Wednesday, October 24, 2007

Sebatas Mimpi

“Pak Onk..,” tiba-tiba suara panggilan menggertakku. Nyaring. Dan aku terkejut.

“Mau kemana? Di luar udaranya dingin lho!” Lanjutnya penuh perhatian.

Aku mengangkat bahu. “Eh, kamu Ghi’. Tak kirain Jin Ifrid.” Jawabku datar. “Lum tidur tah!” Dan kulanjutkan, “katanya kalau punya selimut tebal akan jadi raja tidur. Buktinya, hayyo… Rupanya mulai berani berbohong nih!” Sambungku. Dan yang ditunjuk hanya senyam-senyum.

“Hmmm... Tadinya juga gitu sih! Tapi kalau dipikir-pikir gak enak terus-menerus di atas kasur. Pegal juga tahu!!!” Imbuhnya.

“O, Gitu toh! Ya udah, aku pergi dulu.” Tanpa menunggu jawaban, aku langsung meloncat ke daun pintu. Kemudian aku pamitan, ”daaah... Jid Ifrid!!!” Sepintas kulirik raut mukanya, ada guratan merah di sana. Jangan-jangan dia marah. Pikirku kecut. Tapi… Sungging senyum itu seketika nampak merona di lekuk bibirnya. Ah, dia hanya bercanda. Batinku bahagia.

Sahabatku itu memang terkenal sangat unik, mungkin juga terbilang lucu. Disatu sisi kerjaannya selalu mengganguku. Seringkali aku dibuatnya keki. Tapi dilain sisi dia juga sering membantuku. Masakin buat aku, merapikan kamarku, bahkan tak jarang mencuci baju-baju kotorku. Sebenarnya aku sayang padanya. Tapi kalau boleh jujur, walau itu pahit, aku terkadang merasa kesal atas ulahnya. Kesal bukan berarti benci, hanya sebatas emosi sesaat.

Itulah manusia kukira.

@@@


Tiba di luar rumah kupakai jaket. Kuambil sebatang rokok Mesir, Cleopatra namanya. Kubakar dan kuhisap dalam-dalam. Buus... Asap rokok itu menggumpal dan lenyap ditelan pekat.

Tak salah Ghi’ bilang; udara di luar sangat dingin. Lihatlah, jaket yang kupakai masih tidak mempan. Dinginnya masih merasuk ke sekujur tubuhku. Memperkosa kehangatan jaketku. Menjilat gumpalan asap rokokku. Kakiku melangkah gemetar. Entah, berapa derajat celcius keadaan kota Kairo saat ini.

Kupaksakan kaki kuayun terus ke depan, sambil kupandangi bintang-gemintang yang sinarnya redup-terang, sesekali tertutup gumpalan awan. Dan entah kenapa, tiba-tiba seperti ada bunyi mengiang di gendang telingaku. Aku tidak bisa menguraikan bunyi itu, yang jelas keras sekali. Bunyi itu membuyarkan gumamku. Aku terkejut.

Mobil warna merah muda tiba-tiba berada di depan mataku. Aku diam mematung, tidak tahu menahu. Seluruh badanku gemetar. Waktu itu aku takut, karena aku mengira mobil di depanku adalah malaikat maut yang hendak merenggut nyawaku. Atau bisa jadi, aku malah tertegun lantaran seorang gadis tersenyum manis dalam mobil itu. Entahlah...

Aku tidak tahu! Hanya terdiam seperti batu.

Dan tiba-tiba, “hi... Guy!” Gadis itu seperti sedang memanggilku. Aku tertegun. Dan kemudian aku diam lagi. Tidak kujawab panggilannya. Aku masih bisu. Seperti batu.

“Kenapa gadis ini memanggilku. Marahkah ia padaku,” pikirku dalam hati. Embun menetes jatuh berderai. Kekawatiran datang menjamah pikiranku, menghantui perasaanku. “Barangkali karena aku berjalan di tengah, sehingga menghalanginya,” pikiranku tak tenang. Aku pun segera ke pinggir, dan meneruskan perjalananku tanpa menoleh ke belakang.

Tapi, gadis itu malah membuntutiku dari arah belakang. Aku semakin heran, “kenapa ia masih mengikutiku. Marahkah ia padaku,” pikirku sekali lagi. Ah, tidak mungkin. Mungkin kebetulan saja ia hendak melewati jalan ini. Tapi... Mobil itu semakin mendekat, dan tiba-tiba berhenti di depanku. Pas di dekat kakiku. Kedua mataku terbelalak, ada perasaan aneh menyergap. Aku hanya bisa diam, berdiri mematung, dan kepalaku tertunduk menatap isi bumi yang seakan menertawai kegugupanku. Mulut tertutup rapat. Muka tertunduk kaku. Aku tidak berani menyapa dirinya, apalagi sampai menegurnya.

Entahlah, hanya bisu menelan ragu.

@@@

Hi Guy...” Gadis itu kembali mengeluarkan suaranya. Seperti memanggil diriku untuk yang kedua kalinya. Kurasa panggilan itu memang sengaja ditujukan untukku. Pikirku akhirnya. Tapi panggilan itu asing bagiku. Sebelum-sebelumnya tidak seorang pun memanggilku dengan sebutan itu. Baru kali ini. Dan aku masih ragu.

Pelan-pelan kuangkat juga wajahku. Terasa berat dan kaku. Kemudian kulirik rupa gadis itu. Elok. Ayu. Dan tentu saja sangat cantik. Luar biasa! Degub jantungku berdetak kagum. Dan keringat itu..., mengucur deras di sekujur tubuhku. Aneh, musim dingin berkeringat.

Barangkali sesuatu yang aneh akan terjadi. Batinku.

Semerbak harum nan wangi menebar di sekelilingku. Aku menikmatinya dengan mata terpejam. “Nikmat sekali!” Dan sambil aku bergumam, “harum darimana ini?” Tidak sanggup aku menguraikan rasa itu, tiba-tiba sebuah kecupan mendarat di bibirku. Aku terkejut. Tersentak. Kubuka jendela mata. Hah!

Gadis yang tadi menunggangi mobil telah berdiri di depanku. Menunggangiku kini. Hembusan nafasnya tersengal-sengal. Kristal bening jatuh membasahi keningnya yang putih. Antara percaya dan tidak. Gadis itu pertama kali menyentuh, mencium, mengecup, bahkan melumat habis kedua bibirku dengan mesra. Dan sekali ia bertingkah nakal dan liar, kubiarkan begitu saja. Sebab kupikir ini jarang terjadi. Maka kunikmati sepuas hati.

Suara malam mendesah pelan. Dingin mengendap. Hangat merayap.

@@@

Ohhh, Akhirnya..., tuntas sudah dingin di tubuhku. Si Gadis bertubuh gemulai itu membalut hangat ujung tombakku,” desahku meniru bahasa malam.

Dan seketika, terdengar teriakan melengking di gendang telingaku. "Pak Onkkk... Bangunnnn... Hari sudah pagiii... Berhenti ngigaunyaaa..." Teriakan sahabatku melilit panjang. Aku terkejut.

Astaghfirullah, Ghi’! Kamu bangunin aku, apa sedang sekarat sih!” Jawabku agak terperanjat. “Lagian siapa yang ngigau,” lanjutku mencibir.

"Yee...” Eh, dia malah balas mencibirku. “Kalau Pak Onk tidur mana bisa nyadar. Apalagi tidurnya mimpi gadis cantik. Gimana sih, enak gak teriakanku?" Jahilnya, kemudian berlalu dari kamarku.

"Dasar kamu ya..." Makiku sembari melempar bantal guling. Tapi sayang, Ghi’ keburu menutup daun pintu.

Kini tinggal aku sendirian dalam kamar.
Masih segar dalam ingatan, Ghi’ tadi bilang aku bermimpi. Sejenak aku merasa ragu, ada perasaan heran yang mengusik pikiranku, “benarkah semalam aku bermimpi?” Tanyaku dalam bimbang. Ah, tidak mungkin! Kubuang jauh-jauh perasaan was-was itu. Sebab kutakingin kejadian itu hanyalah bunga malam.

“Tidakkk...!!! Aku benar-benar merasakan kenikmatannya. Itu adalah hadiah nyata dari Tuhan, bukan kado dari syetan.” Teriakku memastikan sebuah jawaban. Sayang, teriakanku didengar oleh Ghi’. Ternyata sejak tadi dia hanya mengumpat di depan pintu. Lalu dia masuk. Dan berkata;

“Kok teriak-teriak sendirian, Pak Onk! Meniru gayaku, atau sedang memastikan sebuah adegan mesra dengannn..., siapa tuh?” Mulai dia berbasi-basi. Pasti dia akan mempermainkan aku lagi.

“Eh, ngapain lagi kamu ke sini, Anjinggg…!!!” Sergahku sekedar menghapus kecurigaan.

Loh, Pak Onk kok marah piye toh! Apa karena mimpinya udahan. Mau ditambah lagi? Hihihihi...” Dia ngeledekin aku. Membuatku semakin keki. Dasar nih anak! Umpatku kesal.

Aku garuk-garuk kepala yang tak gatal. Kemudian aku mengangkat bahu. Kenapa pula si Ghi’ masih membahas tentang mimpi. Aku mereka-reka. Jangan-jangan, memang benar kejadian yang kualami tadi malam. Tapi kok dia bisa tahu! Masih gamang. Pikiranku mulai berkecamuk.

“Pak Onk gak usah pusing-pusing memikirkan kejadian itu lagi. Entar malah jadi gila lho! Kekekek...” Sindirnya. Sekali lagi, suara itu persis seperti nenek lampir menyergahku.

“Maksud kamu?” Aku menimpalinya kebingungan. “Ghi’, kamu ngerjain aku ya?” Sambungku lemas. Tak berdaya sudah. Keningku berkerut. Kernyit alisku membentuk geometri.

“Hehehe... Pak Onk bingung niyyeeeee... Kaciaaan. Aku tidak ngerjain, Pak Onk. Mimpi kali yang ngerjain, Pak Onk! Hehehe...” Jawabnya sambil cengengesan. Kemudian dia melanjutkan kata-katanya, “eh, sekalian aku minta maaf, dinks. Mungkin karena teriakanku mimpi Pak Onk jadi berkesudahan. Sorry ya...” Setelah berkata demekian dia beranjak dari kamarku. Dan lihatlah, sebelum daun pintu ditutup lidahnya masih saja sempat mencibir ke arahku. Dasar wong edan...

Sekarang aku tidak memperdulikannya lagi. Apakah sudah pergi, atau masih mengumpat dan sembunyi di balik pintu. Sesuatu yang aku bingungkan sudah terjawab kini; sebuah adegan yang membuatku berlabuh di lautan asmara, nyatanya hanyalah sebatas mimpi belaka.

“Jancokkkkk...” Umpatku melepas kekesalan.

Mentari menertawaiku bersama kawanan burung camar.


Rabea El-Adawea, 13 Juni 2007
"Mimpi. Barangkali segala yang terealisasi berasal dari mimpi."

5 comments:

Anonymous said...

kemajuan..cukup binal ceritanya!hehehe..lihai juga penyair ponky merangkai bhasa2 selangkangan. jika menjadikan karya hudan hidayat yg berjudul"orang-orang berdosa" sebagai isepisari, eh inspirasi;>maka seharusnya akhir cerita berakhir seperti kata yg penyair ponky tulis,"mimpi. barangkali segala yg terealisasi berasal dari mimpi"
coba deh tanya Ghi lagi, apa yg terjadi saat itu?? hehehehe...

-Filantropy- said...

Terima kasih, mas Apit. Ternyata pagi ini aku baru tahu, bahwa kau adalah maha karya yang menyembunyikan dirinya.
Kemana saja kau berlabuh, hingga warna layarmu kusam kini. Bolehkah aku cuci, biar kembali putih.

--
Salam songkem dari pengabdimu...

fuddyduddy said...

Sudah basi! mana yang baru, kamu ini kebiasaannya yang lalu-lalu diedit-edit sampai seribu kali...

Ingat, gak lama lagi kita mati pak Onk!!

Anonymous said...

hahahahha...da yg marah tuh. aku seh g tahu apa2. krn sebagai fans, segala ucapmu adalah karya yg ku tunggu2. hahahaa...salam kenal mas fuddyduddy

-Filantropy- said...

Hmm... :( Jadi sedih daku, Apit K. Dimarahin seorang Bohemian, padahal darinya aku juga banyak menimba.

Tahulah, aku juga baru sadar bahwa cerpen ini udah aku posting dulu di sini dengan judul; Sisa Mimpi Malam. Eh, tidak tahunya malah aku posting lagi, dan tentu saja banyak yang berubah (lebih binal). Dan setidaknya untuk kali ini aku khilaf, Ghi'. Benar!!! :((

Sebenarnya, Mbak Novi (aktifis eSKa pusat Jakarta) tadi juga menegurku, katanya tulisan ini kurang layak; karya juga dakwah. Jadi menulis itu harus memberi pencerahan bagi pembacanya, bukan sebaliknya! Gitu katanya... :(

Malah jadi PUSEEEEINX, gue!