Saturday, September 01, 2007

Sepucuk Surat Buat Nona

"Nona..." Begitulah aku memanggilnya saat pertama kali aku berjumpa dengan dirinya di sebuah taman. Di kala itu, ia sedang menikmati gemercik air yang jernih dan tenang. Sambil sesekali menatap dengan penuh makna terhadap sang kura-kura kecil yang berenang di pinggir taman. Tersenyum saat ikan emas datang menari-menari di dekat jemari tangannya yang lentik.

Duhai, Nona...
Sungguh luar biasa Tuhan mencipta raut wajahmu itu. Adakah Dikau seorang bidadari yang diutus Tuhan untuk menemani kesendirianku di taman yang rindang ini. Gumamku dalam hati...

Waktu itu lidah semakin kaku untuk bicara. Muka tertunduk. Tidak seperti biasanya aku seperti ini. Tapi kali ini, saat segumpal senyum manisnya merekah ruah lagi-lagi hati yang jadi sasarannya. Sehingga hanya sebatas kata "Nona" yang dapat kuucapkan lantaran lidahku tak mampu lagi mengangkat suara untuk berbicara dengannya.

Mungkin aku terlalu bodoh karena tidak sampai mengenal sejauh yang hati mau. Hati meronta ingin dekat mesra dengannya. Tapi muka tak mampu bersua, lidah tak dapat berucap, dan bibir pun tertutup rapat. Sepertinya, hanya gumam senja yang dapat mengerti keadaanku saat itu.

Entahlah...

Sebuah pertemuan yang tak kusangka bakal menanam benih-benih cinta dalam dermaga jiwa. Di situlah, ternyata diriku telah terpaut benang asmara. Senyum manisnya selalu mengundang sejuta rindu dalam keranjang kalbu menoreh rindu sepanjang waktu.

Sejak pertama kali mata memandang benih-benih cinta tumbuh dengan sendirinya. Entah kenapa mata tidak bisa berkedip saat kilauan senja hadir temaram di raut wajah cantiknya. Putih dan halusnya kulit yang menempel di tubuhnya, bak kain sutera dari Negeri India.

"Oh, Nona...
Putihnya bunga ini
Tak seputih kulit dan wajahmu,
Adakah putihnya bunga ini
Adalah jalan menuju istana hatimu...?"

Sepenggal kata yang sempat bergejolak di lautan jiwa. Namun, tak mampu terungkap jua. Bisu menelan ragu. Mungkin inilah yang disebut; 'menulis kata menjadi makna sejarah buta'. Akhirnya..., hanya sebatang pena inilah yang mampu berkata di atas lembar-lembar kertas hampa.

Ya, hanya di atas lembar kertas inilah kuungkapkan semua yang bergejolak dalam relung jiwa. Saat pertama kali aku berjumpa dengan dirinya. Saat aku memanggil sebutan 'Nona' kepadanya. Dan saat bola mata tak mampu terpejam melihat keindahan wajahnya.

Duh, kenapa aku mesti bisu seperti ini. Bungkam mulutku untuk sekedar berbincang-bincang dengan dirinya, lantaran siapa?
Adakah malaikat yang telah mengkerangkeng lidahku, hingga tak mampu bertutur sapa dengan Nona yang sedang kupuja?

Ataukah karena dirimu, Nona... Yang kini membuat lidahku kelu. Rangkaian kata dengan deretan makna hilang begitu saja. Tubuhku gemetar, hati sesak bernafas, denyut jantung berhenti berdetak. Tak teratur. Naik turun.

Sungguh dahsyat kejadian dalam tubuhku kala menerobos barisan kesempurnaan auramu, Nona. Engkau hadir mengisi ruang hatiku dengan sekuntum bunga cinta, yang kini tumbuh dalam mangkok perjumpaan yang tiada pernah kusangka sebelumnya. Bunga itupun akhirnya mekar menjadi kembang surga. Harum menelusup jiwa. Wangi menusuk hati.

Tapi, adakah bunga yang mekar dalam hatiku adalah isyarat puisi hatimu?

Bisu menelan ragu.

@@@

Hasratku untuk berjumpa dengannya datang tiba-tiba. Mengalir sepanjang sendi urat nadi. Sebuah harap membuncah agar dapat bertukar sapa dan berbagi pengalaman dengan dirinya. Tapi demi waktu, aku malu bertemu dengan dirinya. Sesungging senyum terhias dalam lekuk bibirku. Sebentar. Dan kemudian, irama musik Kitaro mengalun syahdu menemani kesendirianku mengkhayal tentang dirinya yang kurindu.

Di benak kepalaku bimbang datang menyeruak. Entah, apa yang akan kusiapkan esok nanti agar saat kubertemu dengannya tidak larut dalam kebisuan seperti kemaren lagi. Ingin rasanya aku bercakap-cakap mesra dengannya. Bercerita kesejukan taman yang indah rupa. Serta mengutarakan ketakjubanku akan kesempurnaan raut wajahnya.

Tapi, mampukah aku...? Sebuah tanya membentur keraguanku.

Nah, itulah satu pertanyaan yang selalu mengusik batinku. Entah kenapa, pertanyaan itu yang selalu hadir dalam lembar waktuku saat kuingin mengenal lebih jauh tentang dirinya. Adakah itu bertanda bahwa, aku memang tidak mampu berbicara ketika bertatap muka dengannya.

Entahlah...

Lalu dengan jalan apakah yang akan kutempuh? Agar dia dapat mengetahui isi hatiku. Agar dia juga tahu bahwa, "palung jiwamu telah mengetuk pintu hatiku" di saat pertamakali kuberjumpa dengan dirimu. Tatapan indah matamu telah menjadi cahaya penerang hitamnya lorong hatiku.

Nona...
Kupanggil namamu di malam pekat nan sunyi, agar senantiasa menjadi teman kesendirianku berteman sepi. Ribuan bintang-gemintang di angkasa berpijar terang. Rembulan menjadi lampu malam. Penghias petang.

Nona...
Walau kau bukan purnama yang besinar di malam hari. Tapi kekagumanku padamu telah menepis kecintaanku pada purnama. Kau tidak seperti purnama yang lenyap saat mentari tersenyum di pagi hari. Kau adalah nyawaku yang setiap saat menghembuskan nafas-nafas cinta surgawi. Ketika aku mengingatmu, disitulah aku kembali bertakarrub kepada sang Ilahi.

Sejatinya, engkau adalah detak jantungku yang setiap saat membimbing tubuhku bertasbih kepada-Nya. Mengenangmu, sama halnya aku mengenang kasih sayang-Nya. Mengingatmu, sama halnya aku mengingat keagungan-Nya. Mencintaimu, sama halnya aku mencintai kebesaran-Nya.

Jadi biarkanlah aku berbicara, berteriak dan bahkan menangis malam ini. Karena malam tidak akan pernah memberi jawaban padaku. Malam hanya akan diam membisu seperti halnya diriku saat bertemu denganmu. Aku ingin mencurahkan semua hasrat yang bergejolak dalam hati pada sang malam. Agar sang malam menyimpan semua kecintaanku padamu dalam kebisuan yang takkan pernah berujung.

Biarlah nanti sang waktu yang akan menjawab semua yang terjadi di malam ini. Karena aku tak ingin kecintaanku kepadamu akan mengkandaskan pelayaranku menuju pelabuhan rahmat-Nya. Aku ingin sampai di pelabuhan-Nya dengan membawa sekeranjang cinta buat sang pemilik cinta. Akan kuhaturkan cinta ini pada Tuhan yang tak bertuan.

Tuhan bersemayam di atas sana bukan lantaran lelah oleh tugas yang diemban. Melainkan karena Tuhan sedang menunggu semua hamba-Nya membawakan cinta suci. Cinta yang tak terbungkus nafsu duniawi.

Dari itulah, aku akan selalu berusaha menjaga kesucian cinta ini dari jerat nafsu duniawi. Agar kelak cintaku benar-benar suci di sisi Sang Ilahi. Mekar dan harum di taman surgawi.

Akhirnya, kulipat sepucuk surat cinta ini buat sang kekasih. Dan kuakhiri dengan untaian puisi hati.

Nona...
Waktu kian merintih untuk kegalauannya,
terlalu manis Nona…
ketika lautan membagi impian,
oh… hanya suaramu tergenggam erat
di gerbang kerinduanku.
sedemikian dalam bahasa,
tiada kuasa
mengoyak langit pencarianku kepadamu,
tiada kekuatan
membelah awan ketulusanku tentangmu,
kisahmu
merajut kemegahan batinmu,
ku berharap…
tunjukkanlah wajahmu

Oh… Nona !
untaian suaramu,
tegarkan hati meronta
ketika matahari menjelang keangkuhannya
ya… ku tunggu suaramu,
menempah kesetiaanku
ku tunggu selalu Nona !
walau wajahmu kian tersembunyi
di balik pesona guratan tintamu,
untuk kehidupan…
tiada kejenuhanku mencari istana berpikirmu
demi satu kehidupan,
tiada pasti berjejak…
dan, ku tunggu kedatanganmu Nona…
di menara piramid cinta


Cairo, 17 Oktober 2006
“Harap Yang Berharap“

No comments: