reflek menoleh ke belakang. Dari dalam rumah Nayla muncul beberapa orang memikul keranda. Di barisan depan orang yang membawa ambulan dan teman-temanku dari Malaysia berada di barisan paling belakang. Romli bergabung dengan mereka. Saat itu juga aku terpengarah, bola mataku terbelalak, nafasku naik turun, dadaku berdegub tak teratur, pikiranku sesak, kedua kakiku kaku. Aku seakan menjadi orang yang tak berguna. Semua kekuatan dalam tubuhku runtuh. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa itu bukan keranda Nayla. Mungkin karena di situ tidak kutemukan kedua orang tua Nayla. Keluarganya pun tidak ada di antaranya. “Ach, itu bukan keranda Nayla.” Yakinku.

Aku hendak berpaling dari tempat itu, tetapi si Nesha, teman karib Nayla berjalan ke arahku. Seolah-olah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan padaku. Dan, ternyata benar. Ia berkata kepadaku.

“Mas Saiful, sms saya tadi masuk kan? Telponku kenapa tidak diangkat?” Ya Allah... Ternyata Nesha yang mengirim sms dan hendak menelponku. Berarti di dalam keranda itu... Tiba-tiba kekawatiran kembali menyeruak dalam pikiranku. Mengguncang. Mengacaukan. Pusing... Bumi berputar kencang di bawah kakiku.

Entahlah, biasanya aku tidak berani menyentuh wanita yang bukan muhrimku. Tapi saat ini, tanpa sadar kedua tanganku telah mendekap pundak Nesha. “Ada apa dengan kekasihku, Nesha? Apa yang sedang terjadi padanya? Apa benar dalam keranda itu...” Suaraku tercekat dalam tenggorokan. Aku tak sanggup meneruskan kalimat tersebut. Mukaku tertunduk lemas di hadapan gadis berdarah Banten itu.

Namun Nesha tak bergeming melihat kondisiku. Malah ia berkata dengan nada marah. “Kenapa tadi kamu tak masuk melihat Nayla? Apa kamu sudah gila, hingga di saat-saat detik seperti kamu tak mau melihatnya lagi? Mana tanggung jawab kamu?”

Mendengar ungkapan itu kedua tanganku lepas dari pundaknya. Hatiku perih. Air mata mengalir deras membasahi pipiku. Jiwaku terkoyak. bBatinku tenggelam dalam tangis. Tenggelam dalam bisu. Mataku tak sanggup memandang keranda itu lagi. Aku memalingkan wajahku. Nayla pasti tidak menyukai kehadiranku di sini.

Nesha berkata lagi padaku, “Mas Saiful, sebelum meninggal Nayla menitipkan amplop kecil ini padaku.” Ia menyerahkan sebuah amplop kecil yang baru saja dikeluarkan dari saku busana muslimnya. Kemudian ia membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkanku. Itu yang lebih baik untukku. Aku sedang ingin menyendiri. Kupandangi surat kecil itu. Tanganku gemetar.

Aa’, sungguh Nayla merasa menyaksikan bunga-bunga bermekaran di sebuah taman. Pelangi membentang di atasnya. Banyak kupu-kupu berlarian saling berkejaran. Nayla ingin segera berada di sana. Bermain dengan kupu-kupu itu. Nayla lelah berada di tempat yang sangat gersang ini.
Aa’, jangan berhenti menghafal dan mengamalkan Al-Qurannya ya... Karena itu adalah kunci kita kelak bertemu di taman yang indah itu. Nayla tunggu Aa’ di sana. Aa’, jangan bersedih. Nanti Nayla malah nangis lagi. Masih ingatkan, ketika kita baru pertama kali bertemu. Bagaimana Nayla menangis sesenggukan di hadapan Aa’ waktu itu. Hihihi... Jadi malu!
Pesan terakhir Nayla pada Aa’ adalah perbanyaklah ibadah. Jangan malas-malasan. Karena setiap yang ada akan tiada. Dunia ini tak ada yang kekal abadi. Sekarang, ikhlaskan kepergian Nayla ya... Aa’ harus sabar, tabah, dan banyak berdoa untuk Nayla. Biar Nayla bisa tenang bercanda dengan kupu-kupu di taman itu.

Salam Purnama...
Ttd: Kekasihmu, Nayla.

Mukaku tengadah ke langit. Bulan pucat terkurung awan. Nayla seolah berpuisi di antara lekukannya. Menabur senyum kearahku. Kupahatkan janji padanya; Aku pasti menjumpaimu, duhai kekasihku. Dengan 30 juz bunga kehidupan. Aku akan memetiknya untuk Nayla. Dan, Yang Menguasai langit Kairo semoga memberiku secawan cinta-Nya.


Rabea El-Adawea, 04 Maret 2007

Keterangan:

·Talaqqi : Memperaktekkan hafalan Al-Qur’an.

·Husein : Adalah pusat perbelanjaan orang-orang manca negara.

·Rob’ah : Nama Robi’ah Al-Adawiyah dijadikan nama daerah.

·Hay ‘Asyir : Daerah yang banyak ditempati oleh orang-orang Indonesia.

·Bawwabah : Sebuah tempat yang letaknya berada di kawasan Hay ‘Asyir.

·Hammam : Kamar mandi. Orang-orang Mesir nyebutnya demikian.

·Negeri Kinanah : Julukan negara Mesir. Seperti; Negri Seribu Menara, dll.

·Masjid Al-Azhar : Masjid pertama yang didirikan oleh Universitas Al-Azhar.

·Masjid As-Salam : Masjid yang sering ditempati oleh orang2 Indonesia.