Thursday, October 25, 2007

Bleeding Heart

“Mak, Agung meninggal tadi sore,” bunyi sms yang masuk ke hpku tiba-tiba. Aku kaget. Sebab tidak seperti biasanya. Pesan singkat itu menggantung di lengkung alis mataku. Ada perasaan aneh menyeruak. Aku mencoba memastikan untuk tidak percaya.

Ah, bercanda,” selaku begitu saja. Masih dengan sikap tenang. Dan mulut mencibir tanda tidak percaya.

Tapi sejurus kemudian, “Cong, sabar ya... Agung kamu telah meninggal dunia sekitar jam 4 sore tadi. Sabar ya...” Ada sms lagi masuk ke hpku. Nomer baru. Aku terkejut. Masih dengan perasaan aneh, kupaksakan untuk tetap tenang, dan menganggapnya hanya sebagai 'guyonan' orang-orang yang tidak punya kerjaan.

“Ah, jangan-jangan keluargaku sudah gila semua. Seenaknya dewe ngabarin Agung meninggal. Dasar...” Kesalku pada mereka yang mengirim sms. Karena kesal, kucoba untuk menonaktifkan hp. Dan ternyata gagal. Hpku berdering. Ada sms lagi.

Awalnya ingin kubiarkan saja sms itu. Tapi ada dorongan kuat, entah itu darimana, tiba-tiba datang menyergapku. Mengajakku untuk membaca dulu bunyi sms itu. Tanpa berpikir panjang, akhirnya kubaca;

“Ong, kalau bisa telpon sekarang juga. Aku di Lombang nih. Dan kamu gak usah gusar, tenang aja. Semua Allah yang menentukan. Pokoknya kamu harus sabar (Innallaha Ma’a Al-Shobirin). Ok! SABAR YA, CONG! SABAR!!!” Bunyi sms ketiga yang kuterima. Berbeda dari menit sebelumnya. Kali ini tidak berbentuk berita, tapi berupa pesan moral. Menyuruhku untuk bersabar. Kukira orang ini cukup bijak.

Tapi, sebijak apapun orang itu menyampaikan bahasa pesannya tetap saja meninggal tanda tanya dalam benakku. “Kenapa orang itu menyuruhku bersabar? Pasti sudah terjadi sesuatu, dan orang itu menyembunyikannya,” aku mereka-reka. Ada kepingan patah. Antara ragu dan percaya.

Benarkah?” Hanya itu yang sanggup terucap dari lidahku yang semakin kelu. Tak mampu aku berujar.

###

Langit merah. Kairo gerimis. Kemarin malam guntur meraung. Petir menyambar. Halilintar melukis punggung sahara. Kini desau angin bertiup kencang. Seiring suara adzan berkumandang kulepas semua belenggu kebingunganku perihal sms itu. Kemudian aku bergegas masuk hammam5. Selesai berwudhu’ aku melangkah menuju masjid untuk shalat Jum’at.

Sepulangnya dari masjid hpku berdering. “Ada sms lagi rupanya,” kataku pelan. Dan kubaca. Hah, sorot mataku tajam. Sms itu tidak ada tulisannya sama sekali. Kosong. “Ada apa ini?” Tanyaku kemudian. Jantung bergetar. Pikiran melayang.

Dan setelah dua menit berlalu hpku berdering lagi. Sms kesekian kalinya. Dengan cepat kubuka, dan kubaca;

Innalillahi Wainna Ilahi Raji’un… Agung telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Hari ini tepat jam: 16:00. Tolong doakan semoga arwahnya diterima di sisiNya.” Tanganku gemetar, dan hp yang kupegang jatuh. Keringat mengucur deras. Aliran darahku terhenti sejenak. Dan jantungku berdegub tidak teratur. Naik turun. Nafasku sesak.

Aku masih gamang dan ragu membaca sms dari Mbakku itu. Maka dengan hati yang terpukul, entah marah atau sedih, aku memberanikan diri balas bertanya; “Mbak, tidak main-main kan! Tidak bercanda kan! Dan Mbak tidak gila seperti mereka kan! Jawab, Mbak!!!” Begitu bunyi sms yang kukirim. Tidak lama, Mbakku yang berada di pulau Madura membalasnya.

“Tidak, Adikku. Kamu sabar ya…” Ah, benar juga tebakanku. Telah kukira sebelumnya, Mbak bakal menjawab pertanyaanku seperti itu. Kenapa pula ini. Langit berputar sangat kencang di atas kepalaku. Pusing…

###

Kadang aku marah, kesal mungkin juga terpukul membaca sms yang berderet di hpku itu. Tapi sekali lagi, setidaknya untuk saat ini, aku masih ragu untuk mempercayai kenyataan itu. Aku mencoba menepis. Namun pikiranku berguncang keras.

Antara percaya dan tidak!

Kulempar sajadah. Kemudian aku berlari sekencang-kencangnya menuju Wartel, tempat biasa aku menghubungi keluarga di Indonesia. Selama dalam perjalanan pikiranku terus berkecamuk.
“Aku harus mendengarnya langsung,” gerutuku tanpa henti.

Jam dua kurang seperempat menit aku sampai. Di sana sudah tersedia dua alat elektronik yang bersambung langsung ke internet. Kupilih paling pojok. Dan setelah selesai diaktifkan, langsung kupencet nomer yang hendak kuhubungi. Tidak begitu lama, suara di seberang menjawab salamku.

“Sehat kamu, Dik?” Mbak bertanya dengan suara parau yang tidak jelas terdengar.

“Hamdulillah, sehat.” Jawabku datar. “Mbak sendiri gimana, sehat kan!” Lanjut aku bertanya.

Mbak menimpalinya, “iya, sehat.” Suaranya tertahan. “Bapak dan Ibu juga,” Serunya lagi sambil sesenggukan.

“Sepertinya, Mbak baru selesai menangis,” pikirku.

“Mbak menangis ya?” Tanyaku kemudian. Namun tidak ada jawaban. Mbak diam. Keningku berkerut. Dan kedua alisku mengernyit. Aku bertambah bingung, “benarkah?” Kembali pertanyaan itu terkuak.

###

Tiga menit berlalu…

Disela-sela waktu yang terus berputar kudengar isak tangis dari seberang. Hah, Mbak!!! Sebelum sempat aku berkata, tiba-tiba Mbak terisak memanggil Bapak dan Ibu. Aku mengangkat bahu, dan termangu mendengarkan suaranya. Pikiranku semakin berkecamuk.

“Ada apa sih, Mbak!” Rupanya ketidaksabaran itu sudah membakar kepalaku. “Apa yang terjadi, Mbak?” Tanyaku keras. Dan orang di sampingku -yang kebetulan juga lagi menelpon- terperanjat mendengar suaraku. Aku tidak memperdulikannya.

Satu, dua sampai tiga menit tetap tak ada jawaban. Mbak malah memberikan hp itu kepada Bapak. Aku tertunduk lesu. Kudengar, Bapak memulai percakapannya. Pertama-tama menanyakan kabarku, kemudian berlanjut pada pesan yang tidak pernah kusangka sebelumnya. Bapak menyuruhku untuk bersabar.

“Nak, sabar yah!” Begitulah Bapak berpesan. Dan aku semakin tidak mengerti. Sebelum sempat aku bertanya, lebih dulu Bapak menyudahi kata-katanya. “Nih, Ibumu mau bicara,” kemudian hp itu beralih ke tangan Ibu. Kini giliran Ibu bercerita. Aku pun mendengarkannya dengan baik.

Sampai di menit ke kesepuluh, percakapanku dengan Ibu berakhir sendu.

Tangisku pecah dan air mata tumpah. Ibu juga. Aku tidak kuat membendung sungai yang mengalir deras di kelopak mataku. Dan, ibu juga. Kristal bening itu luruh.

Innalillah…” Hatiku menjerit pilu.

Lagu yang dibawakan oleh sekelompok musisi Jerman mengalun lembut disela-sela isak tangisku. Seperti sedang menata kembali kepingan hatiku yang telah robek. Membelai dan mengajakku untuk tabah dan sabar.

We shared a life, a world of lies You are gone, no reason to cry.

Cuilan lyric lagu tersebut mampu membuatku berdiri. Setidaknya, air mata mampu kutahan. Dan luka hati sedikit demi sedikit terobati. Entah, kekuatan apa yang bersembunyi di balik lagu itu. Hingga membuatku tegar menghadapi semuanya. Aku tidak tahu! Kini yang kurasa hanyalah ketenangan dan kedamaian.

“Aku tidak boleh cengeng,” pekik hatiku.

“Cong, nanti kalau kamu sudah gede jangan cengeng. Kamu harus tegas dan berani. Umur hanya sekali. Tapi kehidupan akan tetap abadi. Selamanya…” Pesan Agung kembali mengiang di gendang telingaku. Jelas sekali. Semakin terpuruk pula aku mengingat pesan itu.

Ah, ternyata aku masih belum bisa menjadi makhluk sempurna, Gung!” Ratapku.

Wajah itu bergelayut dalam benakku.


Cairo, 20 Oktober 2007
Seuntai cerita untuk almarhumah, Agung Adhawiyah.


Keterangan:

Bleeding Heart : Salah satu judul lagu music rock “Freedom Call”
Mak : Panggilan untuk Kakak
Agung : Panggilan untuk Nenek
Cong : Panggilan untuk anak-anak
Hammam : Toilet atau WC

3 comments:

Pangapora said...

Sayangnya, ini bukan cerpen. Ini berita duka yang cukup renyah dibaca. Salam hormat duka dan doa, Filantropy. Terus berkarya! :)

fuddyduddy said...

Freedom Call!!??
Bohemian banget gitu loh...

-Filantropy- said...

Jelas...
Terus sebutin juga dunks, Filantropy banget gitu loch!!! :D :)) Gak nyambung yah. Ah, disambung2in aja deh! Kekekek... [kan aku pingin belajar banyak darimu, Kawan!] ;)