Saturday, September 29, 2007

Bisikan Semu

Kudengar…
Mereka berceloteh
Ini sampai itu

Tapi...
Aku mendengarnya tuli
Sebab, telingaku sudah terkunci

Ah, ternyata...
Di dinding jendela luar, kumelihat rembulan berlayar
Mengikuti jejak langkah para petualang

Duh, bisakah aku?
Meninabobokkan sang dewi malam


Menepuh Batas Kairo, 29 Juli 2007 22:30 WK

Friday, September 28, 2007

Rembulan di Langit Kairo

Wajah pasi Nayla menebar di seluruh ruang imajinasiku. Entah sedang apa Nayla saat ini. Merintih sakit? Dibujuk makan bubur putih? Ataukah sedang memikirkanku juga? Tidak Nayla. Maafkan aku. Jika dulu-dulu aku sering merasa ingin selalu ada dalam pikiranmu. Tapi tidak untuk saat kau sakit sekarang. Aku ingin kau lebih banyak bermunajat. Tidak rewel saat minum obat. Banyak melafalkan dzikir sebagai obat supaya sakitmu lekas sembuh. Kau harus tahu Nayla, sekarang Aku lebih rajin menghafal Al-Quran supaya lekas khatam, supaya bisa menemuimu dan diberkahi oleh-Nya.

Aku menyadari kebodohanku. Aku salah satu dari daftar ikhwan egois yang hanya memikirkan kepentingan pribadi tanpa mau memikirkan orang lain. Baru saat kekasih sakit aku menyadari kekeliruanku. Nayla mengharamkan bertemu lagi denganku. Padahal ia sedang sakit parah. Aku ingin memberikan kekuatan padanya. Ia mengajukan satu syarat; mau bertemu denganku setelah aku fasih dan hafal al-Quran 30 juz. Untuk menebus kesalahanku pada Nayla, aku habiskan waktuku dengan mempelajari dan menekuni ayat-ayat Allah.

Suatu hari aku pernah bercerita pada Nayla bahwa nilai hafalan Al-Quranku sangat rendah. Aku lebih asyik diskusi soal artis cantik dan gadis-gadis Mesir yang bertelanjang. Lebih asyik bercerita pemain-pemain sepak bola dunia. Syekh Qordawi sering menegurku. Nayla pun tak luput mengultimatumku. Semula aku benci dengan persyaratan yang diajukan oleh kekasihku, Nayla. Ia sebagai akhwat terlalu mengaturku. Harusnya sebaliknya, aku sebagai ikhwan yang lebih layak mengaturnya? Tapi, keadaan berubah. Sebulan kemudian Nayla jatuh sakit. Aku tersiksa dan tertekan. Menjadi Ikhwan tak berguna.

Usai shalat Ashar aku harus ke Husein, di tempat Masjid Al-Azhar untuk talaqqi Qur’an kepada Syekh Qordhawi. Tidak boleh terlambat. Harus sampai di sana tepat Pukul 04:00 waktu Kairo. Kusiapkan mushaf kecil, buku catatan, pensil, serta novel kesayanganku, karya Naguib Mahfouz (Lorong Midaq) ke dalam tas. Satu yang tidak kuikutsertakan ke dalamnya, yaitu; Ponsel. Benda itu kumasukkan ke saku celana supaya aman. Di negeri ini banyak pencopet yang berkeliaran. Di bis, di pasar, di terminal, dan di tempat ramai lainnya. Kubiasakan berdoa sebelum meninggalkan rumah agar perjalananku mendapat perlindungan dari-Nya.

Syekh Qordhawi sudah menungguku sejak tadi. Aku terlambat 30 menit. Perempatan Rob’ah macet total. Bis yang kunaiki terhambat di tengah jalan. Para sopir saling memaki. Suara mereka dan bunyi klakson sangat bising. Lantunan ayat-ayat suci Al-Quran dari MP3 yang kubawa cukup bisa mengusir kegaduhan itu. Hafalanku pun jadi lebih fasih.

Sesampainya di sana, seperti biasa, sebelum memulai talaqqi, Syekh Qordhawi menanyakan tentang kesiapanku. Beliau akan memulai bila hafalanku benar-benar di luar kepala. Hatiku sempat membatin, Syekh Qordhawi tak ubahnya seperti Nayla. Hafalanku tidak boleh tersendat-sendat. Tidak boleh putus-putus. Harus lancar dan sesuai dengan tata cara pembacaan Al-Qur’an yang benar. Begitu aku bilang siap, beliau memberiku isyarat dan memulai dengan membaca Basmallah.

Aku sukses mempraktekkan hafalan Qur’an sebanyak 3 Juz. Aku merasa lega dan Syekh Qordhawi juga tersenyum bangga padaku. Tinggal 27 Juz harus kuhafal sekaligus kuamalkan. Aku pamitan pada beliau. Pulang menuju rumah di Hay ‘Asyir. Kuperkirakan, waktu Maghrib aku sampai di Bawwabah. Sesampainya di sana nanti, aku tidak akan langsung menuju rumah melainkan mampir dulu di Masjid As-Salam. Di sana aku bisa shalat Maghrib sekalian melanjutkan hafalan Al-Qur’an.

Pesona rembulan tampak di langit Kairo. Kemilau sinarnya putih membiasi awan. Kerlap-kerlip sang bintang berpijar seperti kunang-kunang. "Indah..." Gumamku ketika muka tengadah ke atas. Namun keindahan itu tak lama tertindih oleh wajah Nayla yang sedang terbaring pasi di tempatnya. Aku ingin sekali ke sana menjenguknya. Tapi syarat yang diajukan Nayla belum bisa kupenuhi. Aku baru hafal 3 juz. Sedangkan yang diinginkan Nayla 30 Juz. Satu hal yang membuatku terlecut saat Nayla bilang; “sampai mati pun jika kau belum hafal Al-Quran 30 juz, maka aku tak akan mengijinkan dirimu menemuiku.” Bukan sekedar gertak. Hal itu harus menjadi komitmen antara aku dan dia.

Di bus, di kereta, di tikungan jalan, di perempatan jalan, di mana-mana mulutku tiada henti melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an. Tak terasa aku sampai di depan pintu rumah tepat jam 19:20 malam. Kupuaskan diri memandang wajah sang rembulan sebelum memasuki rumah. Bias sinarnya menyejukkan palung hati. Sementara udara malam membelai tubuhku dengan mesra. "Nikmat sekali..." Gumamku lagi.

Cukup lama aku mematung, tiba-tiba nada pesan ponselku berbunyi di saku celana. Kuambil, kemudian kubuka sms yang masuk, dan kubaca. Tidak sampai selesai pesan itu kubaca, aku spontan berlari masuk rumah. Di atas, kuambil jaket dan sedikit sisa uang bayar sewa rumah.

“Saiful, mau kemana lagi. Baru saja masuk, dah mau ngeloyor lagi?” Romli menyembul dari kamar dengan raut muka keheranan melihatku yang hendak menutup pintu. Dan, ia segara datang menghampiriku.

“Ehm, kamu Rom. Gak ada apa-apa kok! Hanya ingin keluar saja.” Sahutku.

“Oh, tak biasanya kamu begitu?” Jawabnya selidik.

Aku tak mempedulikannya.

“Udah makan belum? Kalau belum, makan dulu sana. Udah aku sisain tuh!” Jemarinya menunjuk meja makan.

“Makasih, Rom. Aku masih kenyang nih! Berangkat dulu ya...” Aku bergegas pergi. Setengah berlari. Tanpa menunggu jawaban darinya, aku menuruni tangga.

“Ful, hati-hati.” Romli berteriak mengingatkanku.

Cesss...! Perhatian Romli bagai tetesan embun malam. Romli satu-satunya temanku yang baik hati. Kebetulan kami sama-sama berasal dari Sumenep, Madura. Perhatian Romli membuatku merasa bersalah telah membohongi dirinya. Menyembunyikan sesuatu yang semestinya aku ceritakan. Apalagi aku hidup serumah dengannya. Sebagai seorang sahabat yang baik tidak seharusnya aku menutup-nutupi penyakit yang menimpa kekasihku, Nayla. Inikah makna persahabatan itu? Entahlah, hanya lambaian tangan inilah yang mengisyaratkan rasa terima kasihku yang mendalam. Semoga kebaikannya mendapat balasan yang mulia dari-Nya. Doaku kemudian dalam hati.

Jalan setapak kulalui, gang-gang kulewati. Malam ini rembulan bersinar penuh di langit Kairo. Jalan setapak dan gang-gang tampak sepi, tak ada satupun orang berkeliaran. Malam ini tampak lain dari biasanya. Para perampok, penyamun, dan orang-orang berkulit hitam tidak lagi melakukan aksinya. Mungkin mereka larut menikmati indahnya bulan di langit Kairo. Atau mungkin juga mereka ikut berpesta-fora bersama para gelandangan, anak-anak jalanan, serta penduduk sekitar. Menyanyikan lagu dan tari-tarian khas Mesir-an. Ah, ternyata pesona rembulan mampu mengetuk pintu hati manusia. Yang jahat menjadi baik. Yang baik bertambah baik? Hem, Indahnya...!

*@*

Di persimpangan jalan rumah megah itu sudah kelihatan. Sebentar lagi aku akan sampai di rumah Nayla. Kupercepat langkah kaki, hingga berlari. Risaunya pikiran masih mengusik ketentraman yang baru kurasakan. Pesan itu terus memburu jejak kakiku agar cepat sampai di sana.

Nayla gadis berdarah Kairo - Indonesia. Ayahnya dari Indonesia dan Ibunya campuran Kairo - Turki. Aku mengenalnya setahun lalu. Waktu itu aku sangat terburu-buru hendak pergi ke kampus. Sesampainya di tikungan jalan, secara tak sengaja aku menabraknya. Aku pun tidak tahu, tiba-tiba saja ia menyembul di depanku. Buah orange yang dibawanya berjatuhan. Ada yang menggelinding ke tengah jalan, dan sebuah mobil hampir saja menggilasnya. Untung aku cekatan. Terlambat satu menit saja barangkali tubuhku yang akan tergilas mobil.

Kulihat, ia menangis. Aku panik, sementara harus cepat-cepat sampai di kampus, ia menangis sambil memunguti barangnya yang berjatuhan. Tangisnya kini semakin keras. Rasa bersalah pun membuncah dalam dada. Akhirnya, aku membujuknya supaya idtak menangis. Tapi ia tetap menangis. Buah orange itu kukumpulkan dalam satu plastik berwarna putih. Kuserahkan kepadanya. Eh, tangisnya agak reda. Aku tersenyum.

“Maaf,” sapaku kemudian. “Aku Saiful,” kuserahkan kartu namaku. Tak lama, aku langsung bergegas pergi setelah mendapatkan nama dan nomor telepon darinya. Nayla, itulah nama yang tersimpan dalam otakku saat itu. Seminggu kemudian, aku diundang datang makan malam oleh kedua orang tuanya. Aku pun tak menolak ajakan itu. Aku sudah siap misal harus dimarahi karena telah menabrak anak gadisnya. Diluar dugaanku, ternyata Ayah Nayla sangat baik hati. Ia banyak bercerita tentang masa mudanya.

Dari situlah terbangun ikatan emosional antara aku dan Ayah Nayla. Ringkas cerita, kedua orang tua Nayla menjodohkan aku dengannya. Nayla pun mengiyakan. Hatiku tambah berbinar karena sejak pertemuan pertama aku tak bisa menghindari makluk sempurna ciptaan Allah itu. Hanya saja untuk segera menikahi Nayla, aku menawarkan supaya aku lulus dulu dari Al-azhar. Mendapat gelar Lc. Dan, ia juga menawarkan agar aku hafal semua ayat-ayat Al-Qur’an dengan fasih. Kesepakatanpun terikat menjadi tali kasih abadi.

Kini, aku terpaku setelah sampai di halaman depan rumah Nayla. Tanganku nyaris memencet tombol bel, namun kuurungkan. Aku ingat komitmen kami. Hafalan Al-Qur’anku belum genap 30 juz. Sejenak aku mematung di tempat itu. Namun tiba-tiba aku disentakkan oleh suara adzan Isya’ yang berkumandang dengan lembut nan syahdu. Takbir dan tahmid menusuk lubuk hatiku. Sebuah energi menelusup ke jiwaku. Rasa tenang. Damai. Teduh. Sinar rembulan menerpa wajahku. Kuurungkan menemui Nayla.

Dengan langkah cepat aku menuju masjid terdekat. Bergegas menuju Hammam mengambil air wudhu. Jangan sampai ketinggalan berjama’ah. Masjid tampak penuh. Para jema’ah menunggu Imam Masjid. Dari sudut ruangan, Imam Masjid keluar dengan jubah putih dan sorban merah. Jenggot dan rambutnya yang putih menandakan orang tua itu sudah berumur tujuh puluhan tahun. Namun wajahnya masih tampak berseri. Serentak para jema’ah berjajar rapat. Membentuk shaf. Salah satu di antaranya ada yang beriqomat. Shalat Isya’ pun dimulai. Aku berada di shaf ketiga.

Busyet, aku lupa mematikan HP atau sekedar menggetarkan nada deringnya saja. Ah, biarkan saja deh! Tidak mungkin ada yang nelpon. Bisikku. Kubiarkan HP dalam saku celana. Kemudian aku bertakbir; Allahu Akbar... Pada raka’at keempat nada panggilan tiba-tiba berbunyi. Aku tersentak, kubiarkan begitu saja.

Usai shalat, kulihat misscall di HPku. Penelponnya sama dengan yang tadi mengirim sms padaku. Saat itu juga perasaanku kembali kacau. Pikiran terus berkecamuk. Ada apa gerangan malam ini? Tanyaku dalam hati. Kenapa orang itu terus menghubungiku. Jangan-jangan...? Aku bermain dengan pikiranku sendiri. Aku bergegas keluar dari masjid. Kupercepat langkah kaki. Hingga berlari. Orang-orang Mesir melihatku keheranan. Namun tidak kupedulikan keadaan di sekitar. Aku ingin cepat-cepat sampai di rumah Nayla. Perasaanku tiba-tiba berkecamuk. Seperti terjadi sesuatu pada Nayla. Bukankah Nayla sedang sakit parah. Apalagi orang itu sudah beberapa kali mencoba menghubungiku.

“Sampai aku mati pun jangan sesekali mengunjungiku jika hafalan Al-Qur’anmu belum tuntas 30 juz!” Suara Nayla kembali terngiang-ngiang ditelingaku. Ya Robb, mengapa suara itu yang harus menghantuiku di saat aku mengkhawatirkan kondisinya? Aku marah. Ya. Marah pada diriku sendiri.

Dari seberang jalan aku melihat ambulan berada di depan rumah Nayla. Di sekelilingnya banyak orang-orang Indonesia dengan wajah sedih. Sepertinya telah terjadi sesuatu di rumah itu. Benarkah Nayla...? Tidak!!! Pekikku dalam hati. Aku ingin bertemu denganmu, melantunkan hafalan Al-Quran 30 Juz itu, lalu meminangmu. Tunggulah aku, Nayla. Jangan secepat itu kau pergi. Rengekku dalam hati. Tak terasa wajahku bersimbah air mata. Mulutku seakan tercekat.

Di bawah sinar lampu neon tampak sosok Romli berdiri di depan pintu rumah Nayla. Wajah yang biasanya ceria tampak sekali murung. Apa yang terjadi, Ya Allah? Benarkah Nayla...?! Kupercepat langkah kaki, hingga berlari. Dan sampailah aku di halaman depan rumahnya.

Romli datang menghampiriku. Rupanya ia melihat kehadiranku. Ia mendekat ke arahku. Kemudian berbisik lirih, “Ful, kamu tenang ya. Dan tabahkan hatimu. Nayla...., Nayla....” Belum selesai bicara dia menangis dan memelukku.

“Eh, ada apa ini. Mulai sejak kapan kamu jadi cengeng seperti ini?” Tanyaku dengan nada tinggi. Semua orang yang berada di tempat itu pada menatapku iba. Romli bermaksud menuntunku masuk. Tapi aku menggeleng dan bergeming di tempatku.

“Mas Saiful, Nayla sudah...” Salah satu dari sekian temanku yang ada di situ tiba-tiba menyembul dan bermaksud memberitahuku, tapi suara itu terpotong.

“Heiii... Diam kamu!” Bentak Romli pada teman yang hendak memberitahuku. Dia pun tidak berani meneruskan kata-katanya. Dan mundur ketakutan melihat wajah Romli yang naik darah.

“Ful, sahabatku yang terbaik,” kini beralih kepadaku dengan nada suaranya yang pelan dan lembut. “Sabar ya... Nayla..., Nayla..., ia telah berpulang ke Rahmatullah. Tadi selepas adzan Isya’ meninggal dunia. Katanya kamu sudah ditelpon oleh teman dekatnya, tapi gak ada jawaban.” Tangan kekar Romli merengkuh pundakku. “Aku dan semua teman-teman di sini ikut berduka cita atas kepergian kekasihmu, Nayla.” Ungkapnya penuh perhatian. “Ayolah, kita masuk!” Ajaknya kemudian.

Namun, aku tetap bertahan di posisiku berdiri. Romli semakin aneh dengan sikapku. “Apa kamu tak ingin melihat Nayla untuk terakhir kalinya?” Romli jengkel rupanya melihat ulahku itu.

Aku menggeleng. Tetap bersikukuh di tempatku, bahkan aku berusaha pergi meninggalkan rumah Nayla. Tapi Romli menahan dengan menarik lengan kananku dengan keras.

“Apa-apaan kamu ini, Ful? Masa kamu gak ingin takziah jenazah Nayla? Apa kamu sudah edan? Apa kata orang melihatmu datang tanpa mau masuk ke rumah dan ketemu dengan Nayla?” Romli berkata dengan berapi-api. Bola matanya membesar.

Pikiranku sudah mengembara, entah kemana... Aku seolah tidak sedang berada di depan rumah Nayla. Sungguh, aku ingin sekali duduk di samping jenazah Nayla. Berdoa untuknya saat ini. Tapi aku masih punya janji yang belum terlunasi. Aku benar-benar pergi. Romli geleng-geleng kepala seraya menjejeri langkahku. Dia tak mengerti dengan sikapku. Orang-orang di sekitarku juga terasa aneh menatapku. Romli masih berusaha membujukku supaya aku masuk melihat jenazah Nayla untuk yang terakhir kalinya.

Di atas langit bulan cantik menjelma petir, luluh-lantakan batinku, membakar hangus jiwaku. Jika boleh memilih, aku pilih tak percaya dengan apa yang kulihat. Nayla tidak mungkin pergi secepat itu. Dia pasti menungguku, datang dengan hafalan murottal 30 juz. Aku yakin Nayla masih hidup. Aku berbisik pada sahabatku itu, ”Rom, aku akan bertemu dengannya di surga kelak. Percayalah, aku mencintainya seperti aku mencintai Pencipta Rembulan yang sedang pasi tertindih awan itu.” Wajahku tengadah ke langit. Romli mendesah-esah. Nafasnya terasa berat berhembus. Dia membiarkanku pergi setelah menepuk pundak kananku.

Baru beberapa langkah aku pergi, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang-orang yang membacakan kalimat-kalimat tauhid. Terkejut, tersentak. Berbaur dalam pikiranku. Dan kalimat itu...

Kepalaku reflek menoleh ke belakang. Dari dalam rumah Nayla muncul beberapa orang memikul keranda. Di barisan depan orang yang membawa ambulan dan teman-temanku dari Malaysia berada di barisan paling belakang. Romli bergabung dengan mereka. Saat itu juga aku terpengarah, bola mataku terbelalak, nafasku naik turun, dadaku berdegub tak teratur, pikiranku sesak, kedua kakiku kaku. Aku seakan menjadi orang yang tak berguna. Semua kekuatan dalam tubuhku runtuh. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa itu bukan keranda Nayla. Mungkin karena di situ tidak kutemukan kedua orang tua Nayla. Keluarganya pun tidak ada di antaranya. “Ach, itu bukan keranda Nayla.” Yakinku.

Aku hendak berpaling dari tempat itu, tetapi si Nesha, teman karib Nayla berjalan ke arahku. Seolah-olah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan padaku. Dan, ternyata benar. Ia berkata kepadaku.

“Mas Saiful, sms saya tadi masuk kan? Telponku kenapa tidak diangkat?” Ya Allah... Ternyata Nesha yang mengirim sms dan hendak menelponku. Berarti di dalam keranda itu... Tiba-tiba kekawatiran kembali menyeruak dalam pikiranku. Mengguncang. Mengacaukan. Pusing... Bumi berputar kencang di bawah kakiku.

Entahlah, biasanya aku tidak berani menyentuh wanita yang bukan muhrimku. Tapi saat ini, tanpa sadar kedua tanganku telah mendekap pundak Nesha. “Ada apa dengan kekasihku, Nesha? Apa yang sedang terjadi padanya? Apa benar dalam keranda itu...” Suaraku tercekat dalam tenggorokan. Aku tak sanggup meneruskan kalimat tersebut. Mukaku tertunduk lemas di hadapan gadis berdarah Banten itu.

Namun Nesha tak bergeming melihat kondisiku. Malah ia berkata dengan nada marah. “Kenapa tadi kamu tak masuk melihat Nayla? Apa kamu sudah gila, hingga di saat-saat detik seperti kamu tak mau melihatnya lagi? Mana tanggung jawab kamu?”

Mendengar ungkapan itu kedua tanganku lepas dari pundaknya. Hatiku perih. Air mata mengalir deras membasahi pipiku. Jiwaku terkoyak. bBatinku tenggelam dalam tangis. Tenggelam dalam bisu. Mataku tak sanggup memandang keranda itu lagi. Aku memalingkan wajahku. Nayla pasti tidak menyukai kehadiranku di sini.

Nesha berkata lagi padaku, “Mas Saiful, sebelum meninggal Nayla menitipkan amplop kecil ini padaku.” Ia menyerahkan sebuah amplop kecil yang baru saja dikeluarkan dari saku busana muslimnya. Kemudian ia membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkanku. Itu yang lebih baik untukku. Aku sedang ingin menyendiri. Kupandangi surat kecil itu. Tanganku gemetar.

Aa’, sungguh Nayla merasa menyaksikan bunga-bunga bermekaran di sebuah taman. Pelangi membentang di atasnya. Banyak kupu-kupu berlarian saling berkejaran. Nayla ingin segera berada di sana. Bermain dengan kupu-kupu itu. Nayla lelah berada di tempat yang sangat gersang ini.
Aa’, jangan berhenti menghafal dan mengamalkan Al-Qurannya ya... Karena itu adalah kunci kita kelak bertemu di taman yang indah itu. Nayla tunggu Aa’ di sana. Aa’, jangan bersedih. Nanti Nayla malah nangis lagi. Masih ingatkan, ketika kita baru pertama kali bertemu. Bagaimana Nayla menangis sesenggukan di hadapan Aa’ waktu itu. Hihihi... Jadi malu!
Pesan terakhir Nayla pada Aa’ adalah perbanyaklah ibadah. Jangan malas-malasan. Karena setiap yang ada akan tiada. Dunia ini tak ada yang kekal abadi. Sekarang, ikhlaskan kepergian Nayla ya... Aa’ harus sabar, tabah, dan banyak berdoa untuk Nayla. Biar Nayla bisa tenang bercanda dengan kupu-kupu di taman itu.

Salam Purnama...
Ttd: Kekasihmu, Nayla.

Mukaku tengadah ke langit. Bulan pucat terkurung awan. Nayla seolah berpuisi di antara lekukannya. Menabur senyum kearahku. Kupahatkan janji padanya; Aku pasti menjumpaimu, duhai kekasihku. Dengan 30 juz bunga kehidupan. Aku akan memetiknya untuk Nayla. Dan, Yang Menguasai langit Kairo semoga memberiku secawan cinta-Nya.


Rabea El-Adawea, 04 Maret 2007

Keterangan:

·Talaqqi : Memperaktekkan hafalan Al-Qur’an.

·Husein : Adalah pusat perbelanjaan orang-orang manca negara.

·Rob’ah : Nama Robi’ah Al-Adawiyah dijadikan nama daerah.

·Hay ‘Asyir : Daerah yang banyak ditempati oleh orang-orang Indonesia.

·Bawwabah : Sebuah tempat yang letaknya berada di kawasan Hay ‘Asyir.

·Hammam : Kamar mandi. Orang-orang Mesir nyebutnya demikian.

·Negeri Kinanah : Julukan negara Mesir. Seperti; Negri Seribu Menara, dll.

·Masjid Al-Azhar : Masjid pertama yang didirikan oleh Universitas Al-Azhar.

·Masjid As-Salam : Masjid yang sering ditempati oleh orang2 Indonesia.

Friday, September 21, 2007

Sepotong Purnama

Duarrr...
seketika itu juga

Purnama,
pecah terbelah dua

Separuh,
terpasung di kelopak mataku

Separuh lagi,
entah di mana...

Mungkin,
ada yang tahu?

Kuharap,
kembalikan ia jadi satu!


Nasr City, 19 September 2007

Menanti Maafmu

Malam ini rembulan berwajah pasi. Kulitnya yang putih tak seputih bunga melati. Bola matanya yang bundar tak sebundar roda dokar. Tubuhnya kini berbentuk sabit, persis seperti celurit. Pesonanya semakin pudar digeluti gumpalan awan. Dijilat lidah kelam.

Di pojok kamar yang gelap, sosok manusia berbadan kurus itu sedang termangu memandangi satu titik cahaya -entah apa itu namanya; bintang, planet, atau makhluk langit lainnya- berkilau dari atas langit. Cahayanya teduh menghias malam. Mengitari cakrawala yang berselimut awan.

Semakin lama semakin larut pula manusia itu mengurai dan menikmati keteduhan suasana langit. Sepertinya, memang benar di sana tidak ada yang namanya kebencian. Yang ada hanyalah kasih sayang. “Oh, malam...,” desahnya. Manusia itu sedikit tenang rupanya. Larut dalam suasana.

Namun tak lama kemudian, telpon di ruang tamu berbunyi tiba-tiba. Nyaring. Manusia itu tersentak. Giginya menggerutu. Tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dan, kenikmatan yang baru saja dia rasakan lenyap seketika.

“Ah..., siapa sih malam-malam begini nelpon. Dasar...” Umpatnya kesal. Sepertinya dia marah pada bunyi telpon itu. Tapi apa boleh buat, jika dibiarin malah akan mengganggu konsentrasinya mengurai bahasa malam. Akhirnya, dengan sangat berat kaki itu melangkah juga menuju ruang tamu. Sesampainya di sana, manusia itu langsung mengangkat gagang telpon. Dan, terdengarlah suara dalam telpon itu berucap salam.

“Assalamu ‘alaikum...”

“Salam.” Jawabnya ketus.

“Aditnya ada, Mas...?” Tanya suara itu.

“Ada,” setelah berkata demikian, spontan manusia itu tersentak. Matanya terbelalak. Mulutnya menganga. Keningnya berkerut. Kakinya berdiri kaku. Seluruh kekesalannya tiba-tiba runtuh. Hancur berkeping-keping. Ternyata dia baru sadar ketika suara itu terngiang jelas di gendang telinganya.

"Lita...," tebakannya dalam hati. Mulutnya langsung terkunci. Bibirnya terkatup rapat. Nafasnya tercekat. Kini manusia itu tertunduk lemas menyesali sikapnya. Tanpa kata-kata. Tanpa suara. Yang terdengar hanya detak jantungnya yang kian melemah.

“Mana?” Suara di telpon terdengar untuk yang sekian kalinya. Masih semerdu dan selembut dulu.

Tapi, kenapa sekarang ia malah mencari gua. Masih kurang puaskah memarahi dan membenci gua hanya karena masalah sepele. Keluh manusia itu. Dan akhirnya, dia memberanikan diri menjawab pertanyaan Lita, namun lirih, “ya ini gua, Lit” Suaranya gugup.

Hah, kenapa mulai tadi loe...,” Lita heran. Dan suaranya terputus. Tak lama kemudian, suara yang putus itu kini tersambung lagi, “gak suka? Ya udah, gak jadi deh!”

Terpaksa manusia yang bernama Adit itu menjelaskannya dengan panjang lebar. Sehingga perdebatan pun berjalan seiring desau angin malam. Begitu lama. Sampai akhirnya, perdebatan di antara kedua anak manusia itu berakhir bisu. Hening. Sepi. Seperti malam terbalut sunyi.

Ada apa gerangan?

#*#

Malam-malam berlalu begitu menakutkan. Mencekam. Seperti wajah Adit kini. Tidak cerah, laiknya wajah rembulan. Pasi. Hatinya pilu, mungkin juga bersedih. Cewek yang selama ini dikaguminya ternyata masih enggan memaafkan kesalahannya tempo hari.

Waktu itu, tepatnya malam Minggu, salah satu temannya Lita yang dari Amrik datang berlibur ke Indonesia dan sekaligus mengadakan acara ultah di hotel Safari Internasional. Kebetulan Lita ditunjuk sebagai pembawa acara. Nah, sebelum acara itu dimulai, Lita mengajak Adit untuk menghadiri acara tersebut. Anehnya, tanpa perhitungan terlebih dulu Adit langsung mengiyakan. Bahkan dia berjanji dan bersumpah tidak akan melewatkan acara itu barang sedetikpun.

Tapi sayang seribu sayang, ketika janji sudah terikat dan sumpah terucap. Kenyataan sukar ditebak. Manusia... Tidak salah memiliki jargon; ‘Al-Insanu Mahallul Khotto’ Wannissan.’ Ternyata benar, bahwa kebenaran selalu berpangku pada Tuhan. Dan kesalahan selalu berpangku pada manusia. Duh!

Adit tidak menghadiri acara ultah itu. Entah, apakah dia sengaja melupakan janjinya, atau tidak!

Ah, terkadang janji memang hanya sebatas kata-kata.

#*#

Lita adalah salah satu tipe cewek yang paling tidak suka dibohongi. Apalagi oleh seorang cowok. Ia mempunyai jiwa pemberani dan tegas, layaknya Ibu Kartini. Entah, apakah karena ia cewek blesteran, yang mengutamakan pentingnya waktu, hingga setiap tindakannya harus sesuai dengan waktu yang ditentukan. “Time is money.” Begitu katanya ketika ditanya perihal tentang waktu.

Di malam yang masih berkabut kelam, Lita menegur Adit. Mungkin ia marah. Mungkin juga ia sudah membenci Adit.

“Kenapa loe bohong, Dit?” Pertanyaan yang tegas, namun menyentak.

“Maafkan gua, Lit! Gua lupa.” Jawab Adit datar.

Semudah itukah? Lita geram, dan bahkan kesal melihat sifat Adit yang tiba-tiba berubah menjadi manusia pembohong. Rasa kebencian itu tumbuh dengan sendirinya. Lalu, makhluk mana yang tak akan marah mendengarkan alasan Adit yang tidak kuat itu.

Barangkali rembulan pun akan bertanya-tanya, “semudah itukah alasanmu, duhai Matahariku?

Kini, raut mukanya naik pitam. Amarahnya sudah mulai bergejolak. Sepertinya, ombak itu akan semakin ganas menghantam perahu layar. Dan lihatlah..., dengan intonasi yang cukup keras dan tegas, Lita berucap, “Dit, lidah itu tidak bertulang. Semua orang bisa berkata seperti itu. Berjanji. Bersumpah. Tapi kenyataannya banyak dari mereka yang ingkar, bahkan dusta.”

Wajah Adit minder juga mendengar kata-kata itu, yang secara tidak langsung menyindirnya. Tapi, namanya saja orang yang suka berbual, tetap saja tingkah lakunya tak berubah dan tak gampang menyerah begitu saja. Dia telah menganggap hati kaum Hawa gampang lunak apabila mendengar kata-kata romantis. Akhirnya dia pun merayu, berkata manis dan mendayu-dayu.

"Gua sungguh-sungguh menyesal, Lita!" Dan apa yang dia harapkan, tetap saja hasilnya nihil.

Ternyata... Adit salah alamat. Lita bukanlah tipe cewek yang suka digombalin. Memang, ia sering dibilang cewek ‘tomboy’, akan tetapi berjiwa Kartini. Bijak. Penuh tanggungjawab. Tidak mudah mengobral janji sekiranya tidak bisa ia tepati. Itulah Lita, bukan Adit.

Keesokan harinya...
Lita tetap pada pendiriannya, masih enggan menerima kata maafnya. Melihat kenyataan pahit itu Adit hanya bisa termenung. Menerimanya dengan pasrah. Dia teringat akan janjinya yang tak pernah ditepati. Adanya hanya alasan yang tak pasti. Ternyata, manusia yang suka berbual itu sadar juga akhirnya. Dia menyadari jika dirinya telah banyak membohongi orang, terlebih lagi pada orang yang dikaguminya, Lita.

Kebohongan-kebohongan yang sering dilakukan membuat pikirannya tidak bisa tenang. Hatinya sedih. Kesehari-harinya murung di dalam kamar. Bahkan keluar pun dia enggan beranjak. Sepertinya, dia terombang-ambing oleh kesalahan-kesalahan yang sering dilakukannya.

“Lita benar, gua yang salah,” bisiknya tiba-tiba. Kemudian dia melabuhkan dirinya dalam sujud.

Ya, Tuhan! Kenapa hamba bisa seperti ini. Menjadi makhluk paling lemah di dunia. Bukankah, hamba lelaki yang punya martabat lebih tinggi daripada wanita. Yang punya kekuatan untuk memimpin. Tapi kenapa, malah hamba yang menjadi budak.

Rupanya, anak sungai itu mulai mengalir deras di atas sajadah.

#*#

Pada malam kedua, tepatnya malam Rabu, Lita mencoba meraih gagang telpon hendak menghubungi Adit. "Barangkali sekarang dia sudah sadar, atau setidaknya tidak akan pernah mengobral janji-janjinya lagi." Pikir Lita. Kemudian tanpa basa-basi, ia langsung berkata, “Dit, gua akan memaafkan kesalahan loe. Tapi...” Suaranya masih terputus.

Mendengar ungkapan tersebut, pikiran Adit sedikit lega. Tenang. Wajahnya seketika nampak berseri-seri. Ceria. Hatinya pun ikut berbunga-bunga. Lalu dia berucap lirih, “tapi apa, Lit?” Tanya Adit penasaran. Telinganya sudah tidak sabar menunggu jawaban.

“Gua akan memaafkan kesahalan loe. Asalkan..., besok loe harus datang ke tempat kita bertemu dulu. Ada sesuatu yang ingin gua omongin sama loe di sana. Ok?! Dan ingat, kalau loe ternyata tidak datang juga, maka jangan harap gua bisa memaafkan loe. Selamanya...” Papar Lita panjang lebar.

“Kok bisa gitu, Lit?” Timpal Adit heran. Keningnya berkerut.

“Ya, iyalah. Ini sebagai jawaban atas kebohongan loe tempo hari. Huh!” Balas Lita agak sewot mendengar kata-kata Adit yang masih hendak mengelak.

“Lit, apakah tidak ada cara lain untuk mendapatkan kata maaf dari loe. Begitu besarkah salah gua hanya karena kejadian sepele itu?” Rupanya Adit tidak ingin langsung menyerah. Dia masih berani mempertahankan sifat keegoisannya.

“Jelas... Karena ini kesalahan loe yang amat fatal. Loe selalu berjanji, tapi tidak pernah ditepati. Loe tahu kan, bahwa yang namanya janji itu harus ditepati. Jika ingkar, maka dosa hukumnya!” Kali ini Lita menceramahi Adit dengan meledak-ledak.

“Dit, janji itu adalah hutang dan harus dibayar.” Sambungnya kemudian. Dan lawan bicaranya terdiam. Mulutnya kelu.

Kini Adit tidak berani lagi menimpali ungkapan Lita. Diam membisu. Suara itu persis seperti malaikat Mungkar-Nakir yang sedang mewanti-wanti, memaki dan mengintrogasi para ahli kubur. Hingga... Adit pun menjadi beku, persis seperti gunung salju.

Sejurus kemudian, terdengar panggilan Lita yang mencairkan kebekuan dirinya. “Dit.. Kok diam sih!” Sedikit keras. Kelihatannya Lita sedang menghela nafas dalam-dalam. Lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Dan, ia berucap lagi, “kalau emang loe enggak mau datang bilang terus terang. Gua tahu kok! Waktu loe memang tidak akan pernah ada untuk gua. Gua merasa, Dit!” Entah kenapa, nada suaranya tiba-tiba mengiba seperti itu.

Mendengar ungkapan itu, Adit merasa berdosa karena tidak pernah menepati janjinya sendiri. Membuat sakit hati orang yang dikaguminya. Lalu dia berpikir sejenak, “bagaimana seandainya semua cowok seperti gua. Sering bikin kecewa dan sakit hati kaum Hawa. Akan menjadi apa dunia ini?

Kemudian dia mendapat kekuatan untuk berucap tegas, “Lit, gua akan datang ke tempat itu. Janji gua kali ini adalah pasti bukan basa-basi. Percaya deh!” Senyum Adit mengambang di lekuk bibirnya.

Lita yang mendengar ungkapan itu hanya bisa tersenyum. Dan, ia pun berucap, “kalau begitu makasih ya, Dit! Berarti sepenuhnya rembulan bakal menjadi milik loe.” Ucapnya dengan luapan hati yang teramat dalam. Adit pun tertegun mendengar bahasanya.

Namanya Adit, mendapat kesempatan tidak akan dibuang percuma. Langsung dia merangkai senjata ampuhnya. Seperti biasa, dengan mimik muka tebar pesona Adit memulai membaca mantranya, kemudian terdengar seperti berpuisi mulut itu melontarkan kata-katanya.

Aku hanya ingin menanti maafmu, duhai sang kekasih...” Merdu nan syahdu. Memikat hati pendengarnya.

Bidadari di sebrang sana terpana mendengarkan kata-kata Sang Arjuna. Hanya desah nafasnya yang diburu angin. Panah asmara itu telah menancap di relung hatinya. Marah tumbuh sayang. Sayang berbunga cinta. Cinta berbuah rindu. Indahnya...

Malam ini raut wajah ayu itu tersipu malu. Lihatlah, ia tidak berkata apa-apa lagi. Bahkan menyudahi obrolannya pun tanpa pamit.

Inikah arti keindahan semu?


Cairo, 21 Februari 2007
"ketika kuterlelap, bintang jatuh di pelupuk mataku."

Friday, September 14, 2007

Berakhir Bisu

Bimbang menyeruak
Kebisuan berteriak
Pikiran di rajam sekat

Emosi tak terkendali
Kekuatan bersembunyi
Di balik tirai nafsu birahi

Ya, Rabbi…
Dosakah diri ini
Salahkah tangan ini

Bertapak nasib
Pada sang waktu
Berakhir bisu


Al-Azhar, 24 Januari 2007

Saturday, September 08, 2007

Ambisi Manusia

lihatlah...
dulu, wajah mereka terpampang di mana-mana
di sini, di sana, semuanya ada
bibirnya menebar senyum
lidahnya menyumbar janji
apalagi, kalau bukan untuk kemewahan
yang ingin mereka jilat sepuas hati

dan kini, lihatlah...
ketika gelar mahkota mereka raih
ketika kursi jabatan mereka duduki
ketika roda pemerintahan mereka kuasai
dan ketika... ketika... ketika...
semua sudah mereka miliki

apa yang terjadi...
lihat
lihat
lihat, Kawan!
jidat mereka penuh dengan ambisi
mereka menjadi sombong, rakus, dan tamak
mengunyam negeri Pertiwi

lalu...
bentuk kesejahteraan seperti apa yang kau harapkan, Kawan!
jika ternyata, senyum dan janji mereka
hanyalah omong kosong belaka


Indonesia, 20 Juni 2005
"semakin hari pesona Indonesiaku semakin pudar"

Ratapan di Bawah Menara

SEPERTI BIASA. Malam datang. Siang bertandang.

Dingin menggeluti kedua tubuh anak jelata yang duduk tersimpuh di bawah menara. Setiap malam mereka selalu seperti itu. Berteman dinginnya udara malam. Tanpa pembalut. Tanpa selimut.

"Kak, bagaimana ya caranya agar kita jadi orang kaya. Biar hidup kita gak menderita seperti ini," tiba-tiba suara kecil itu bertanya dengan raut muka pucat pasi. Tangannya menekan perut yang entah sejak kapan tak terisi sebutir nasi. Hanya liur yang sering ia telan setiap hari.

Sang kakak terkejut mendengar pertanyaan adiknya. Kemudian dia pun menimpali kata-kata adiknya, "Dik, kamu gak usah berpikir sejauh itu. Wong, selembar rupiah saja kita gak punya. Apalagi mau menjadi orang kaya. Mustahil, Dik!" Jawaban sang kakak membuat kening adiknya berkerut. Sepertinya, ia tidak puas dengan lontaran kakaknya itu.

"Kenapa...? Apa tidak boleh seorang anak jelata hidup mewah. Kaya raya. Bukankah, Tuhan maha adil, Kak!" Selorohnya tiba-tiba.

Sayang, sang kakak hanya membalasnya dengan diam. Seperti batu membisu. Dia tak mampu menjawab. Sedih pun mengakar seperti tuak di gelas yang lama tak disentuh tangan dan bibir. Ada perasaan luka menyayat hati sang kakak melihat tubuh adiknya kian hari tambah kurus kerempeng. Sedang pakaian yang dipakai tak lain hanyalah baju bekas yang dipungut dari bak sampah.

Suasana hening.

Dan, tiba-tiba suara anak-anak jelata lain ramai berdatangan. Sepertinya, mereka juga teman seperjuangannya. Melihat banyak yang datang, sang kakak langsung berdiri dan mengajak adiknya yang kurus tak bertenaga itu agar kembali melakoni aktifitas kesehari-hariannya.

Dengan muka kusut, tangan kotor, serta baju sobek sana-sini mereka memulai aktifitasnya. Meminta, mengemis, bahkan meratap ke setiap orang yang didatanginya. Tapi anehnya, dari sekian banyak orang yang mereka datangi, sedikit pun tak ada yang merasa iba. Tak ada yang mau bersedekah. Raib. Mereka pulang dengan tangan hampa. Kosong.

Malam pun larut dalam kesedihan mendekab tubuh-tubuh kurus anak jelata yang terbujur kaku di sudut malam yang dingin.

* * *

SEPERTI BIASA. Siang datang. Malam bertandang.

Mentari terpasung di kaki langit. Sinarnya yang hangat menerpa tubuh anak-anak jelata yang tidur pulas di bawah menara. Rasa laper yang ditahan tersirat di lekuk bibirnya yang kering. Namun, kebiasaannya untuk meminta, mengemis, bahkan meratap pada manusia telah menjadi sepenggal semangat hidupnya.

Sesuap nasi dan sekeping uang receh menjadi pinta mereka, menjadi harapan mereka mengisi perutnya yang kian tipis. Coba dengarkan suara ratapan mereka ketika tangan kurus itu terjulur di hadapan orang-orang yang dihampirinya.

"Pak... Om... Bu... Tante... Minta uangnya. Aku lapar. Aku belum makan." Begitulah, anak-anak jelata dengan mata merah dan suara agak serak meminta, mengemis, bahkan meratap kesemua orang.

Tapi, entahlah!

Terkadang hanya makian. Hinaan. Tatapan sinis. Bahkan ketidak pedulian yang sering mereka telan. Setiap hari. Bahkan berhari-hari semakin banyak manusia-manusia pongah. Entah, karena merasa benar atau memang tak punya rasa pri kemanusiaan.

Siapa yang tahu? Anak-anak jelata itu bertanya pada debu dan sampah. Berguru pada malam dingin dan panas terik. Menunggu jawaban dari geliat di perut. Tak ada! Yang ada hanyalah tatapan sinis belaka.

Siang ini seisi bumi mulai memanas. Entah sampai berapa kekuatannya. Dan entah sampai kapan pula mata orang-orang angkuh itu akan berhenti memburu harta, sedang di depan, belakang, samping masih terdengar ratapan anak-anak jelata yang ingusan.

Masya' Allah...

Udara panas semakin menyengat. Dan anak-anak jelata itu tidak pernah mengaduh dan menyerah. Mereka tetap ada, dan selalu ada di mana manusia berada. Mungkin pada manusia bijak itulah mereka berjuang memperpanjang sisa-sisa hidupnya. Ya, ampun!

Matahari semakin mengeras, seperti hati manusia kian cadas.

* * *

Siluet senja membentuk sapuan jingga. Langit merah saga. Anak-anak jelata berlari terbirit-birit mencari sisa butir nasi di tong-tong sampah. Dari arah belakang, tiba-tiba terdengar suara panggilan...

"Kak, tunggu aku." Pinta si adik tiba-tiba.

Spontan sang kakak berhenti. Dia menoleh ke belakang, kemudian menghampiri adiknya, "kenapa kau, Dik?" Tanya sang kakak. Heran.

"Aku tak kuat lari lagi, Kak!" Suaranya serak. Nafasnya pun tersendat-sendat.

"Ya, kenapa dulu?" Sang kakak mengintrogasi. Kali ini dia bingung melihat seluruh bagian tubuh adiknya gemetar. Tangan. Kaki. Sampai mukanya pucat pasi.

"Aku...," tak sempat mulut itu berucap. Tiba-tiba tubuhnya terkulai. Roboh. Dan kepalanya jatuh menubruk batu.

"Dik, jangan main-main kamu. Bikin atraksi di sini gak bakalan ada orang yang mau memperhatikan kita, lho!" Dengan perasaan kalut, sang kakak berdiri mematung mengharap jawaban dari adiknya.

Tapi..., tetap tak ada jawaban. Adiknya bergeming, tanpa gerak. Akhirnya, sang kakak pun mendekatinya. Masih dengan perasaan kalut, dia tenangkan diri berpikir adiknya hanya berpura-pura saja.

"Dik!"

Tetap tidak ada jawaban.

Darah segar mulai mengalir deras dari kepala adiknya yang tersungkur di atas batu. Sang kakak hanya termangu. Kemudian...

"Ini tidak pura-pura, Adikku bukan aktor." Sang kakak berperang dengan batinnya, antara percaya dan tidak.

Spontan dia merangkul adiknya dengan erat. Mengguncang-guncang tubuhnya, dengan harapan, kelopak mata adiknya terbuka dan kembali memainkan titik hitamnya. Tapi, tetap tidak ada tanda-tanda.

Rohnya kini pergi meninggalkan raganya. Berpulang menghadap Sang Pencipta.

Innalillah...

Ketika sang kakak menyadari perihal kematian adiknya, dia hanya bisa tersenyum kecil memandang tubuh kurus yang sudah kaku itu. Kemudian dia tertawa terhadap apa yang baru saja terjadi. Satu-satunya saudara tercinta telah menjadi korban. Korban nasib yang mengharuskan mereka berpuasa setiap hari. Apalagi yang bisa dilakukan, air mata, liur sering mereka telan.

Dengan mata nanar sang kakak menggali kuburan adik satu-satunya. Dipandanginya muka kusut itu untuk yang terakhir kali. Tanpa kain kafan, dia membungkus tubuh adiknya dengan baju sobek. Perih. Pedih. Mengorek relung hatinya yang paling dalam. Batinnya menjerit melihat tubuh sang adik ditimbun tanah. Untuk selama-lamanya.

Di pelataran senja lenyap. Malam menjemput arwah seorang anak jelata di bawah menara.

* * *

SEPERTI BIASA. Malam datang. Siang bertandang.

Kian hari purnama berwajah pasi melihat nasib anak-anak jelata. Matanya sembab. Sinarnya teduh. Rintik-rintik berjatuhan. Bumi pun basah derai air mata.

"Cil, kenapa kau sendirian di sini. Adikmu mana?" Satu panggilan tiba-tiba. Namun, Kancil tidak menghiraukannya. Dia hanya membuka matanya sesaat, kemudian kembali tertunduk lemas. Badan kurusnya hanya mampu menopang kepedihan yang baru dirasa. Tanpa air mata. Tanpa kata-kata.

"Cil...!!!" Kali ini suara itu terdengar seperti petir. Tapi, Kancil tetap diam membatu.

Sama sekali dia tidak menghiraukan panggilan temannya itu. Kebenciannya pada manusia-manusia kikir telah membekukan semangat hidupnya. Bahkan dia marah kenapa mesti terlahir ke dunia, jika kenyataannya menelan nasib yang begitu pahit.

Pertanyaan-pertanyaan adiknya tiba-tiba terlintas dalam benaknya. Sampai sekarang dia masih tidak bisa menguraikannya. Tanpa air mata, dia meneteskan luka pada kehidupannya. Mengingatnya, membuat dirinya semakin terpuruk dengan perasaan bersalah.

"Duh Gusti, kenapa Engkau tega mengambil nyawa Adikku tercinta. Bukankah aku juga hamba-Mu," ratapnya.

Merasa tidak puas, Kancil lalu menghujat Tuhannya.

"Duh Gusti... Kenapa Engkau memberi kekayaan, kemewahan, dan hidup bahagia kepada manusia-manusia berhati serigala itu. Sedangkan diriku, Engkau malah biarkan terkurung dalam kemiskinan, kemalaratan, kelaparan, dan hidup menderita seperti ini. Kenapa, Gusti...?"

"Bukankah, diriku..." Kancil hendak melanjutkan hujatannya, tapi tiba-tiba suaranya tercekat. Sepertinya, dia sudah semakin lelah. Tak sanggup lagi berujar. Apalagi berteriak.

Seketika tubuhnya terkulai. Roboh. Dan kepalanya jatuh menubruk batu. Darah segar mulai mengalir deras. Lamat-lamat degub jantungnya semakin melemah. Kini, tak ada lagi suara degub jantung. Tak ada lagi hembusan nafas. Seluruh tubuhnya mengejang. Kemudian kaku.

Innalillah...

Kancil menghembuskan nafas terakhirnya di tengah hiruk-pikuk manusia. Siapa sangka kematiannya bakal berakhir di bawah menara, tempat di mana adiknya juga berpulang ke alam baka. Dia menyusul kepergian adiknya, mungkin juga sekarang telah berpelukan mesra. Siapa tahu? Jikalau Tuhan bakal mempertemukan mereka berdua di surga.

Di peraduan purnama tenggelam. Siang menjemput arwah seorang anak jelata di bawah menara.

* * *

Hanyalah jarak waktu...

Kematian yang mengenaskan terjadi lagi di muka bumi. Sayang, tak pernah ada realisasi menumpas kemiskinan dan kemelaratan para tubuh-tubuh yang tersiksa dan menderita. Barangkali, memang benar. Bahwa hanya sebuah lembaran berita yang akan memenuhi tembok dunia.

Duh, apa kata dunia...?!?


Rabea El-Adawea, 08 Desember 2006
Ombak menyampaikan salam dunia pada semesta.

Saturday, September 01, 2007

Entahlah

Jika,
Ia berani mempermalukan dirinya
Kenapa,
Ia justru tidak berani memperdulikan siapa dirinya
Lupakah siapa ia sebenarnya,
Hanya karena selembar rupiah yang tak bertahta

Entahlah...


Rabea El-Adawea, 18 April 2007
"ketika lidahmu menjadi sembilu"

Sepucuk Surat Buat Nona

"Nona..." Begitulah aku memanggilnya saat pertama kali aku berjumpa dengan dirinya di sebuah taman. Di kala itu, ia sedang menikmati gemercik air yang jernih dan tenang. Sambil sesekali menatap dengan penuh makna terhadap sang kura-kura kecil yang berenang di pinggir taman. Tersenyum saat ikan emas datang menari-menari di dekat jemari tangannya yang lentik.

Duhai, Nona...
Sungguh luar biasa Tuhan mencipta raut wajahmu itu. Adakah Dikau seorang bidadari yang diutus Tuhan untuk menemani kesendirianku di taman yang rindang ini. Gumamku dalam hati...

Waktu itu lidah semakin kaku untuk bicara. Muka tertunduk. Tidak seperti biasanya aku seperti ini. Tapi kali ini, saat segumpal senyum manisnya merekah ruah lagi-lagi hati yang jadi sasarannya. Sehingga hanya sebatas kata "Nona" yang dapat kuucapkan lantaran lidahku tak mampu lagi mengangkat suara untuk berbicara dengannya.

Mungkin aku terlalu bodoh karena tidak sampai mengenal sejauh yang hati mau. Hati meronta ingin dekat mesra dengannya. Tapi muka tak mampu bersua, lidah tak dapat berucap, dan bibir pun tertutup rapat. Sepertinya, hanya gumam senja yang dapat mengerti keadaanku saat itu.

Entahlah...

Sebuah pertemuan yang tak kusangka bakal menanam benih-benih cinta dalam dermaga jiwa. Di situlah, ternyata diriku telah terpaut benang asmara. Senyum manisnya selalu mengundang sejuta rindu dalam keranjang kalbu menoreh rindu sepanjang waktu.

Sejak pertama kali mata memandang benih-benih cinta tumbuh dengan sendirinya. Entah kenapa mata tidak bisa berkedip saat kilauan senja hadir temaram di raut wajah cantiknya. Putih dan halusnya kulit yang menempel di tubuhnya, bak kain sutera dari Negeri India.

"Oh, Nona...
Putihnya bunga ini
Tak seputih kulit dan wajahmu,
Adakah putihnya bunga ini
Adalah jalan menuju istana hatimu...?"

Sepenggal kata yang sempat bergejolak di lautan jiwa. Namun, tak mampu terungkap jua. Bisu menelan ragu. Mungkin inilah yang disebut; 'menulis kata menjadi makna sejarah buta'. Akhirnya..., hanya sebatang pena inilah yang mampu berkata di atas lembar-lembar kertas hampa.

Ya, hanya di atas lembar kertas inilah kuungkapkan semua yang bergejolak dalam relung jiwa. Saat pertama kali aku berjumpa dengan dirinya. Saat aku memanggil sebutan 'Nona' kepadanya. Dan saat bola mata tak mampu terpejam melihat keindahan wajahnya.

Duh, kenapa aku mesti bisu seperti ini. Bungkam mulutku untuk sekedar berbincang-bincang dengan dirinya, lantaran siapa?
Adakah malaikat yang telah mengkerangkeng lidahku, hingga tak mampu bertutur sapa dengan Nona yang sedang kupuja?

Ataukah karena dirimu, Nona... Yang kini membuat lidahku kelu. Rangkaian kata dengan deretan makna hilang begitu saja. Tubuhku gemetar, hati sesak bernafas, denyut jantung berhenti berdetak. Tak teratur. Naik turun.

Sungguh dahsyat kejadian dalam tubuhku kala menerobos barisan kesempurnaan auramu, Nona. Engkau hadir mengisi ruang hatiku dengan sekuntum bunga cinta, yang kini tumbuh dalam mangkok perjumpaan yang tiada pernah kusangka sebelumnya. Bunga itupun akhirnya mekar menjadi kembang surga. Harum menelusup jiwa. Wangi menusuk hati.

Tapi, adakah bunga yang mekar dalam hatiku adalah isyarat puisi hatimu?

Bisu menelan ragu.

@@@

Hasratku untuk berjumpa dengannya datang tiba-tiba. Mengalir sepanjang sendi urat nadi. Sebuah harap membuncah agar dapat bertukar sapa dan berbagi pengalaman dengan dirinya. Tapi demi waktu, aku malu bertemu dengan dirinya. Sesungging senyum terhias dalam lekuk bibirku. Sebentar. Dan kemudian, irama musik Kitaro mengalun syahdu menemani kesendirianku mengkhayal tentang dirinya yang kurindu.

Di benak kepalaku bimbang datang menyeruak. Entah, apa yang akan kusiapkan esok nanti agar saat kubertemu dengannya tidak larut dalam kebisuan seperti kemaren lagi. Ingin rasanya aku bercakap-cakap mesra dengannya. Bercerita kesejukan taman yang indah rupa. Serta mengutarakan ketakjubanku akan kesempurnaan raut wajahnya.

Tapi, mampukah aku...? Sebuah tanya membentur keraguanku.

Nah, itulah satu pertanyaan yang selalu mengusik batinku. Entah kenapa, pertanyaan itu yang selalu hadir dalam lembar waktuku saat kuingin mengenal lebih jauh tentang dirinya. Adakah itu bertanda bahwa, aku memang tidak mampu berbicara ketika bertatap muka dengannya.

Entahlah...

Lalu dengan jalan apakah yang akan kutempuh? Agar dia dapat mengetahui isi hatiku. Agar dia juga tahu bahwa, "palung jiwamu telah mengetuk pintu hatiku" di saat pertamakali kuberjumpa dengan dirimu. Tatapan indah matamu telah menjadi cahaya penerang hitamnya lorong hatiku.

Nona...
Kupanggil namamu di malam pekat nan sunyi, agar senantiasa menjadi teman kesendirianku berteman sepi. Ribuan bintang-gemintang di angkasa berpijar terang. Rembulan menjadi lampu malam. Penghias petang.

Nona...
Walau kau bukan purnama yang besinar di malam hari. Tapi kekagumanku padamu telah menepis kecintaanku pada purnama. Kau tidak seperti purnama yang lenyap saat mentari tersenyum di pagi hari. Kau adalah nyawaku yang setiap saat menghembuskan nafas-nafas cinta surgawi. Ketika aku mengingatmu, disitulah aku kembali bertakarrub kepada sang Ilahi.

Sejatinya, engkau adalah detak jantungku yang setiap saat membimbing tubuhku bertasbih kepada-Nya. Mengenangmu, sama halnya aku mengenang kasih sayang-Nya. Mengingatmu, sama halnya aku mengingat keagungan-Nya. Mencintaimu, sama halnya aku mencintai kebesaran-Nya.

Jadi biarkanlah aku berbicara, berteriak dan bahkan menangis malam ini. Karena malam tidak akan pernah memberi jawaban padaku. Malam hanya akan diam membisu seperti halnya diriku saat bertemu denganmu. Aku ingin mencurahkan semua hasrat yang bergejolak dalam hati pada sang malam. Agar sang malam menyimpan semua kecintaanku padamu dalam kebisuan yang takkan pernah berujung.

Biarlah nanti sang waktu yang akan menjawab semua yang terjadi di malam ini. Karena aku tak ingin kecintaanku kepadamu akan mengkandaskan pelayaranku menuju pelabuhan rahmat-Nya. Aku ingin sampai di pelabuhan-Nya dengan membawa sekeranjang cinta buat sang pemilik cinta. Akan kuhaturkan cinta ini pada Tuhan yang tak bertuan.

Tuhan bersemayam di atas sana bukan lantaran lelah oleh tugas yang diemban. Melainkan karena Tuhan sedang menunggu semua hamba-Nya membawakan cinta suci. Cinta yang tak terbungkus nafsu duniawi.

Dari itulah, aku akan selalu berusaha menjaga kesucian cinta ini dari jerat nafsu duniawi. Agar kelak cintaku benar-benar suci di sisi Sang Ilahi. Mekar dan harum di taman surgawi.

Akhirnya, kulipat sepucuk surat cinta ini buat sang kekasih. Dan kuakhiri dengan untaian puisi hati.

Nona...
Waktu kian merintih untuk kegalauannya,
terlalu manis Nona…
ketika lautan membagi impian,
oh… hanya suaramu tergenggam erat
di gerbang kerinduanku.
sedemikian dalam bahasa,
tiada kuasa
mengoyak langit pencarianku kepadamu,
tiada kekuatan
membelah awan ketulusanku tentangmu,
kisahmu
merajut kemegahan batinmu,
ku berharap…
tunjukkanlah wajahmu

Oh… Nona !
untaian suaramu,
tegarkan hati meronta
ketika matahari menjelang keangkuhannya
ya… ku tunggu suaramu,
menempah kesetiaanku
ku tunggu selalu Nona !
walau wajahmu kian tersembunyi
di balik pesona guratan tintamu,
untuk kehidupan…
tiada kejenuhanku mencari istana berpikirmu
demi satu kehidupan,
tiada pasti berjejak…
dan, ku tunggu kedatanganmu Nona…
di menara piramid cinta


Cairo, 17 Oktober 2006
“Harap Yang Berharap“