Thursday, November 22, 2007

Kenapa Aku yang Kau Pilih

Kenapa aku yang kau pilih?

Tanyamu pada suatu sore

Kemudian kujawab pada larut malam;

Sebab engkau manusia yang dapat kusentuh

dapat pula kupeluk

Maka di situ

kutemukan sebuah imaji

yang hidup dalam naluri

Coba engkau rembulan yang tak bisa kusentuh

tak bisa pula kupeluk

Maka di sana

takkan kutemukan sebuah imaji

yang hidup dalam naluri


Rabea El-Adawea, 23 Juni 2007
"Malam mengusik mimpiku; Tentangmu."

Manusia

PADA SUATU SORE. Ketika seluet senja mulai menyentuh garis katulistiwa. Aku duduk di bangku merah. Bangku yang menjadi tempatku menunggu kereta. Dan di tempat ini aku dapat menyaksikan berbagai bermacam bentuk kegiatan yang dilakukan oleh anak manusia. Mulai dari yang membaca koran, mengotak-atik telpon genggam, ada yang sambil main gitar, dan ada pula yang hanya duduk terdiam, termangu, tertidur dan yang lainnya itu..., terlalu buang-buang waktu aku menyebutkannya. Karena mungkin, aku bagian dari mereka. Entahlah...

“Barangkali di sinilah tempat yang cocok untuk melihat seberapa besar tembok kesabaranku,” gumamku. Suara itu menggumpal di mulutku. Tidak pecah.

Tiba-tiba ada perempuan tua melintas di depanku menggendong seorang anak kecil. Melihat itu aku jadi teringat sahabatku semasa kecil. Kancil namanya. Ia lahir dari keluarga kaya raya. Hidup serba mewah. Tapi sayang... Ia harus rela menelan pahit kehidupannya tanpa sebuah kasih sayang dari orangtuanya. Kukira ia tersiksa. Dan begitulah...

Kubaca kehidupanku. Membuatku semakin sadar. Bahwa uangpun hanya cukup sekedar mengisi kekosongan perut. Kalau ada, jika tidak, maka air yang aku teguk sebagai pengganti. Perih memang, tapi ini tidak akan sebera perihnya dibanding kesusahan kedua orangtuaku.

Bapak dan ibu bekerja banting tulang siang dan malam. Peras keringat kesana-kemari. Siang, bapak bekerja sebagai kuli bangunan, malamnya menjadi tukang becak. Sedangkan ibu, siang menjual ikan, malamnya membuka warung kopi. Begitulah bapak dan ibu bekerja siang dan malam agar sekolahku tetap berjalan lancar. Mereka rela walau dirinya terlonta-lonta.

Pernah suatu hari...
Hanya karena ingin melihatku mendapatkan selembar Ijazah SMA, ibu sampai menjual cincin yang diberikan bapak sewaktu akad nikah dulu. Alasannya, agar aku tetap bisa mengikuti ujian UNAS. Hatiku berdetak kagum, “kasih sayangmu sungguh luar biasa, Ibu.” Kala itu segurat senyum kegembiraan nampak menghias lekuk bibir ibu. Tidak pernah kutemukan garis-garis kekecewaan tersirat di kening ibu. Demi aku, ibu rela tersiksa dan menderita.

“Terimakasih, Bapak... Terimakasih telah mengajarkan sikap tegar kepadaku. Dan terima kasih, Ibu... Terimakasih telah mengajarkan sikap sabar kepadaku.” Bunyi surat yang kutulis sewaktu lulus SMA dulu.

Dan pada suatu pagi. Ketika perut sampai tiga hari tidak makan. Aku pernah meratap dan bersedih. Yah, aku masih ingat kejadiannya. Waktu itu, kiriman yang biasanya tepat waktu, kini terlambat. Entahlah, mungkin orangtuaku lagi kesusahan di sana, atau barangkali masih berusaha peras keringat mengumpulkan uang untukku di sini. Pikirku sedih.

-Terkadang rasa hanya tahu manisnya, tanpa mau tahu pahitnya-

Kalimat di atas, secara tidak sengaja menyindir kehidupanku yang tidak mau berusaha dan bekerja. Bisanya hanya menunggu hasil jerih payah kedua orangtua. Jika terlambat, meratap dan bahkan bersedih sepanjang hari. Aku sadar... Sebagai manusia yang lemah dan egois, maunya enak sendiri. Enggan mencari dan menutupi dengan usaha sendiri.

“Ah, apalah aku ini...” Ada perasaan yang berkecamuk di sana.

Tapi aku mencoba untuk menahannya. Aku berusaha untuk tidak menyesali kehidupan ini. Aku tidak akan pernah menyerah, apalagi sampai putus asa. Tidak akan pernah... Tekadku. Aku takut memupuk dosa terhadap kedua orang tuaku, apalagi kepada Tuhanku di atas sana. Tidak!!!

“Aku harus bisa mencontoh ketegaran bapak dan kesabaran ibu,” batinku tiba-tiba.

Saya bukan binatang. Saya manusia,” seketika dua kalimat itu kembali terurai dalam ingatanku. Entahlah, aku mendengar suara itu dari mana. Aku lupa. Tapi aku pernah mendengarnya dari seseorang yang berkata demikian, entah itu di mana.

Dan, “Saya dilahirkan dari rahim manusia. Bukan dari perut binatang,” semakin kuat pula kalimat itu menyentak dalam memoriku. Ah, semakin berkerumunan pula pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari benakku. Telingaku. Mataku. Hidungku. Mulutku. Dan semua organ tubuhku.

“Benarkah aku manusia?” Ah, kenapa aku malah jadi memikirkan hal itu.

Hening.

Sinar matahari kian merambat pelan. Senja temaram di pelupuk mata. Di bangku merah tinggal aku sendiri. Lambat-laun semakin tak tersisa orang-orang yang tadinya berada di pinggir jalan. Mereka mulai beranjak pulang dengan raut muka tertunduk lesu. Sementara pemuda yang tadinya duduk di sampingku berlalu gontai. Jalannya sempoyongan.

Jalanan semakin sepi. Kereta yang sejak tadi kutunggu belum juga datang. Kini sepertinya aku mulai kesal, keki dan marah.

“Buang jauh-jauh sifat keegoisanmu, Nak! Dan belajarlah menghargai waktu,” pesan Bapak tiba-tiba menggantung di lengkung alis mataku. Mungkin karena pesan itu hatiku mulai mencair. Seperti ada tetesan embun yang dingin. Kobaran amarah itu mulai padam rupanya.

###

Adalah orangtua yang menginginkan anaknya lebih baik dan tidak menderita seperti yang pernah dialaminya. Barangkali, memang benar tidak ada orangtua yang menginginkan anaknya semakin buruk dari pengalamannya. Orangtua mana yang tega membiarkan masa depan anaknya terbengkalai, tentunya tidak ada. Justru, orangtua akan selalu berharap agar lebih baik. Dan mendoakan supaya apa yang dicita-citakan anaknya diraih dengan sempurna. Sepertinya memang tidak ada. Pikirku masih mengambang. Tidak yakin.

“Cita-cita seorang anak akan mudah terwujud jika mendapat restu dan doa dari kedua orangtuanya,” pesan Bapak melintas di benakku kini.

Semula aku ogah-ogahan menyakini kebenarannya. Namun, setelah sekian lama aku berpisah dari mereka baru sekaranglah aku menyadari bahwa ungkapan itu benar. Nyatanya, setiap pesan orangtua merupakan doa serta landasan untuk berpijak bagi si anak. Baik itu kesuksesan dan keselamatan dunia maupun akhirat. Orangtua merupakan suri tauladan kedua setelah Baginda Nabi. Atau bahkan yang pertama.

Tengok, seekor harimau saja masih melindungi anaknya dari marabahaya. Lalu, tidak malukah seorang manusia terhadap hewan yang tidak berakal itu. Bukankah, kewajiban manusia adalah menjadi manusia. Aku membantin.

Sejenak lidah kelu. Hening tercipta lagi.

Beberapa menit kemudian...
Aku kembali teringat keluarga Kancil. Rupanya kisah itu semakin tajam meliuk-liuk di tempurung otakku kini, pikirku dalam hati.

Kancil jauh dari sentuhan kasih sayang kedua orang tuanya. Bapaknya sibuk mengurusi bisnis. Ibunya juga demikian. Dan dari kesibukan itulah membuat kedua-duanya tak ada waktu kosong untuk menyusui, menimang dan mengurus Kancil. Sahabatku itu terlantar. Bukan karena kelaparan, bukan pula karena kekurangan, tetapi ia terlantar karena ulah kedua orangtuanya yang tidak bertanggung jawab.

Semenjak lahir, orangtuanya memasrahkan Kancil kepada Bi’ Ija. Pembantu yang memang disewa mengurus, merawat, menemani dan bahkan menyusuinya. Waktu itu Kancil tidak akan tahu apa-apa ketika Bi’ Ija hendak menyerahkan dirinya kepada majikannya untuk diberi air asi. Sungguh, kukira Kancil tidak akan tahu, apalagi sampai ingat kejadian itu. Tapi aku yakin, Kancil pun pasti merasakan kepedihan itu. Kepadihan yang mengharuskan bibirnya menetek pada puting perempuan yang bukan ibunya sendiri.

“Ja... Kamu urus anak ini ya. Sekalian susuin dia. Sekarang aku sibuk dengan urusan kantor,” pesan ibu Kancil. Bi’ Ija terperanjat mendengar perkataan majikannya itu. Seluruh tubuhnya bergetar. Kelopak matanya sembab. Merah. Tangannya yang mulai keriput mengelus-elus dadanya. Gemetar. Dalam hatinya, Bi’ Ija hanya bisa bergumam melihat tubuh Kancil yang masih balita, “kasihan sekali kau, Nak!

“Kasihan pula kau, Cil,” rintihku kini. Seperti sore itu, kini perasaanku menyatu dengan perasaan Bi’ Ija. Tak ada jeda, aku berteriak, “Cil... Kau memang lahir dari orang berpunya. Sementara aku lahir dari orang biasa. Amat sederhana. Tapi lihatlah, kasih sayang kedua orangtuaku tak terhitung harganya. Tidak seperti halnya dirimu itu. Sepertinya memang benar dugaanku, kau dilahirkan memang bukan karena kehendak naluri orang tuamu, Cil! Buktinya, dari lahir sampai sekarang pun kau tidak pernah mendapat kasih sayangnya. Bapak dan ibumu malah memasrahkannya pada Bi’ Ija. Menelantarkan dirimu dan membiarkan nasibmu di tangan orang lain. Lalu, inikah bentuk kasih sayang kedua orangtuamu kepadamu, Cil?” Suaraku tercekat. Dan pertanyaan itu... Membentur kepalaku. Keras.

###

Kemudian pada senja yang sebentar lagi akan berpamitan aku berteriak di tempat itu dengan sekencang-kencangnya. Aku tidak memperdulikan apa yang akan terjadi, sebab pikiranku sesak dengan kisah sahabatku itu.

“Tidak Cil... Aku tidak terima. Seandainya aku boleh memilih, maka lebih baik aku milih Adam dan Hawa lahir tanpa orang tua,” lanjutku meratapi nasib sahabatku yang jauh di sana.

-Terkadang pula rasa hanya memikirkan kenikmatannya, daripada hasil jerih payah usahanya-

“Sungguh kasihan kau, Cil,” pekikku menelan nasib. “Kau merana. Aku bahagia,” lanjutku sedih.

Sejatinya kita memang berbeda, Cil! Berbeda dari semua apa yang kita miliki. Tapi dari perbedaan itu kita pun tahu, bahwa kita lahir dari rahim yang sama. Tulang rusuk yang sama. Manusia. Dan kukira kita sama-sama mempunyai baju kehidupan masing-masing. Kau hidup serba ada. Itulah ruang hidupmu. Mungkin juga kenikmatan duniamu. Aku hidup seadanya. Manusia yang pernah kelaparan, pernah kesusahan, dan pernah juga kekurangan. Inilah liturgi hidupku. Dan mungkin juga keindahan duniaku.

Sebab hidup tak selamanya harus berjalan imbang,” pesan itu tiba-tiba menyapaku, entah darimana...


Rabea El-Adawea, 24 April 2007
Ketika seekor burung mengajakku bernyanyi.