Saturday, October 20, 2007

Ijazah

SENIN PAGI. Mentari kembali tersenyum menyapa seluruh isi bumi. Aku bergegas pergi ke sekolah hendak mengambil ijazah. Sabtu kemarin, ijazah milik teman-temanku sudah ada yang diambil. Katanya, nilai mereka ada yang tinggi, ada pula yang rendah. Dan ketika kulihat...

Masya Allah!!!

Semakin aku mengingat nilai ijazah teman-temanku itu, semakin kuat pula rasa penasaranku untuk melihat nilai ijazahku sendiri. Aku menduga-duga, seperti apakah gerangan nilai ijazahku itu. Puaskah nanti aku menerima hasilnya? Atau jangan-jangan, nanti aku malah kecewa. Dalam benaku, berkelebatan sejuta tanda tanya.

Seperti biasanya, ketika berangkat ke sekolah aku naik angkutan umum. Sekitar satu jam lebih aku sampai di sebuah persimpangan jalan. Dan di sana aku turun, kemudian berjalan menuju tempat sekolah. Sesampainya di halaman depan sekolah, aku berpapasan dengan kakak senior yang diangkat menjadi guru agama di sekolah ini. Kepadanya aku memberi salam, serta tak lupa mencium tangannya.

Nak, kalau kamu bertemu dengan ulama, kiai, atau seorang guru pun, baik di masjid, di tempat pengajian, di sekolah, dan di mana saja, ciumlah tangan mereka. Jangan lupa ya, Nak! Cium. Karena mencium tangan mereka sama halnya kamu mencium tangan Nabi.” Seperti itulah mendiang Abah menganjurkan dan berpesan padaku.

Di halaman depan sekolah, aku diajak ngobrol sebentar. Sebagai muridnya, tentu saja aku mengiyakan. Kemudian, obrolan itupun bermula dari sebuah pertanyaan yang tak pernah kuduga sebelumnya.

“Menurut, dik Wafie. Pantas tidak Agama Islam itu diberi stigma sebagai agama teroris?” Seperti itu ia memulai obrolannya.

“Hah, masak sih, Mas!” Sedikit aku terperanjat. Pertanyaan yang dilontarkan guru agama menusuk telingaku. Kepalaku panas.

“Eh, Adik belum tahu, ya?!” Ia heran melihat ketidaktahuanku mengenai hal itu. Dan aku hanya bisa mengangkat bahu.

“Kemarin saya baca sebuah buku. Dan di situ menyatakan, bahwa Agama Islam itu adalah agama teroris. Agama yang ingin merusak, menghancurkan dan memberantas agama lain,” ia menjelaskan sangat antusias. Aku tidak bisa menimpali penjelasannya. Aku masih bingung. Merasa aneh.

Sejenak aku berpikir, apakah benar Agama Islam telah menjadi teroris bagi agama lain? Atau jangan-jangan, ini hanya rekayasa pemeluk agama lain untuk menghancurkan reputasi Agama Islam. Ah, tahulah. Aku masih kaku menafsirkan kenyataan itu.

Sejurus kemudian, guru agama yang berdiri di dekatku berkata lagi, “Nah, penyebab timbulnya statemen; Agama Islam teroris karena dititikberatkan kepada ulah para pemeluk Agama Islam itu sendiri, Dik. Di buku itu dicontohkah seperti, Imam Samudra, Amrozi, dkk. Konon katanya, Gedung WTC di Amerika runtuh diprakarsai oleh Osama Bin Laden. Lalu kemudian, Osama pun diincar oleh pasukan Amerika, bahkan diumumkan ke seluruh dunia; 'Barang siapa yang menemukan Osama, hidup ataupun mati, akan dibayar dengan berjuta-juta dollar!'” Demikian ia menyambung pembicaraannya. Amat serius.

Sekali ini, tanpa berpikir panjang aku langsung menimpali ungkapannya. Mungkin ada benarnya juga jika aku marah (entah pada siapa) dan tidak bisa menerima agamaku sendiri (Islam) disebut dan dikutuk sebagai teroris.

“Lantas, apakah Mas percaya?” Suaraku pun mengeras. Persis seperti orang membentak. Ia sedikit terperanjat mendengar pertanyaanku itu.

Namun kemudian dengan khas senyumannya itu, ia pun kembali menjawabnya dengan cara yang menurutku bijaksana, “percaya atau tidaknya itu kan tergantung bagaimana kita bisa melihat dan menemukan kenyataan yang sebenarnya toh, Dik! Kalau pun ternyata apa yang telah saya baca itu salah, kenapa juga kita harus percaya? Mungkin agama lain hanya ingin menjelek-jelekkan agama kita. Dan kalau pun itu tidak benar, hal inilah yang seharusnya perlu kita lakukan re-interpretasi. Perlu kita pertanyakan kembali. Mengapa saudara-saudara kita berani melakukan tindakan konyol? Atas dasar apa mereka bertindak seperti itu? Bukankah, tindakannya malah akan membuat jelek agamanya sendiri, yaitu Islam.” Jelasnya.

“Ya. Ya, aku setuju dengan hal itu. Tetapi apakah kita akan terus berdiam diri, tutup mulut, dan bungkam jika kabar tersebut sudah merajalela? Bukannya hal itu nanti malah akan membuat agama kita sendiri (Islam) yang dijadikan sebagai objek kambing hitam agama mereka; non Islam, maksudku?” Guru agama diam sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaanku. Barangkali, ia sedang berpikir atau mencari jawaban yang pas. Aku tidak tahu.

Semenit, dua menit, dan lima menit berlalu.

“Dik,” dengan lembut ia memulai ucapannya, “Rasulullah adalah panutan sekaligus suri tauladan yang patut kita contoh. Dulu, ketika beliau menyebarkan Agama Islam tidak hanya gunjingan, ejekan, caci makian dan umpatan yang sering beliau telan. Orang-orang kafir di masanya sering meludahi beliau. Bahkan lemparan batu-batu harus juga beliau rasakan. Tapi apa yang terjadi? Sedikitpun beliau tidak pernah marah, apalagi sampai membenci orang-orang kafir itu. Beliau tetap tersenyum. Dan tidak pernah membalas kejahatan dengan kejahatan pula. Tidak pernah! Sedikitpun, tidak pernah, Dik!!! Beliau justru bersabar dan tabah menghadapi semuanya. Kejahatan dibalas dengan kebaikan, kekerasan dibalas dengan kelembutan, amarah dibalas dengan senyum, dan begitu seterusnya. Itulah sifat Nabi kita, Dik! Lalu, bisakah kita selaku umatnya mencontoh dan meneruskan perjuangan beliau itu?”

Pertanyaan itu membentur kepalaku. Sebelum sempat aku berucap, guru agama meneruskan kembali paparannya, “Adik tahu pesan terakhir Nabi?” Ia melontarkan sebuah pertanyaan. Dan aku tidak mengetahuinya.

“Tidak!” Jawabku singkat. Garis di keningku berkerut. Sementara di kedua alisku membentuk perahu.

Melihatku seperti itu, guru agama memegang pundakku dan berkata, “sebelum meninggal beliau berpesan kepada Sahabat Ali. ‘Ummati... Ummati... Ummati...’ Ya, begitulah, Dik. Nabi kita mengulang-ulang pesan terakhirnya. Tiga kali!”

“Lalu, apa hubungannya dengan perkataan Mas tadi?” Dasar bego!!! Kenapa harus pertanyaan itu yang keluar dari mulutku. Bodoh! Goblok! Batinku bertempur dengan sifat keegoisanku. Kesabaranku sepertinya sudah mulai menipis, hingga suasana menjadi tegang seketika.

Tapi untunglah, guru agama orangnya sangat bijak, pengertian dan bisa membaca suasana. Ia tidak marah mendengar pertanyaanku yang bodoh itu. Lalu dengan khas senyumnya, guru agama kembali memintaku untuk tenang. Setelah suasana kembali mencair, ia pun bertutur dengan nada yang cukup lembut nan halus.

“Dik Wafie... Saya tidak bermaksud menghubung-hubungkan apalagi mencampur-aduk peristiwa di masa Nabi dengan peristiwa yang sering terjadi sekarang ini. Tidak!!! Tapi yang saya inginkan dari perkataan tadi adalah; agar Adik Wafie tahu betapa pentingnya kesabaran itu sendiri. Sabar, bukankah itu titah dari Baginda Nabi.” Sejenak beliau berhenti, menghela nafas tinggi-tinggi.

“Adik tidak perlu terlalu pusing memikirkan kejadian-kejadian yang sering menimpa agama kita,” lanjutnya. “Mulai dari label agama teroris sampai kepada Al-Qur’an yang sering disalahartikan. Seandainya seluruh jagat raya berteriak Agama Islam teroris, Al-Qur’an perkataan Muhammad belaka dan sebagainya itu, biarkan saja! Cukuplah dengan sabar Adik menghadapinya. Layaknya Rasulullah ketika menghadapi umatnya. Yang terpenting dari yang paling penting adalah Adik tetap yakin dan percaya bahwa Agama Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Dan, Al-Qur’an adalah kalamullah yang hakiki. Nah, dengan bersikap seperti itu sudah cukup. Tidak perlu membalas sebuah kebencian dengan kebencian pula. Itu tidak baik, Dik! Bukankah, Allah akan melihat dan menyaksikan seberapa besar nilai kesabaran kita ketika dihadapkan kepada berbagai macam cobaan di dunia ini. Apakah benar kita umat Muhammad sejati atau malah umat Firaun yang abadi,” panjang lebar ia menjelaskannya padaku.

Aku kembali terdiam ketika guru agama menjelaskan pentingnya nilai kesabaran itu. Sungguh aku tidak bisa berucap barang sedikitpun. Laiknya seorang prajurit yang ditegur oleh sang raja. Hanya bisa diam. Tanpa sepatah kata. Tertunduk lemas dan patuh.

Di hadapanku, guru agama mengangkat suaranya lagi, “Dik Wafie, kiranya cukup dulu sampai di sini. Sekarang saya hendak mengajar, dan Adik harus belajar. Ok?! Assalamu ‘alaikum,” ia beranjak meninggalkan aku sendiri. Tersenyum ramah.

Dalam diam, aku menjawab salamnya, “wa’alaikum salam.” Cara jalannya segagah mendiang Abah. Kata-katanya sebijak mendiang Abah. Sifatnya sesopan mendiang Abah. Semuanya tak ada yang beda. Sama. Aku membatin.

Tak terasa, aku dan guru agama berdiri di tempat ini sudah dua jam lebih. Semenjak mentari tersenyum menyapa bumi. Dan kini, sinarnya mulai menyengat ubun kepalaku. Menjamah sekujur tubuhku. Keringat pun mengucur membasahi seragam sekolahku.

&&&

Di ruang guru, para murid sedang berebutan menerima ijazahnya. Sepintas kusimak wajah mereka dari jauh. Ada yang tampak ceria, ada pula yang tampak sedih. Barangkali karena sebuah keberhasilan dan kegagalan. Pikirku dalam hati.

“Wafie,” bapak guru yang membagi-bagikan ijazah itu menyebut namaku. Oh, mungkin itu ijazahku. Spontan aku tersentak. Perasaanku mendadak gamang. Tanpa larut dalam lamunan, aku pergi menghampirinya. Kuambil ijazah itu. Sebelumnya, seperti biasa, aku mencium tangannya.

Nak, kalau kamu bertemu dengan ulama, kiai, atau seorang guru pun, baik di masjid, di tempat pengajian, di sekolah, dan di mana saja, ciumlah tangan mereka. Jangan lupa ya, Nak! Cium. Karena mencium tangan mereka sama halnya kamu mencium tangan Nabi.” Seperti itulah mendiang Abah menganjurkan dan berpesan padaku.

Seperti kali ini, pesan itu pun terngiang kembali di telingaku. Seolah-olah mendiang Abah datang menghampiriku seraya berucap lirih. Lembut dan halus. Selembut permadani. Sehalus sutera.

“Abah, lihatlah anakmu sekarang. Akhirnya, setelah 5 tahun duduk di bangku sekolah MAN, anakmu kini berhasil juga mendapatkan ijazah,” kataku menatap langit yang cerah. Dengan senyum gembira.

“Berapa nilai ijazahmu, duhai Anakku?” Suara itu datang tiba-tiba, entah dari mana. Aku terkejut mendengarnya. Suara itu cukup jelas. Seperti suara manusia. Kepalaku menoleh ke kanan, ke kiri, ke depan, ke belakang. Tapi, tak ada seorang pun di sana.

Benarkah itu suara Abah? Aku bertanya-tanya. Dan seketika... “Berapa nilai ijazahmu, duhai Anakku?” Suara itu terdengar lagi di telingaku. Jelas sekali.

“Benarkah itu Abah?!” Gumamku pecah. Ah, tidak mungkin! Aku mencoba memastikan; Abah sudah meninggal. Sangat impossible orang mati bisa bicara lagi dengan orang yang masih hidup? Tidak masuk akal. Tapi suara itu..., pikiran bertempur dengan batinku. Antara iya dan tidak!

“Berapa nilai ijazahmu, duhai Anakku?” Lagi, lagi, dan lagi. Suara itu sudah tiga kali terdengar semakin jelas di gendang telingaku. Saat itu juga pikiranku meyakini, bahwa itu suara Abah. Siapa lagi kalau bukan Abah! Batinku.

Tanpa berpikir panjang, kubuka bungkus ijazah. Dan kusimak semua nilainya. Astaghfirullah... Mataku terbelalak. Nanar. Kakiku seperti mengambang. Lemas.

Lihat! Nilai ijazahku semuanya rata-rata 5,86. Tak lebih dan tak kurang.

Tak terasa air mataku menetes, dan mengucur deras. Tangisku tumpah di sudut sekolah. Hatiku menjerit pilu. Dan entah kenapa, tiba-tiba aku menjadi lemas tak bertenaga. Tubuhku terkulai dan roboh tak sadarkan diri.

Saat kubuka mata...
Ijazah dan sekolahku tak terlihat lagi. Semuanya terasa gelap. Sorot mataku tak dapat menangkap sesuatu apapun. Yang ada hanya si hitam merayap. Ketika aku hendak berteriak, tiba-tiba ada satu titik cahaya menghapiriku. Makin dekat. Dekat. Dan dekat. Kemudian cahaya itu bersuara, persis seperti suara Abah.

Duh, Nak! Bukankah kamu telah diajarkan untuk selalu bersabar dalam menghadapi dan menerima cobaan di dunia ini. Kenapa kamu malah bersedih? Apakah kamu tidak ikhlas menerima hasilnya. Bukankah, itu hasil dari pekerjaanmu sendiri. Nak, sebagai manusia mestinya kamu harus sabar, kuulangi, sabar. Karena dengan bersabar itulah Tuhan akan melihatmu tersenyum bangga. Ya, tersenyum bangga, Nak!

Setelah berkata demikian, cahaya itu pergi meniggalkanku. Makin jauh. Jauh. Dan jauh. Aku mengerjapkan mata. Kristal bening itu luruh. Di kelopak mataku yang kian basah, cahaya itu hilang seketika. Tak berbekas. Hanya pesan itulah yang masih membekas di telingaku.

Hingga kini.


Rabea El-Adawea, 17 April 2007
Ketika sabar menjadi lelatu dan angin menghempasnya melayang jauh.

No comments: