Friday, September 21, 2007

Menanti Maafmu

Malam ini rembulan berwajah pasi. Kulitnya yang putih tak seputih bunga melati. Bola matanya yang bundar tak sebundar roda dokar. Tubuhnya kini berbentuk sabit, persis seperti celurit. Pesonanya semakin pudar digeluti gumpalan awan. Dijilat lidah kelam.

Di pojok kamar yang gelap, sosok manusia berbadan kurus itu sedang termangu memandangi satu titik cahaya -entah apa itu namanya; bintang, planet, atau makhluk langit lainnya- berkilau dari atas langit. Cahayanya teduh menghias malam. Mengitari cakrawala yang berselimut awan.

Semakin lama semakin larut pula manusia itu mengurai dan menikmati keteduhan suasana langit. Sepertinya, memang benar di sana tidak ada yang namanya kebencian. Yang ada hanyalah kasih sayang. “Oh, malam...,” desahnya. Manusia itu sedikit tenang rupanya. Larut dalam suasana.

Namun tak lama kemudian, telpon di ruang tamu berbunyi tiba-tiba. Nyaring. Manusia itu tersentak. Giginya menggerutu. Tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dan, kenikmatan yang baru saja dia rasakan lenyap seketika.

“Ah..., siapa sih malam-malam begini nelpon. Dasar...” Umpatnya kesal. Sepertinya dia marah pada bunyi telpon itu. Tapi apa boleh buat, jika dibiarin malah akan mengganggu konsentrasinya mengurai bahasa malam. Akhirnya, dengan sangat berat kaki itu melangkah juga menuju ruang tamu. Sesampainya di sana, manusia itu langsung mengangkat gagang telpon. Dan, terdengarlah suara dalam telpon itu berucap salam.

“Assalamu ‘alaikum...”

“Salam.” Jawabnya ketus.

“Aditnya ada, Mas...?” Tanya suara itu.

“Ada,” setelah berkata demikian, spontan manusia itu tersentak. Matanya terbelalak. Mulutnya menganga. Keningnya berkerut. Kakinya berdiri kaku. Seluruh kekesalannya tiba-tiba runtuh. Hancur berkeping-keping. Ternyata dia baru sadar ketika suara itu terngiang jelas di gendang telinganya.

"Lita...," tebakannya dalam hati. Mulutnya langsung terkunci. Bibirnya terkatup rapat. Nafasnya tercekat. Kini manusia itu tertunduk lemas menyesali sikapnya. Tanpa kata-kata. Tanpa suara. Yang terdengar hanya detak jantungnya yang kian melemah.

“Mana?” Suara di telpon terdengar untuk yang sekian kalinya. Masih semerdu dan selembut dulu.

Tapi, kenapa sekarang ia malah mencari gua. Masih kurang puaskah memarahi dan membenci gua hanya karena masalah sepele. Keluh manusia itu. Dan akhirnya, dia memberanikan diri menjawab pertanyaan Lita, namun lirih, “ya ini gua, Lit” Suaranya gugup.

Hah, kenapa mulai tadi loe...,” Lita heran. Dan suaranya terputus. Tak lama kemudian, suara yang putus itu kini tersambung lagi, “gak suka? Ya udah, gak jadi deh!”

Terpaksa manusia yang bernama Adit itu menjelaskannya dengan panjang lebar. Sehingga perdebatan pun berjalan seiring desau angin malam. Begitu lama. Sampai akhirnya, perdebatan di antara kedua anak manusia itu berakhir bisu. Hening. Sepi. Seperti malam terbalut sunyi.

Ada apa gerangan?

#*#

Malam-malam berlalu begitu menakutkan. Mencekam. Seperti wajah Adit kini. Tidak cerah, laiknya wajah rembulan. Pasi. Hatinya pilu, mungkin juga bersedih. Cewek yang selama ini dikaguminya ternyata masih enggan memaafkan kesalahannya tempo hari.

Waktu itu, tepatnya malam Minggu, salah satu temannya Lita yang dari Amrik datang berlibur ke Indonesia dan sekaligus mengadakan acara ultah di hotel Safari Internasional. Kebetulan Lita ditunjuk sebagai pembawa acara. Nah, sebelum acara itu dimulai, Lita mengajak Adit untuk menghadiri acara tersebut. Anehnya, tanpa perhitungan terlebih dulu Adit langsung mengiyakan. Bahkan dia berjanji dan bersumpah tidak akan melewatkan acara itu barang sedetikpun.

Tapi sayang seribu sayang, ketika janji sudah terikat dan sumpah terucap. Kenyataan sukar ditebak. Manusia... Tidak salah memiliki jargon; ‘Al-Insanu Mahallul Khotto’ Wannissan.’ Ternyata benar, bahwa kebenaran selalu berpangku pada Tuhan. Dan kesalahan selalu berpangku pada manusia. Duh!

Adit tidak menghadiri acara ultah itu. Entah, apakah dia sengaja melupakan janjinya, atau tidak!

Ah, terkadang janji memang hanya sebatas kata-kata.

#*#

Lita adalah salah satu tipe cewek yang paling tidak suka dibohongi. Apalagi oleh seorang cowok. Ia mempunyai jiwa pemberani dan tegas, layaknya Ibu Kartini. Entah, apakah karena ia cewek blesteran, yang mengutamakan pentingnya waktu, hingga setiap tindakannya harus sesuai dengan waktu yang ditentukan. “Time is money.” Begitu katanya ketika ditanya perihal tentang waktu.

Di malam yang masih berkabut kelam, Lita menegur Adit. Mungkin ia marah. Mungkin juga ia sudah membenci Adit.

“Kenapa loe bohong, Dit?” Pertanyaan yang tegas, namun menyentak.

“Maafkan gua, Lit! Gua lupa.” Jawab Adit datar.

Semudah itukah? Lita geram, dan bahkan kesal melihat sifat Adit yang tiba-tiba berubah menjadi manusia pembohong. Rasa kebencian itu tumbuh dengan sendirinya. Lalu, makhluk mana yang tak akan marah mendengarkan alasan Adit yang tidak kuat itu.

Barangkali rembulan pun akan bertanya-tanya, “semudah itukah alasanmu, duhai Matahariku?

Kini, raut mukanya naik pitam. Amarahnya sudah mulai bergejolak. Sepertinya, ombak itu akan semakin ganas menghantam perahu layar. Dan lihatlah..., dengan intonasi yang cukup keras dan tegas, Lita berucap, “Dit, lidah itu tidak bertulang. Semua orang bisa berkata seperti itu. Berjanji. Bersumpah. Tapi kenyataannya banyak dari mereka yang ingkar, bahkan dusta.”

Wajah Adit minder juga mendengar kata-kata itu, yang secara tidak langsung menyindirnya. Tapi, namanya saja orang yang suka berbual, tetap saja tingkah lakunya tak berubah dan tak gampang menyerah begitu saja. Dia telah menganggap hati kaum Hawa gampang lunak apabila mendengar kata-kata romantis. Akhirnya dia pun merayu, berkata manis dan mendayu-dayu.

"Gua sungguh-sungguh menyesal, Lita!" Dan apa yang dia harapkan, tetap saja hasilnya nihil.

Ternyata... Adit salah alamat. Lita bukanlah tipe cewek yang suka digombalin. Memang, ia sering dibilang cewek ‘tomboy’, akan tetapi berjiwa Kartini. Bijak. Penuh tanggungjawab. Tidak mudah mengobral janji sekiranya tidak bisa ia tepati. Itulah Lita, bukan Adit.

Keesokan harinya...
Lita tetap pada pendiriannya, masih enggan menerima kata maafnya. Melihat kenyataan pahit itu Adit hanya bisa termenung. Menerimanya dengan pasrah. Dia teringat akan janjinya yang tak pernah ditepati. Adanya hanya alasan yang tak pasti. Ternyata, manusia yang suka berbual itu sadar juga akhirnya. Dia menyadari jika dirinya telah banyak membohongi orang, terlebih lagi pada orang yang dikaguminya, Lita.

Kebohongan-kebohongan yang sering dilakukan membuat pikirannya tidak bisa tenang. Hatinya sedih. Kesehari-harinya murung di dalam kamar. Bahkan keluar pun dia enggan beranjak. Sepertinya, dia terombang-ambing oleh kesalahan-kesalahan yang sering dilakukannya.

“Lita benar, gua yang salah,” bisiknya tiba-tiba. Kemudian dia melabuhkan dirinya dalam sujud.

Ya, Tuhan! Kenapa hamba bisa seperti ini. Menjadi makhluk paling lemah di dunia. Bukankah, hamba lelaki yang punya martabat lebih tinggi daripada wanita. Yang punya kekuatan untuk memimpin. Tapi kenapa, malah hamba yang menjadi budak.

Rupanya, anak sungai itu mulai mengalir deras di atas sajadah.

#*#

Pada malam kedua, tepatnya malam Rabu, Lita mencoba meraih gagang telpon hendak menghubungi Adit. "Barangkali sekarang dia sudah sadar, atau setidaknya tidak akan pernah mengobral janji-janjinya lagi." Pikir Lita. Kemudian tanpa basa-basi, ia langsung berkata, “Dit, gua akan memaafkan kesalahan loe. Tapi...” Suaranya masih terputus.

Mendengar ungkapan tersebut, pikiran Adit sedikit lega. Tenang. Wajahnya seketika nampak berseri-seri. Ceria. Hatinya pun ikut berbunga-bunga. Lalu dia berucap lirih, “tapi apa, Lit?” Tanya Adit penasaran. Telinganya sudah tidak sabar menunggu jawaban.

“Gua akan memaafkan kesahalan loe. Asalkan..., besok loe harus datang ke tempat kita bertemu dulu. Ada sesuatu yang ingin gua omongin sama loe di sana. Ok?! Dan ingat, kalau loe ternyata tidak datang juga, maka jangan harap gua bisa memaafkan loe. Selamanya...” Papar Lita panjang lebar.

“Kok bisa gitu, Lit?” Timpal Adit heran. Keningnya berkerut.

“Ya, iyalah. Ini sebagai jawaban atas kebohongan loe tempo hari. Huh!” Balas Lita agak sewot mendengar kata-kata Adit yang masih hendak mengelak.

“Lit, apakah tidak ada cara lain untuk mendapatkan kata maaf dari loe. Begitu besarkah salah gua hanya karena kejadian sepele itu?” Rupanya Adit tidak ingin langsung menyerah. Dia masih berani mempertahankan sifat keegoisannya.

“Jelas... Karena ini kesalahan loe yang amat fatal. Loe selalu berjanji, tapi tidak pernah ditepati. Loe tahu kan, bahwa yang namanya janji itu harus ditepati. Jika ingkar, maka dosa hukumnya!” Kali ini Lita menceramahi Adit dengan meledak-ledak.

“Dit, janji itu adalah hutang dan harus dibayar.” Sambungnya kemudian. Dan lawan bicaranya terdiam. Mulutnya kelu.

Kini Adit tidak berani lagi menimpali ungkapan Lita. Diam membisu. Suara itu persis seperti malaikat Mungkar-Nakir yang sedang mewanti-wanti, memaki dan mengintrogasi para ahli kubur. Hingga... Adit pun menjadi beku, persis seperti gunung salju.

Sejurus kemudian, terdengar panggilan Lita yang mencairkan kebekuan dirinya. “Dit.. Kok diam sih!” Sedikit keras. Kelihatannya Lita sedang menghela nafas dalam-dalam. Lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Dan, ia berucap lagi, “kalau emang loe enggak mau datang bilang terus terang. Gua tahu kok! Waktu loe memang tidak akan pernah ada untuk gua. Gua merasa, Dit!” Entah kenapa, nada suaranya tiba-tiba mengiba seperti itu.

Mendengar ungkapan itu, Adit merasa berdosa karena tidak pernah menepati janjinya sendiri. Membuat sakit hati orang yang dikaguminya. Lalu dia berpikir sejenak, “bagaimana seandainya semua cowok seperti gua. Sering bikin kecewa dan sakit hati kaum Hawa. Akan menjadi apa dunia ini?

Kemudian dia mendapat kekuatan untuk berucap tegas, “Lit, gua akan datang ke tempat itu. Janji gua kali ini adalah pasti bukan basa-basi. Percaya deh!” Senyum Adit mengambang di lekuk bibirnya.

Lita yang mendengar ungkapan itu hanya bisa tersenyum. Dan, ia pun berucap, “kalau begitu makasih ya, Dit! Berarti sepenuhnya rembulan bakal menjadi milik loe.” Ucapnya dengan luapan hati yang teramat dalam. Adit pun tertegun mendengar bahasanya.

Namanya Adit, mendapat kesempatan tidak akan dibuang percuma. Langsung dia merangkai senjata ampuhnya. Seperti biasa, dengan mimik muka tebar pesona Adit memulai membaca mantranya, kemudian terdengar seperti berpuisi mulut itu melontarkan kata-katanya.

Aku hanya ingin menanti maafmu, duhai sang kekasih...” Merdu nan syahdu. Memikat hati pendengarnya.

Bidadari di sebrang sana terpana mendengarkan kata-kata Sang Arjuna. Hanya desah nafasnya yang diburu angin. Panah asmara itu telah menancap di relung hatinya. Marah tumbuh sayang. Sayang berbunga cinta. Cinta berbuah rindu. Indahnya...

Malam ini raut wajah ayu itu tersipu malu. Lihatlah, ia tidak berkata apa-apa lagi. Bahkan menyudahi obrolannya pun tanpa pamit.

Inikah arti keindahan semu?


Cairo, 21 Februari 2007
"ketika kuterlelap, bintang jatuh di pelupuk mataku."

2 comments:

Aan Zainul A said...

Yach... sementara aq hanya bs mengomentari judulnya, "menanti maafmu", ya.... kalau ndak di maafkan yo kebangetan lah... wong menanti tu kan lama, kalau ga' di maafin, gak punya hati tuh ...

fuddyduddy said...

1. Jangan diulangi lagi!!!
2. Masak panah-panah kata kerja yang cocok MENJERAT? gak ada yang lain ?