Saturday, September 08, 2007

Ratapan di Bawah Menara

SEPERTI BIASA. Malam datang. Siang bertandang.

Dingin menggeluti kedua tubuh anak jelata yang duduk tersimpuh di bawah menara. Setiap malam mereka selalu seperti itu. Berteman dinginnya udara malam. Tanpa pembalut. Tanpa selimut.

"Kak, bagaimana ya caranya agar kita jadi orang kaya. Biar hidup kita gak menderita seperti ini," tiba-tiba suara kecil itu bertanya dengan raut muka pucat pasi. Tangannya menekan perut yang entah sejak kapan tak terisi sebutir nasi. Hanya liur yang sering ia telan setiap hari.

Sang kakak terkejut mendengar pertanyaan adiknya. Kemudian dia pun menimpali kata-kata adiknya, "Dik, kamu gak usah berpikir sejauh itu. Wong, selembar rupiah saja kita gak punya. Apalagi mau menjadi orang kaya. Mustahil, Dik!" Jawaban sang kakak membuat kening adiknya berkerut. Sepertinya, ia tidak puas dengan lontaran kakaknya itu.

"Kenapa...? Apa tidak boleh seorang anak jelata hidup mewah. Kaya raya. Bukankah, Tuhan maha adil, Kak!" Selorohnya tiba-tiba.

Sayang, sang kakak hanya membalasnya dengan diam. Seperti batu membisu. Dia tak mampu menjawab. Sedih pun mengakar seperti tuak di gelas yang lama tak disentuh tangan dan bibir. Ada perasaan luka menyayat hati sang kakak melihat tubuh adiknya kian hari tambah kurus kerempeng. Sedang pakaian yang dipakai tak lain hanyalah baju bekas yang dipungut dari bak sampah.

Suasana hening.

Dan, tiba-tiba suara anak-anak jelata lain ramai berdatangan. Sepertinya, mereka juga teman seperjuangannya. Melihat banyak yang datang, sang kakak langsung berdiri dan mengajak adiknya yang kurus tak bertenaga itu agar kembali melakoni aktifitas kesehari-hariannya.

Dengan muka kusut, tangan kotor, serta baju sobek sana-sini mereka memulai aktifitasnya. Meminta, mengemis, bahkan meratap ke setiap orang yang didatanginya. Tapi anehnya, dari sekian banyak orang yang mereka datangi, sedikit pun tak ada yang merasa iba. Tak ada yang mau bersedekah. Raib. Mereka pulang dengan tangan hampa. Kosong.

Malam pun larut dalam kesedihan mendekab tubuh-tubuh kurus anak jelata yang terbujur kaku di sudut malam yang dingin.

* * *

SEPERTI BIASA. Siang datang. Malam bertandang.

Mentari terpasung di kaki langit. Sinarnya yang hangat menerpa tubuh anak-anak jelata yang tidur pulas di bawah menara. Rasa laper yang ditahan tersirat di lekuk bibirnya yang kering. Namun, kebiasaannya untuk meminta, mengemis, bahkan meratap pada manusia telah menjadi sepenggal semangat hidupnya.

Sesuap nasi dan sekeping uang receh menjadi pinta mereka, menjadi harapan mereka mengisi perutnya yang kian tipis. Coba dengarkan suara ratapan mereka ketika tangan kurus itu terjulur di hadapan orang-orang yang dihampirinya.

"Pak... Om... Bu... Tante... Minta uangnya. Aku lapar. Aku belum makan." Begitulah, anak-anak jelata dengan mata merah dan suara agak serak meminta, mengemis, bahkan meratap kesemua orang.

Tapi, entahlah!

Terkadang hanya makian. Hinaan. Tatapan sinis. Bahkan ketidak pedulian yang sering mereka telan. Setiap hari. Bahkan berhari-hari semakin banyak manusia-manusia pongah. Entah, karena merasa benar atau memang tak punya rasa pri kemanusiaan.

Siapa yang tahu? Anak-anak jelata itu bertanya pada debu dan sampah. Berguru pada malam dingin dan panas terik. Menunggu jawaban dari geliat di perut. Tak ada! Yang ada hanyalah tatapan sinis belaka.

Siang ini seisi bumi mulai memanas. Entah sampai berapa kekuatannya. Dan entah sampai kapan pula mata orang-orang angkuh itu akan berhenti memburu harta, sedang di depan, belakang, samping masih terdengar ratapan anak-anak jelata yang ingusan.

Masya' Allah...

Udara panas semakin menyengat. Dan anak-anak jelata itu tidak pernah mengaduh dan menyerah. Mereka tetap ada, dan selalu ada di mana manusia berada. Mungkin pada manusia bijak itulah mereka berjuang memperpanjang sisa-sisa hidupnya. Ya, ampun!

Matahari semakin mengeras, seperti hati manusia kian cadas.

* * *

Siluet senja membentuk sapuan jingga. Langit merah saga. Anak-anak jelata berlari terbirit-birit mencari sisa butir nasi di tong-tong sampah. Dari arah belakang, tiba-tiba terdengar suara panggilan...

"Kak, tunggu aku." Pinta si adik tiba-tiba.

Spontan sang kakak berhenti. Dia menoleh ke belakang, kemudian menghampiri adiknya, "kenapa kau, Dik?" Tanya sang kakak. Heran.

"Aku tak kuat lari lagi, Kak!" Suaranya serak. Nafasnya pun tersendat-sendat.

"Ya, kenapa dulu?" Sang kakak mengintrogasi. Kali ini dia bingung melihat seluruh bagian tubuh adiknya gemetar. Tangan. Kaki. Sampai mukanya pucat pasi.

"Aku...," tak sempat mulut itu berucap. Tiba-tiba tubuhnya terkulai. Roboh. Dan kepalanya jatuh menubruk batu.

"Dik, jangan main-main kamu. Bikin atraksi di sini gak bakalan ada orang yang mau memperhatikan kita, lho!" Dengan perasaan kalut, sang kakak berdiri mematung mengharap jawaban dari adiknya.

Tapi..., tetap tak ada jawaban. Adiknya bergeming, tanpa gerak. Akhirnya, sang kakak pun mendekatinya. Masih dengan perasaan kalut, dia tenangkan diri berpikir adiknya hanya berpura-pura saja.

"Dik!"

Tetap tidak ada jawaban.

Darah segar mulai mengalir deras dari kepala adiknya yang tersungkur di atas batu. Sang kakak hanya termangu. Kemudian...

"Ini tidak pura-pura, Adikku bukan aktor." Sang kakak berperang dengan batinnya, antara percaya dan tidak.

Spontan dia merangkul adiknya dengan erat. Mengguncang-guncang tubuhnya, dengan harapan, kelopak mata adiknya terbuka dan kembali memainkan titik hitamnya. Tapi, tetap tidak ada tanda-tanda.

Rohnya kini pergi meninggalkan raganya. Berpulang menghadap Sang Pencipta.

Innalillah...

Ketika sang kakak menyadari perihal kematian adiknya, dia hanya bisa tersenyum kecil memandang tubuh kurus yang sudah kaku itu. Kemudian dia tertawa terhadap apa yang baru saja terjadi. Satu-satunya saudara tercinta telah menjadi korban. Korban nasib yang mengharuskan mereka berpuasa setiap hari. Apalagi yang bisa dilakukan, air mata, liur sering mereka telan.

Dengan mata nanar sang kakak menggali kuburan adik satu-satunya. Dipandanginya muka kusut itu untuk yang terakhir kali. Tanpa kain kafan, dia membungkus tubuh adiknya dengan baju sobek. Perih. Pedih. Mengorek relung hatinya yang paling dalam. Batinnya menjerit melihat tubuh sang adik ditimbun tanah. Untuk selama-lamanya.

Di pelataran senja lenyap. Malam menjemput arwah seorang anak jelata di bawah menara.

* * *

SEPERTI BIASA. Malam datang. Siang bertandang.

Kian hari purnama berwajah pasi melihat nasib anak-anak jelata. Matanya sembab. Sinarnya teduh. Rintik-rintik berjatuhan. Bumi pun basah derai air mata.

"Cil, kenapa kau sendirian di sini. Adikmu mana?" Satu panggilan tiba-tiba. Namun, Kancil tidak menghiraukannya. Dia hanya membuka matanya sesaat, kemudian kembali tertunduk lemas. Badan kurusnya hanya mampu menopang kepedihan yang baru dirasa. Tanpa air mata. Tanpa kata-kata.

"Cil...!!!" Kali ini suara itu terdengar seperti petir. Tapi, Kancil tetap diam membatu.

Sama sekali dia tidak menghiraukan panggilan temannya itu. Kebenciannya pada manusia-manusia kikir telah membekukan semangat hidupnya. Bahkan dia marah kenapa mesti terlahir ke dunia, jika kenyataannya menelan nasib yang begitu pahit.

Pertanyaan-pertanyaan adiknya tiba-tiba terlintas dalam benaknya. Sampai sekarang dia masih tidak bisa menguraikannya. Tanpa air mata, dia meneteskan luka pada kehidupannya. Mengingatnya, membuat dirinya semakin terpuruk dengan perasaan bersalah.

"Duh Gusti, kenapa Engkau tega mengambil nyawa Adikku tercinta. Bukankah aku juga hamba-Mu," ratapnya.

Merasa tidak puas, Kancil lalu menghujat Tuhannya.

"Duh Gusti... Kenapa Engkau memberi kekayaan, kemewahan, dan hidup bahagia kepada manusia-manusia berhati serigala itu. Sedangkan diriku, Engkau malah biarkan terkurung dalam kemiskinan, kemalaratan, kelaparan, dan hidup menderita seperti ini. Kenapa, Gusti...?"

"Bukankah, diriku..." Kancil hendak melanjutkan hujatannya, tapi tiba-tiba suaranya tercekat. Sepertinya, dia sudah semakin lelah. Tak sanggup lagi berujar. Apalagi berteriak.

Seketika tubuhnya terkulai. Roboh. Dan kepalanya jatuh menubruk batu. Darah segar mulai mengalir deras. Lamat-lamat degub jantungnya semakin melemah. Kini, tak ada lagi suara degub jantung. Tak ada lagi hembusan nafas. Seluruh tubuhnya mengejang. Kemudian kaku.

Innalillah...

Kancil menghembuskan nafas terakhirnya di tengah hiruk-pikuk manusia. Siapa sangka kematiannya bakal berakhir di bawah menara, tempat di mana adiknya juga berpulang ke alam baka. Dia menyusul kepergian adiknya, mungkin juga sekarang telah berpelukan mesra. Siapa tahu? Jikalau Tuhan bakal mempertemukan mereka berdua di surga.

Di peraduan purnama tenggelam. Siang menjemput arwah seorang anak jelata di bawah menara.

* * *

Hanyalah jarak waktu...

Kematian yang mengenaskan terjadi lagi di muka bumi. Sayang, tak pernah ada realisasi menumpas kemiskinan dan kemelaratan para tubuh-tubuh yang tersiksa dan menderita. Barangkali, memang benar. Bahwa hanya sebuah lembaran berita yang akan memenuhi tembok dunia.

Duh, apa kata dunia...?!?


Rabea El-Adawea, 08 Desember 2006
Ombak menyampaikan salam dunia pada semesta.

No comments: