tag:blogger.com,1999:blog-49641493764575874322024-03-05T10:03:46.236+02:00F ! L @ N T R O P Y"Aku lahir ingin langsung berlari. Tapi aku disuruh merangkak dulu. Dan aku patuh."-Filantropy-http://www.blogger.com/profile/16607836676548676474noreply@blogger.comBlogger27125tag:blogger.com,1999:blog-4964149376457587432.post-9948437197146579092007-11-22T14:37:00.000+02:002007-11-22T14:53:47.978+02:00Kenapa Aku yang Kau Pilih<div style="text-align: justify;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiVi1JWgfBURLfAhjz_r9hNccY6EbWcahNwtsA06cS11nGSjpl-FrPa5rUgMAWQ6eQyueV13uGCzYDWpQ5KlSYMzrqReIb3qgVYpeWL4Ww4tbki4dLFM2FVNwdZdhd55uK5bs2pQEW8tPk/s1600-h/Dejeuner-Picasso.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiVi1JWgfBURLfAhjz_r9hNccY6EbWcahNwtsA06cS11nGSjpl-FrPa5rUgMAWQ6eQyueV13uGCzYDWpQ5KlSYMzrqReIb3qgVYpeWL4Ww4tbki4dLFM2FVNwdZdhd55uK5bs2pQEW8tPk/s200/Dejeuner-Picasso.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5135646230640654418" border="0" /></a>Kenapa aku yang kau pilih?<br /></div><br />Tanyamu pada suatu sore<br /><br />Kemudian kujawab pada larut malam;<br /><br />Sebab engkau manusia yang dapat kusentuh<br /><br />dapat pula kupeluk<br /><br />Maka di situ<br /><br />kutemukan sebuah imaji<br /><br />yang hidup dalam naluri<br /><br />Coba engkau rembulan yang tak bisa kusentuh<br /><br />tak bisa pula kupeluk<br /><br />Maka di sana<br /><br />takkan kutemukan sebuah imaji<br /><br />yang hidup dalam naluri<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Rabea El-Adawea, 23 Juni 2007</span><br />"<span style="font-style: italic;">Malam mengusik mimpiku; Tentangmu.</span>"-Filantropy-http://www.blogger.com/profile/16607836676548676474noreply@blogger.com11tag:blogger.com,1999:blog-4964149376457587432.post-74299815797108995802007-11-22T14:18:00.000+02:002007-11-22T14:29:38.841+02:00Manusia<div style="text-align: justify;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgi6AsLGByP-_XdxsHGtMctFy-JV_ECFis8ih0hAKtIsNFgJhJSeBWkJgJbVwQcR8wVUbA3atOud6qLr7Wc3eOI0jYfkZ905m7m1oSZMGn0EQuab7-6PAGIDtlU6EHp0PjVsrJPL-P7zVg/s1600-h/Le_Sommeil,_1937,_Salvador_Dali.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgi6AsLGByP-_XdxsHGtMctFy-JV_ECFis8ih0hAKtIsNFgJhJSeBWkJgJbVwQcR8wVUbA3atOud6qLr7Wc3eOI0jYfkZ905m7m1oSZMGn0EQuab7-6PAGIDtlU6EHp0PjVsrJPL-P7zVg/s200/Le_Sommeil,_1937,_Salvador_Dali.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5135640694427809858" border="0" /></a>PADA SUATU SORE. Ketika seluet senja mulai menyentuh garis katulistiwa. Aku duduk di bangku merah. Bangku yang menjadi tempatku menunggu kereta. Dan di tempat ini aku dapat menyaksikan berbagai bermacam bentuk kegiatan yang dilakukan oleh anak manusia. Mulai dari yang membaca koran, mengotak-atik telpon genggam, ada yang sambil main gitar, dan ada pula yang hanya duduk terdiam, termangu, tertidur dan yang lainnya itu..., terlalu buang-buang waktu aku menyebutkannya. Karena mungkin, aku bagian dari mereka. Entahlah...<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /><div style="text-align: justify;">“Barangkali di sinilah tempat yang cocok untuk melihat seberapa besar tembok kesabaranku,” gumamku. Suara itu menggumpal di mulutku. Tidak pecah.<br /></div><br />Tiba-tiba ada perempuan tua melintas di depanku menggendong seorang anak kecil. Melihat itu aku jadi teringat sahabatku semasa kecil. <span style="font-style: italic;">Kancil</span> namanya. Ia lahir dari keluarga kaya raya. Hidup serba mewah. Tapi sayang... Ia harus rela menelan pahit kehidupannya tanpa sebuah kasih sayang dari orangtuanya. Kukira ia tersiksa. Dan begitulah...<br /><br />Kubaca kehidupanku. Membuatku semakin sadar. Bahwa uangpun hanya cukup sekedar mengisi kekosongan perut. Kalau ada, jika tidak, maka air yang aku teguk sebagai pengganti. Perih memang, tapi ini tidak akan sebera perihnya dibanding kesusahan kedua orangtuaku.<br /><br />Bapak dan ibu bekerja banting tulang siang dan malam. Peras keringat kesana-kemari. Siang, bapak bekerja sebagai kuli bangunan, malamnya menjadi tukang becak. Sedangkan ibu, siang menjual ikan, malamnya membuka warung kopi. Begitulah bapak dan ibu bekerja siang dan malam agar sekolahku tetap berjalan lancar. Mereka rela walau dirinya terlonta-lonta.<br /><br />Pernah suatu hari...<br />Hanya karena ingin melihatku mendapatkan selembar Ijazah SMA, ibu sampai menjual cincin yang diberikan bapak sewaktu akad nikah dulu. Alasannya, agar aku tetap bisa mengikuti ujian UNAS. Hatiku berdetak kagum, “<span style="font-style: italic;">kasih sayangmu sungguh luar biasa, Ibu.</span>” Kala itu segurat senyum kegembiraan nampak menghias lekuk bibir ibu. Tidak pernah kutemukan garis-garis kekecewaan tersirat di kening ibu. Demi aku, ibu rela tersiksa dan menderita.<br /><br />“Terimakasih, Bapak... Terimakasih telah mengajarkan sikap tegar kepadaku. Dan terima kasih, Ibu... Terimakasih telah mengajarkan sikap sabar kepadaku.” Bunyi surat yang kutulis sewaktu lulus SMA dulu. <br /><br />Dan pada suatu pagi. Ketika perut sampai tiga hari tidak makan. Aku pernah meratap dan bersedih. Yah, aku masih ingat kejadiannya. Waktu itu, kiriman yang biasanya tepat waktu, kini terlambat. Entahlah, mungkin orangtuaku lagi kesusahan di sana, atau barangkali masih berusaha peras keringat mengumpulkan uang untukku di sini. Pikirku sedih.<br /><br />-<span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Terkadang rasa hanya tahu manisnya, tanpa mau tahu pahitnya</span>-<br /><br />Kalimat di atas, secara tidak sengaja menyindir kehidupanku yang tidak mau berusaha dan bekerja. Bisanya hanya menunggu hasil jerih payah kedua orangtua. Jika terlambat, meratap dan bahkan bersedih sepanjang hari. Aku sadar... Sebagai manusia yang lemah dan egois, maunya enak sendiri. Enggan mencari dan menutupi dengan usaha sendiri.<br /><br />“Ah, apalah aku ini...” Ada perasaan yang berkecamuk di sana.<br /><br />Tapi aku mencoba untuk menahannya. Aku berusaha untuk tidak menyesali kehidupan ini. Aku tidak akan pernah menyerah, apalagi sampai putus asa. Tidak akan pernah... Tekadku. Aku takut memupuk dosa terhadap kedua orang tuaku, apalagi kepada Tuhanku di atas sana. Tidak!!!<br /><br />“Aku harus bisa mencontoh ketegaran bapak dan kesabaran ibu,” batinku tiba-tiba.<br /><br />“<span style="font-style: italic;">Saya bukan binatang. Saya manusia</span>,” seketika dua kalimat itu kembali terurai dalam ingatanku. Entahlah, aku mendengar suara itu dari mana. Aku lupa. Tapi aku pernah mendengarnya dari seseorang yang berkata demikian, entah itu di mana.<br /><br />Dan, “<span style="font-style: italic;">Saya dilahirkan dari rahim manusia. Bukan dari perut binatang</span>,” semakin kuat pula kalimat itu menyentak dalam memoriku. Ah, semakin berkerumunan pula pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari benakku. Telingaku. Mataku. Hidungku. Mulutku. Dan semua organ tubuhku.<br /><br />“Benarkah aku manusia?” Ah, kenapa aku malah jadi memikirkan hal itu.<br /><br />Hening.<br /><br />Sinar matahari kian merambat pelan. Senja temaram di pelupuk mata. Di bangku merah tinggal aku sendiri. Lambat-laun semakin tak tersisa orang-orang yang tadinya berada di pinggir jalan. Mereka mulai beranjak pulang dengan raut muka tertunduk lesu. Sementara pemuda yang tadinya duduk di sampingku berlalu gontai. Jalannya sempoyongan.<br /><br />Jalanan semakin sepi. Kereta yang sejak tadi kutunggu belum juga datang. Kini sepertinya aku mulai kesal, keki dan marah.<br /><br />“Buang jauh-jauh sifat keegoisanmu, Nak! Dan belajarlah menghargai waktu,” pesan Bapak tiba-tiba menggantung di lengkung alis mataku. Mungkin karena pesan itu hatiku mulai mencair. Seperti ada tetesan embun yang dingin. Kobaran amarah itu mulai padam rupanya.<br /><br /><div style="text-align: center;">###<br /></div><br />Adalah orangtua yang menginginkan anaknya lebih baik dan tidak menderita seperti yang pernah dialaminya. Barangkali, memang benar tidak ada orangtua yang menginginkan anaknya semakin buruk dari pengalamannya. Orangtua mana yang tega membiarkan masa depan anaknya terbengkalai, tentunya tidak ada. Justru, orangtua akan selalu berharap agar lebih baik. Dan mendoakan supaya apa yang dicita-citakan anaknya diraih dengan sempurna. Sepertinya memang tidak ada. Pikirku masih mengambang. Tidak yakin.<br /><br />“Cita-cita seorang anak akan mudah terwujud jika mendapat restu dan doa dari kedua orangtuanya,” pesan Bapak melintas di benakku kini.<br /><br />Semula aku ogah-ogahan menyakini kebenarannya. Namun, setelah sekian lama aku berpisah dari mereka baru sekaranglah aku menyadari bahwa ungkapan itu benar. Nyatanya, setiap pesan orangtua merupakan doa serta landasan untuk berpijak bagi si anak. Baik itu kesuksesan dan keselamatan dunia maupun akhirat. Orangtua merupakan suri tauladan kedua setelah Baginda Nabi. Atau bahkan yang pertama.<br /><br />Tengok, seekor harimau saja masih melindungi anaknya dari marabahaya. Lalu, tidak malukah seorang manusia terhadap hewan yang tidak berakal itu. Bukankah, kewajiban manusia adalah menjadi manusia. Aku membantin.<br /><br />Sejenak lidah kelu. Hening tercipta lagi.<br /><br />Beberapa menit kemudian...<br />Aku kembali teringat keluarga Kancil. Rupanya kisah itu semakin tajam meliuk-liuk di tempurung otakku kini, pikirku dalam hati.<br /><br />Kancil jauh dari sentuhan kasih sayang kedua orang tuanya. Bapaknya sibuk mengurusi bisnis. Ibunya juga demikian. Dan dari kesibukan itulah membuat kedua-duanya tak ada waktu kosong untuk menyusui, menimang dan mengurus Kancil. Sahabatku itu terlantar. Bukan karena kelaparan, bukan pula karena kekurangan, tetapi ia terlantar karena ulah kedua orangtuanya yang tidak bertanggung jawab.<br /><br />Semenjak lahir, orangtuanya memasrahkan Kancil kepada Bi’ Ija. Pembantu yang memang disewa mengurus, merawat, menemani dan bahkan menyusuinya. Waktu itu Kancil tidak akan tahu apa-apa ketika Bi’ Ija hendak menyerahkan dirinya kepada majikannya untuk diberi air asi. Sungguh, kukira Kancil tidak akan tahu, apalagi sampai ingat kejadian itu. Tapi aku yakin, Kancil pun pasti merasakan kepedihan itu. Kepadihan yang mengharuskan bibirnya menetek pada puting perempuan yang bukan ibunya sendiri.<br /><br />“Ja... Kamu urus anak ini ya. Sekalian susuin dia. Sekarang aku sibuk dengan urusan kantor,” pesan ibu Kancil. Bi’ Ija terperanjat mendengar perkataan majikannya itu. Seluruh tubuhnya bergetar. Kelopak matanya sembab. Merah. Tangannya yang mulai keriput mengelus-elus dadanya. Gemetar. Dalam hatinya, Bi’ Ija hanya bisa bergumam melihat tubuh Kancil yang masih balita, “<span style="font-style: italic;">kasihan sekali kau, Nak!</span>”<br /><br />“Kasihan pula kau, Cil,” rintihku kini. Seperti sore itu, kini perasaanku menyatu dengan perasaan Bi’ Ija. Tak ada jeda, aku berteriak, “Cil... Kau memang lahir dari orang berpunya. Sementara aku lahir dari orang biasa. Amat sederhana. Tapi lihatlah, kasih sayang kedua orangtuaku tak terhitung harganya. Tidak seperti halnya dirimu itu. Sepertinya memang benar dugaanku, kau dilahirkan memang bukan karena kehendak naluri orang tuamu, Cil! Buktinya, dari lahir sampai sekarang pun kau tidak pernah mendapat kasih sayangnya. Bapak dan ibumu malah memasrahkannya pada Bi’ Ija. Menelantarkan dirimu dan membiarkan nasibmu di tangan orang lain. Lalu, inikah bentuk kasih sayang kedua orangtuamu kepadamu, Cil?” Suaraku tercekat. Dan pertanyaan itu... Membentur kepalaku. Keras.<br /><br /><div style="text-align: center;">###<br /></div><br />Kemudian pada senja yang sebentar lagi akan berpamitan aku berteriak di tempat itu dengan sekencang-kencangnya. Aku tidak memperdulikan apa yang akan terjadi, sebab pikiranku sesak dengan kisah sahabatku itu.<br /><br />“Tidak Cil... Aku tidak terima. Seandainya aku boleh memilih, maka lebih baik aku milih Adam dan Hawa lahir tanpa orang tua,” lanjutku meratapi nasib sahabatku yang jauh di sana.<br /><br />-<span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Terkadang pula rasa hanya memikirkan kenikmatannya, daripada hasil jerih payah usahanya</span>-<br /><br />“Sungguh kasihan kau, Cil,” pekikku menelan nasib. “Kau merana. Aku bahagia,” lanjutku sedih.<br /><br />Sejatinya kita memang berbeda, Cil! Berbeda dari semua apa yang kita miliki. Tapi dari perbedaan itu kita pun tahu, bahwa kita lahir dari rahim yang sama. Tulang rusuk yang sama. Manusia. Dan kukira kita sama-sama mempunyai baju kehidupan masing-masing. Kau hidup serba ada. Itulah ruang hidupmu. Mungkin juga kenikmatan duniamu. Aku hidup seadanya. Manusia yang pernah kelaparan, pernah kesusahan, dan pernah juga kekurangan. Inilah liturgi hidupku. Dan mungkin juga keindahan duniaku.<br /><br />“<span style="font-style: italic;">Sebab hidup tak selamanya harus berjalan imbang</span>,” pesan itu tiba-tiba menyapaku, entah darimana...<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Rabea El-Adawea, 24 April 2007</span><br />“<span style="font-style: italic;">Ketika seekor burung mengajakku bernyanyi.</span>”<br /></div>-Filantropy-http://www.blogger.com/profile/16607836676548676474noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4964149376457587432.post-67623332946865317062007-11-06T03:10:00.000+02:002007-11-08T21:03:48.213+02:00Malam Ini...<div style="text-align: justify;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjltEFypUj0SpWg9eh6nzHWW2AefNmMGI7OVo4wE_AIQoAjqSGFhXBFxCnNAIvMHwyTw4H28Qr-MxOWCG4SARCWabMAqwvZ9oK4vAO6ipwbAlrHXj0G9HGMQMG-Gtqftqz3xaGE9wfgYlQ/s1600-h/skeletons.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjltEFypUj0SpWg9eh6nzHWW2AefNmMGI7OVo4wE_AIQoAjqSGFhXBFxCnNAIvMHwyTw4H28Qr-MxOWCG4SARCWabMAqwvZ9oK4vAO6ipwbAlrHXj0G9HGMQMG-Gtqftqz3xaGE9wfgYlQ/s200/skeletons.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5129529665112718978" border="0" /></a>Di sudut kamar yang empuk<br /></div>aku tak bisa tidur dengan lelap<br />syetan mengintipku<br />dari balik jendela<br />neraka<br /><br />Bersama kawan-kawannya<br />ia berbisik, dan kudengar;<br />malam ini...<br />mereka akan menjadikan dunia<br />sebagai taman surga<br /><br />Kudengar pula;<br />malam ini...<br />taman surga itu akan dibakar<br />dan kayunya adalah lidah-lidah<br />manusia<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Rob'ah, 06 November 2007 03:16 WK</span>-Filantropy-http://www.blogger.com/profile/16607836676548676474noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-4964149376457587432.post-66361159775575989702007-11-06T02:33:00.000+02:002007-11-06T02:48:28.990+02:00Gadis Mesir<div style="text-align: justify;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6Cq1c4it84g_kYSnzdGcEYrRS4hzGbiUUvujZEpyADbnOTnYf4ZBsFYEM_FfOdSectwcoeUtsM09IgbFyjFyA1othotj8x9hyphenhyphent2s0HAPmw1K2H39pKO4uWTjjHZO3y0e9U77HTHbUKJQ/s1600-h/untitled.bmp"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6Cq1c4it84g_kYSnzdGcEYrRS4hzGbiUUvujZEpyADbnOTnYf4ZBsFYEM_FfOdSectwcoeUtsM09IgbFyjFyA1othotj8x9hyphenhyphent2s0HAPmw1K2H39pKO4uWTjjHZO3y0e9U77HTHbUKJQ/s200/untitled.bmp" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5129521461725183586" border="0" /></a><span style="font-weight: bold;">DAN</span> tidak seperti biasanya sepulang dari IKBAL aku mampir ke rumah teman-teman. Tapi kali ini aku langsung menuju rumah Ghi’. Di sana aku shalat Asyar. Setelah selesai, seperti biasa aku membaca beberapa lembar ayat Al-Qur’an. Sesudah itu aku membaca novel karya Saudara Furqon Hidayat. Seorang pemuda asal Purbalingga yang sudah berhasil membukukan satu buah karya masterpiece-nya, yang dalam hal ini juga mendapat dukungan dari pihak KBRI-Kairo. Inilah yang kubaca sekarang ‘<span style="font-style: italic;">Gundukan Tanah Cinta</span>’.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br />Novel berlatar belakang Mesir ini mendapat apresiasi luar biasa dari pihak pembaca, khususnya di kalangan <span style="font-style: italic;">Masisir</span> (Mahasiswa Indonesia Mesir). Dan bagi aku sendiri -selaku pembaca- menilai novel ini cukup sederhana. Praktis dan tidak berbelit. Di dalamnya tersaji racikan kisah cerita yang mengharu biru.<br /><br />Sampai di halaman yang entah keberapa, tiba-tiba aku dikejutkan bunyi jam dinding. Nyaring. Kulihat ke atas, jam sudah menunjukkan pukul 18:30 waktu Kairo. Berarti aku harus pulang. Aku pamitan pada semua penghuni rumah, terlebih pada saudaraku yang satu itu. Seperti biasa, kami berpelukan dan bergantian menempelkan pipi. Bukan <span style="font-style: italic;">homo</span>, tapi inilah makna persahabatan di antara kami. <span style="font-style: italic;">Menarik bukan!</span><br /><br /><div style="text-align: center;">@@@<br /></div><br />Awal cerita yang tak pernah kuduga sebelumnya.<br /><br />Dari arah Zahra' mobil angkotan mulai menampakkan batang hidungnya. "Sabi'..." Begitulah teriakan Kernit pada setiap orang yang berada di pinggir jalan. Di depan sang Sopir mengacungkan dua jari sebagai tanda bahwa itu daerah Sabi'. Aku pun mengacungkan dua jariku persis seperti Sopir itu. Mobil angkotan itupun berhenti di depanku. Si Kernit bertanya, "Sabi'?" Aku mengangguk. Kemudian Kernit itu menyuruhku masuk. Aku duduk di bangku paling belakang. Di dalam aku bertemu dengan anak Indonesia, yang kebetulan juga kuliah di Al-Azhar University. Ia menyalamiku, aku pun menjawab salamnya.<br /><br />Selama dalam perjalanan kami saling tukar cerita, mulai cerita berangkatnya dari Indonesia sampai setiba di Mesir. Tak terasa cerita di antara kami mengalir seperti laju mobil. Namun cerita itu berakhir ketika mobil yang kami tumpangi tiba di Sabi’. Sebelum turun, kusempatkan untuk berpamitan terlebih dulu, "Mas, aku duluan yah!"<br /><br />"Ok. Senang bertemu denganmu. Semoga kita bisa bertemu lagi," jawabnya seraya menjulurkan tangan kanannya.<span style="font-style: italic;"> Oh</span>, ia ngajak bersalaman rupanya.<br /><br />Busyet deh! Hampir lupa pula aku berjabat tangan denganya, "eh, ya. Sama-sama." Senyumku mengambang.<br /><br />Setelah turun dari mobil, kulihat anak itu melambaikan tangannya ke arahku. Spontan terangkat juga tanganku. Aku membalas lambaiannya. Kemudian aku berbalik arah. Sejenak aku menunggu hilir mudik para pengendara mobil, setelah jalanan agak lenggang baru aku menyebrang. Di studio aku menyerahkan kertas kecil pada perempuan berkulit hitam langsat.<br /><br />"Sepertinya perempuan ini berasal dari Negeria," pikirku dalam hati. “Ah, rupanya bukan hanya penduduk Indonesia yang mengadukan nasib ke negeri orang,” lanjutku bergumam.<br /><br />Kuperhatikan dengan seksama, perempuan tersebut sibuk mengacak-acak semua bungkusan-bungkusan foto yang ada di dalam lemari. Ketika bungkusan fotoku ketemu, perempuan itu menyerahkannya padaku. Kuucapkan terimah kasih, kemudian keluar dari studio.<br /><br />Sesampainya di luar aku langsung menuju Mahattoh. Di sana aku menunggu mobil angkotan yang ke arah Rob'ah. Jelang beberapa menit, sebuah mobil berwarna putih dengan bemper biru berhenti di depanku. Kuhampiri, lalu aku bertanya, "Rob'ah?"<br /><br />"Ayuwah," jawab Sopir ramah.<br /><br />Aku naik, dan ternyata di dalam sudah banyak para penumpang lainnya. Aku mencari kursi kosong, masih ada satu. "Hamdulillah," syukurku. Kemudian aku duduk tanpa memperhatikan keadaan di samping, di depan dan di belakang. Mobil mulai berjalan pelan. Sementara kepala si Kernet masih melongo ke luar sambil berteriak, “Rob’ah... Rob’ah... Rob’ah...”<br /><br />Seperti biasa, selembar uang 50 <span style="font-style: italic;">Kirs</span>, separuh dari 1 <span style="font-style: italic;">LE</span> hendak kuserahkan pada Kernitnya. Tapi kali ini, uang itu...<br /><br />Gadis Mesir dengan mata sayu, hidung mancung, lekuk bibir menawan dan semua yang kulihat darinya takkan pernah cukup jika hanya lewat sentuhan kata, spontan meraih selembar uang yang hendak kuserahkan itu.<br /><br />"Isymahli 'an u'tiyahu," sapanya tiba-tiba. Lembut sekali.<br /><br />Aku tersentak. Bola mataku terbelalak. Dan hatiku berdetak. Sedikitpun aku tidak bisa berucap. Mungkin karena aku senang, gembira, atau mungkin juga karena aku tidak paham gaya bahasanya. Entahlah, aku hanya bisa mengangguk. Heran dan takjub.<br /><br />Deru mobil yang kami tumpangi berjalan cukup alot. Kadang cepat, terkadang pula lambat. Sesekali kulirik Gadis Mesir yang duduk pas di sampingku, “<span style="font-style: italic;">anjrit!</span>” Gumamku. Ternyata ia lebih ganas lagi. Tanpa rasa peduli terhadap penumpang yang lain, ia seolah-olah telah menyempatkan waktu untuk memandangiku, dan mungkin juga aku.<br /><br />Kukira kau senang menatapku karena di Negerimu aku orang asing. Aku pendatang dari Negeri jauh. Dan, bukankah dirimu dalam penilaianku seperti itu pula. Sama. “<span style="font-style: italic;">Kau asing bagiku, jangan salah jika aku terpesona melihatmu.</span>" Sepertinya, kalimat itulah yang pertama kali terlintas dalam benak si Gadis Mesir, mungkin juga benakku.<br /><br />Jujur, <span style="font-style: italic;">walau itu pahit</span>, aku ingin sekali berbicara dengannya. Lebih jauh lagi ingin mengucapkan terima kasih atas kebaikannya. Tapi, aku tidak begitu mengerti bahasanya, ia pun sepertinya begitu, takkan paham bahasaku. Bahasa kita bukanlah bahasa Internasional. Aku membatin. Lemas seketika.<br /><br />Aku merasakan hembusan nafas yang tak teratur. Kumelirik. Diampun menjadi tanda yang tak mampu kujawab. Akhirnya... Aku hanya bisa pasrah menyampaikan pesan lewat isyarat pandangan mataku yang sesekali berpadu dengan tatapannya. Ya, hanya itu!<br /><br /><div style="text-align: center;">@@@<br /></div><br />Roda terus berputar. Dan perjalananku akan segera sampai. Iseng, selagi belum turun dari mobil kuambil buku novel dalam tas. Ketika hendak kubaca, silau mata Gadis Mesir itu terpancar ke arahku. Kecantikan dan keindahannya menjadi cermin dalam lembar kertas novel Gundukan Tanah Cinta yang kubawa. Seketika aku menjadi canggung. Kadang kala aku kesal, terkadang pula aku merasa bodoh karena tidak bisa berbahasa Arab dengan lancar. "<span style="font-style: italic;">Jancuk!</span>" Makiku dalam hati. Novel itu tidak jadi kubaca. Lalu kumasukkan lagi dalam tas.<br /><br />Di depan, perempatan jalan raya Rob'ah sudah semakin dekat. Sebentar lagi aku akan turun. Rasa penarasan, kekecewaan, kekesalan, kebahagiaan, ketidakpuasan semua melebur dalam otakku. “Kenapa untuk bertutur sapa saja aku terlalu kaku. Tidak berani. Takut. Dasar bego’!!!“ Kembali aku memaki diri sendiri.<br /><br />Ketika mobil hampir sampai di perempatan Rob’ah aku berucap, "lausamah, kuddem 'ala gambak, ya Kapten!" Nada suaraku seperti dipaksakan. Gadis itu melirik. Senyumnya merekah. Seperti sedang melontarkan pesan untukku, entah apa itu.<br /><br />Entahlah, kini perasaanku semakin tak karuan setelah jauh darinya. Padahal baru bertemu dalam sekejab. Dan itu membuatku terpelanting dalam jurang ketidakberdayaan menahan emosi yang kian membuncah. Duduk di sampingnya seolah-olah kutemukan detak kehidupan yang begitu dahsyat. Tapi, kupaksakan untuk tidak mustahil. “Itu tidak mungkin!” Aku membatin.<br /><br />Aku harus tegas dalam hal ini. Walau kenyataannya sangat berat, aku akan tetap memilih; mana yang lebih penting untuk aku jalani. Bukankah hidup adalah sebuah pilihan. Jadi, aku harus mempunyai sikap itu. Batinku menghancurkan pagar emosiku.<br /><br />"Mesyi," jawab Sopir kemudian. Dan mobil pun sampai di ujung perempatan jalan. Aku turun. Untuk yang terakhir kalinya, setidaknya saat ini, kupuaskan diri memandang elok wajahnya.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Kelopak mata itu... </span> <span style="font-style: italic;">Hidung itu...</span> <span style="font-style: italic;">Senyum itu... </span> <span style="font-style: italic;">Lekuk bibir itu...</span> <span style="font-style: italic;">Adalah Si Gadis Mesir berbaju biru </span> <span style="font-style: italic;">Akan selalu abadi dalam ingatanku </span> <span style="font-style: italic;">Dan akan selalu begitu</span> <span style="font-style: italic;">Untuk selamanya...</span><br /><br /><div style="text-align: center;">@@@<br /></div><br />Aku yang berdiri mematung di pinggir jalan menjadi lemas seketika, tidak bergairah. Penyesalan datang di akhir tarian mentari. Mobil yang kutumpangi semakin jauh dariku. Dan Gadis Mesir itu..., seketika lenyap dalam kelopak mataku yang kian basah.<br /><br />"Kenapa aku bodoh..." Hujatku pada senja yang kian lembayung.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Rabea El-Adawea, 21 Mei 2007<br /><br /></span><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Keterangan:</span><br />1. IKBAL : Sekretariat Keluarga Besar Al-Amien, cab. Kairo-Mesir<br />2. Bukroh : Besok<br />3. Zahra' : Daerah yang terletak di kawasan Nasr City<br />4. Sabi' : Terminal mobil<br />5. Mahattoh : Halte<br />6. Rob'ah : Daerah metropolitan. Letaknya di Jantung kota Kairo<br />7. Ayuwah : Baik/Oke<br />8. 50 Kirs - 1 LE : Nama mata uang Mesir<br />9. Isymahli 'an u'tiyahu : Kalau boleh, biar saya yang memberikannya<br />10. Lausamah,kuddem 'ala gambak, ya Kapten! : Permisi, di depan saya turun, Pak!<br />11. Mesyi... : Oke...<br /></div>-Filantropy-http://www.blogger.com/profile/16607836676548676474noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4964149376457587432.post-16886167456959529822007-10-25T04:14:00.000+02:002007-10-25T04:46:45.069+02:00Darah dan Air Mata<div style="text-align: left;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgE8IgWfBhV_wG1AP1OJ8JWUS9PuS5-BNKAfhO5dGsgzUn6FLYPWvpTTja5iMZRitiDq6s6ZanqibODxIOUGmPJ32f6EIeizc7DP1SwminlrZp38BOcWhPaUGTT9zdm7kZep6V6yLPWsRc/s1600-h/Crying_Lebanese_Eye.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgE8IgWfBhV_wG1AP1OJ8JWUS9PuS5-BNKAfhO5dGsgzUn6FLYPWvpTTja5iMZRitiDq6s6ZanqibODxIOUGmPJ32f6EIeizc7DP1SwminlrZp38BOcWhPaUGTT9zdm7kZep6V6yLPWsRc/s200/Crying_Lebanese_Eye.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5125097860158668370" border="0" /></a>Sahara anyir darah<br /></div>Irak terisak<br />Libanon menangis<br />Palestina tersedu-sedu<br /><br />Dan, aku hanya mampu mengusap peluh<br /><br />Koran-koran lusuh itu menumpahkan air mata manusia. Mulai dari anak-anak kecil sampai orang-orang dewasa. “Mereka lebaran dengan darah dan air mata,” sebut koran itu.<br /><br />Saat ini tangan-tangan bijak itu tak mampu menopang kepedihan mereka. Mereka terlalu banyak. Sementara para dewa hanya menitikkan air mata. <span style="font-style: italic;">Duh</span>, seharusnya mereka menikmati kemenangan di hari lebaran. <span style="font-style: italic;">Malah</span>, mereka menelan ludah kekalahan,” lanjut koran itu memaparkan kondisi masyarakat Irak, Libanon, dan Palestina.<br /><br />Dan, aku hanya mampu mengusap peluh<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Nasr City, 2007 </span>-Filantropy-http://www.blogger.com/profile/16607836676548676474noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-4964149376457587432.post-79447960121808386762007-10-25T03:48:00.000+02:002007-10-25T04:02:16.479+02:00Bleeding Heart<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjVhZmyOiTnk6LcoGQBi07Nx4jJSuY_Iiyq8PMdxtt4_vggxG9oSBQ8Jp1xIBIgm4qEitIDjbQDgqQQ5A8RbiwNJ8v2QNaDiVrQ4qZYrCjd-9qmbb3oMeYmsDOUDQqfmudXyd9hJLi6fiA/s1600-h/bleedingheartlogo.gif"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjVhZmyOiTnk6LcoGQBi07Nx4jJSuY_Iiyq8PMdxtt4_vggxG9oSBQ8Jp1xIBIgm4qEitIDjbQDgqQQ5A8RbiwNJ8v2QNaDiVrQ4qZYrCjd-9qmbb3oMeYmsDOUDQqfmudXyd9hJLi6fiA/s200/bleedingheartlogo.gif" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5125087938784214578" border="0" /></a>“Mak, Agung meninggal tadi sore,” bunyi sms yang masuk ke hpku tiba-tiba. Aku kaget. Sebab tidak seperti biasanya. Pesan singkat itu menggantung di lengkung alis mataku. Ada perasaan aneh menyeruak. Aku mencoba memastikan untuk tidak percaya.<br /><div style="text-align: justify;"><br />“<span style="font-style: italic;">Ah</span>, bercanda,” selaku begitu saja. Masih dengan sikap tenang. Dan mulut mencibir tanda tidak percaya.<br /><br />Tapi sejurus kemudian, “Cong, sabar ya... Agung kamu telah meninggal dunia sekitar jam 4 sore tadi. Sabar ya...” Ada sms lagi masuk ke hpku. Nomer baru. Aku terkejut. Masih dengan perasaan aneh, kupaksakan untuk tetap tenang, dan menganggapnya hanya sebagai <span style="font-style: italic;">'guyonan'</span> orang-orang yang tidak punya kerjaan.<br /><br />“Ah, jangan-jangan keluargaku sudah gila semua. Seenaknya <span style="font-style: italic;">dewe</span> ngabarin Agung meninggal. Dasar...” Kesalku pada mereka yang mengirim sms. Karena kesal, kucoba untuk menonaktifkan hp. Dan ternyata gagal. Hpku berdering. Ada sms lagi.<br /><br />Awalnya ingin kubiarkan saja sms itu. Tapi ada dorongan kuat, entah itu darimana, tiba-tiba datang menyergapku. Mengajakku untuk membaca dulu bunyi sms itu. Tanpa berpikir panjang, akhirnya kubaca;<br /><br />“Ong, kalau bisa telpon sekarang juga. Aku di Lombang nih. Dan kamu gak usah gusar, tenang aja. Semua Allah yang menentukan. Pokoknya kamu harus sabar (<span style="font-style: italic;">Innallaha Ma’a Al-Shobirin</span>). Ok! SABAR YA, CONG! SABAR!!!” Bunyi sms ketiga yang kuterima. Berbeda dari menit sebelumnya. Kali ini tidak berbentuk berita, tapi berupa pesan moral. Menyuruhku untuk bersabar. Kukira orang ini cukup bijak.<br /><br />Tapi, sebijak apapun orang itu menyampaikan bahasa pesannya tetap saja meninggal tanda tanya dalam benakku. “Kenapa orang itu menyuruhku bersabar? Pasti sudah terjadi sesuatu, dan orang itu menyembunyikannya,” aku mereka-reka. Ada kepingan patah. Antara ragu dan percaya.<br /><br />“<span style="font-style: italic;">Benarkah?</span>” Hanya itu yang sanggup terucap dari lidahku yang semakin kelu. Tak mampu aku berujar.<br /><br /><div style="text-align: center;">###<br /></div><br />Langit merah. Kairo gerimis. Kemarin malam guntur meraung. Petir menyambar. Halilintar melukis punggung sahara. Kini desau angin bertiup kencang. Seiring suara adzan berkumandang kulepas semua belenggu kebingunganku perihal sms itu. Kemudian aku bergegas masuk hammam5. Selesai berwudhu’ aku melangkah menuju masjid untuk shalat Jum’at.<br /><br />Sepulangnya dari masjid hpku berdering. “Ada sms lagi rupanya,” kataku pelan. Dan kubaca. <span style="font-style: italic;">Hah</span>, sorot mataku tajam. Sms itu tidak ada tulisannya sama sekali. Kosong. “Ada apa ini?” Tanyaku kemudian. Jantung bergetar. Pikiran melayang.<br /><br />Dan setelah dua menit berlalu hpku berdering lagi. Sms kesekian kalinya. Dengan cepat kubuka, dan kubaca;<br /><br />“<span style="font-style: italic;">Innalillahi Wainna Ilahi Raji’un…</span> Agung telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Hari ini tepat jam: 16:00. Tolong doakan semoga arwahnya diterima di sisiNya.” Tanganku gemetar, dan hp yang kupegang jatuh. Keringat mengucur deras. Aliran darahku terhenti sejenak. Dan jantungku berdegub tidak teratur. Naik turun. Nafasku sesak.<br /><br />Aku masih gamang dan ragu membaca sms dari Mbakku itu. Maka dengan hati yang terpukul, entah marah atau sedih, aku memberanikan diri balas bertanya; “Mbak, tidak main-main <span style="font-style: italic;">kan!</span> Tidak bercanda <span style="font-style: italic;">kan!</span> Dan Mbak tidak gila seperti mereka <span style="font-style: italic;">kan!</span> Jawab, Mbak!!!” Begitu bunyi sms yang kukirim. Tidak lama, Mbakku yang berada di pulau Madura membalasnya.<br /><br />“Tidak, Adikku. Kamu sabar ya…” <span style="font-style: italic;">Ah</span>, benar juga tebakanku. Telah kukira sebelumnya, Mbak bakal menjawab pertanyaanku seperti itu. Kenapa pula ini. Langit berputar sangat kencang di atas kepalaku. Pusing…<br /><br /><div style="text-align: center;">###<br /></div><br />Kadang aku marah, kesal mungkin juga terpukul membaca sms yang berderet di hpku itu. Tapi sekali lagi, setidaknya untuk saat ini, aku masih ragu untuk mempercayai kenyataan itu. Aku mencoba menepis. Namun pikiranku berguncang keras.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Antara percaya dan tidak!</span><br /><br />Kulempar sajadah. Kemudian aku berlari sekencang-kencangnya menuju Wartel, tempat biasa aku menghubungi keluarga di Indonesia. Selama dalam perjalanan pikiranku terus berkecamuk.<br />“Aku harus mendengarnya langsung,” gerutuku tanpa henti.<br /><br />Jam dua kurang seperempat menit aku sampai. Di sana sudah tersedia dua alat elektronik yang bersambung langsung ke internet. Kupilih paling pojok. Dan setelah selesai diaktifkan, langsung kupencet nomer yang hendak kuhubungi. Tidak begitu lama, suara di seberang menjawab salamku.<br /><br />“Sehat kamu, Dik?” Mbak bertanya dengan suara parau yang tidak jelas terdengar.<br /><br />“Hamdulillah, sehat.” Jawabku datar. “Mbak sendiri gimana, sehat kan!” Lanjut aku bertanya.<br /><br />Mbak menimpalinya, “iya, sehat.” Suaranya tertahan. “Bapak dan Ibu juga,” Serunya lagi sambil sesenggukan.<br /><br />“Sepertinya, Mbak baru selesai menangis,” pikirku.<br /><br />“Mbak menangis ya?” Tanyaku kemudian. Namun tidak ada jawaban. Mbak diam. Keningku berkerut. Dan kedua alisku mengernyit. Aku bertambah bingung, “<span style="font-style: italic;">benarkah?</span>” Kembali pertanyaan itu terkuak.<br /><br /><div style="text-align: center;">###<br /></div><br />Tiga menit berlalu…<br /><br />Disela-sela waktu yang terus berputar kudengar isak tangis dari seberang. <span style="font-style: italic;">Hah, Mbak!!!</span> Sebelum sempat aku berkata, tiba-tiba Mbak terisak memanggil Bapak dan Ibu. Aku mengangkat bahu, dan termangu mendengarkan suaranya. Pikiranku semakin berkecamuk.<br /><br />“Ada apa sih, Mbak!” Rupanya ketidaksabaran itu sudah membakar kepalaku. “Apa yang terjadi, Mbak?” Tanyaku keras. Dan orang di sampingku -yang kebetulan juga lagi menelpon- terperanjat mendengar suaraku. Aku tidak memperdulikannya.<br /><br />Satu, dua sampai tiga menit tetap tak ada jawaban. Mbak malah memberikan hp itu kepada Bapak. Aku tertunduk lesu. Kudengar, Bapak memulai percakapannya. Pertama-tama menanyakan kabarku, kemudian berlanjut pada pesan yang tidak pernah kusangka sebelumnya. Bapak menyuruhku untuk bersabar.<br /><br />“Nak, sabar yah!” Begitulah Bapak berpesan. Dan aku semakin tidak mengerti. Sebelum sempat aku bertanya, lebih dulu Bapak menyudahi kata-katanya. “Nih, Ibumu mau bicara,” kemudian hp itu beralih ke tangan Ibu. Kini giliran Ibu bercerita. Aku pun mendengarkannya dengan baik.<br /><br />Sampai di menit ke kesepuluh, percakapanku dengan Ibu berakhir sendu.<br /><br />Tangisku pecah dan air mata tumpah. Ibu juga. Aku tidak kuat membendung sungai yang mengalir deras di kelopak mataku. Dan, ibu juga. Kristal bening itu luruh.<br /><br />“<span style="font-style: italic;">Innalillah…</span>” Hatiku menjerit pilu.<br /><br />Lagu yang dibawakan oleh sekelompok musisi Jerman mengalun lembut disela-sela isak tangisku. Seperti sedang menata kembali kepingan hatiku yang telah robek. Membelai dan mengajakku untuk tabah dan sabar.<br /><br />“<span style="font-style: italic;">We shared a life, a world of lies</span> <span style="font-style: italic;">You are gone, no reason to cry.</span>”<br /><br />Cuilan lyric lagu tersebut mampu membuatku berdiri. Setidaknya, air mata mampu kutahan. Dan luka hati sedikit demi sedikit terobati. Entah, kekuatan apa yang bersembunyi di balik lagu itu. Hingga membuatku tegar menghadapi semuanya. Aku tidak tahu! Kini yang kurasa hanyalah ketenangan dan kedamaian.<br /><br />“Aku tidak boleh cengeng,” pekik hatiku.<br /><br />“Cong, nanti kalau kamu sudah <span style="font-style: italic;">gede</span> jangan cengeng. Kamu harus tegas dan berani. Umur hanya sekali. Tapi kehidupan akan tetap abadi. Selamanya…” Pesan Agung kembali mengiang di gendang telingaku. Jelas sekali. Semakin terpuruk pula aku mengingat pesan itu.<br /><br />“<span style="font-style: italic;">Ah</span>, ternyata aku masih belum bisa menjadi makhluk sempurna, Gung!” Ratapku.<br /><br />Wajah itu bergelayut dalam benakku.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Cairo, 20 Oktober 2007</span><br />“<span style="color: rgb(51, 255, 51); font-style: italic;">Seuntai cerita untuk almarhumah, Agung Adhawiyah.</span>”<br /><br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Keterangan:</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Bleeding Heart</span> : Salah satu judul lagu music rock “Freedom Call”<br /><span style="font-style: italic;">Mak</span> : Panggilan untuk Kakak<br /><span style="font-style: italic;">Agung</span> : Panggilan untuk Nenek<br /><span style="font-style: italic;">Cong</span> : Panggilan untuk anak-anak<br /><span style="font-style: italic;">Hammam</span> : Toilet atau WC<br /></div>-Filantropy-http://www.blogger.com/profile/16607836676548676474noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-4964149376457587432.post-31542779305424042052007-10-24T05:25:00.000+02:002007-10-24T06:22:14.868+02:00Mawar Berduri<div style="text-align: left;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjyUKcHkEZDQP-LCGbJGCj6KWONmjSTXO-gRplbc6Ch8GoFXb4XgjbGX_nQ-HhxTpPhy2aeTactQvacnuVXTN62sA6Sbb7XmcQa9zbQH0ATnNwUhBv-CCcbAHEcxPOfDf-VPDGMzHjq5Tg/s1600-h/Lost-in-Dreams.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjyUKcHkEZDQP-LCGbJGCj6KWONmjSTXO-gRplbc6Ch8GoFXb4XgjbGX_nQ-HhxTpPhy2aeTactQvacnuVXTN62sA6Sbb7XmcQa9zbQH0ATnNwUhBv-CCcbAHEcxPOfDf-VPDGMzHjq5Tg/s200/Lost-in-Dreams.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5124740665614444050" border="0" /></a>Wahai, Sang Juwita...<br /></div>kau memang patut kupuja<br />pantas pula kusanjung mesra<br /><br />sebab kecantikan itu<br />terpasung ayu<br />di lekuk wajahmu<br /><br />Wahai, Sang Juwita...<br />banyak mata memandangmu<br />bukan hanya aku<br /><br />terbelenggu pesonamu<br />terjerat keindahan senyummu<br /><br />Tapi duh!<br />pesonamu<br />keindahan senyummu<br />dan bahkan tubuh molekmu<br /><br />kini<br />bagai mawar berduri<br />menusuk hati<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Lapa Laok, 21 Juli 2005</span>-Filantropy-http://www.blogger.com/profile/16607836676548676474noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-4964149376457587432.post-83102962446435064242007-10-24T04:29:00.000+02:002007-10-24T04:59:00.841+02:00Sebatas Mimpi<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhkNVMgX3R0nHuQRibroEj__mtZdatKxyFNj7oBhRNvDZj9dFs7acitQsq9F8vhnoFU7Vx7WFbmuzE4wzmxCgAMb6tHvPuBjzANYV2HTsJElWbZKEC2RlKeF3sFGRei-0mlrswaZZlpOME/s1600-h/Mimpi+Malam.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhkNVMgX3R0nHuQRibroEj__mtZdatKxyFNj7oBhRNvDZj9dFs7acitQsq9F8vhnoFU7Vx7WFbmuzE4wzmxCgAMb6tHvPuBjzANYV2HTsJElWbZKEC2RlKeF3sFGRei-0mlrswaZZlpOME/s200/Mimpi+Malam.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5124728695540590082" border="0" /></a>“Pak Onk..,” tiba-tiba suara panggilan menggertakku. Nyaring. Dan aku terkejut.<br /><div style="text-align: justify;"><br />“Mau kemana? Di luar udaranya dingin lho!” Lanjutnya penuh perhatian. <br /><br />Aku mengangkat bahu. “Eh, kamu Ghi’. Tak kirain Jin Ifrid.” Jawabku datar. “Lum tidur tah!” Dan kulanjutkan, “katanya kalau punya selimut tebal akan jadi raja tidur. Buktinya, hayyo… Rupanya mulai berani berbohong nih!” Sambungku. Dan yang ditunjuk hanya senyam-senyum.<br /><br />“Hmmm... Tadinya juga gitu sih! Tapi kalau dipikir-pikir gak enak terus-menerus di atas kasur. Pegal juga tahu!!!” Imbuhnya.<br /><br />“O, Gitu toh! Ya udah, aku pergi dulu.” Tanpa menunggu jawaban, aku langsung meloncat ke daun pintu. Kemudian aku pamitan, ”daaah... Jid Ifrid!!!” Sepintas kulirik raut mukanya, ada guratan merah di sana. <span style="font-style: italic;">Jangan-jangan dia marah</span>. Pikirku kecut. Tapi… Sungging senyum itu seketika nampak merona di lekuk bibirnya. <span style="font-style: italic;">Ah, dia hanya bercanda</span>. Batinku bahagia.<br /><br />Sahabatku itu memang terkenal sangat unik, mungkin juga terbilang lucu. Disatu sisi kerjaannya selalu mengganguku. Seringkali aku dibuatnya keki. Tapi dilain sisi dia juga sering membantuku. Masakin buat aku, merapikan kamarku, bahkan tak jarang mencuci baju-baju kotorku. Sebenarnya aku sayang padanya. Tapi kalau boleh jujur, <span style="font-style: italic;">walau itu pahit</span>, aku terkadang merasa kesal atas ulahnya. Kesal bukan berarti benci, hanya sebatas emosi sesaat.<br /><br />Itulah manusia kukira.<br /><br /><div style="text-align: center;">@@@<br /></div><br /><br />Tiba di luar rumah kupakai jaket. Kuambil sebatang rokok Mesir, <span style="font-style: italic;">Cleopatra</span> namanya. Kubakar dan kuhisap dalam-dalam. Buus... Asap rokok itu menggumpal dan lenyap ditelan pekat.<br /><br />Tak salah Ghi’ bilang; udara di luar sangat dingin. Lihatlah, jaket yang kupakai masih tidak mempan. Dinginnya masih merasuk ke sekujur tubuhku. Memperkosa kehangatan jaketku. Menjilat gumpalan asap rokokku. Kakiku melangkah gemetar. Entah, berapa derajat <span style="font-style: italic;">celcius</span> keadaan kota Kairo saat ini.<br /><br />Kupaksakan kaki kuayun terus ke depan, sambil kupandangi bintang-gemintang yang sinarnya redup-terang, sesekali tertutup gumpalan awan. Dan entah kenapa, tiba-tiba seperti ada bunyi mengiang di gendang telingaku. Aku tidak bisa menguraikan bunyi itu, yang jelas keras sekali. Bunyi itu membuyarkan gumamku. Aku terkejut.<br /><br />Mobil warna merah muda tiba-tiba berada di depan mataku. Aku diam mematung, tidak tahu menahu. Seluruh badanku gemetar. Waktu itu aku takut, karena aku mengira mobil di depanku adalah malaikat maut yang hendak merenggut nyawaku. Atau bisa jadi, aku malah tertegun lantaran seorang gadis tersenyum manis dalam mobil itu. Entahlah...<br /><br />Aku tidak tahu! Hanya terdiam seperti batu.<br /><br />Dan tiba-tiba, “<span style="font-style: italic;">hi... Guy!</span>” Gadis itu seperti sedang memanggilku. Aku tertegun. Dan kemudian aku diam lagi. Tidak kujawab panggilannya. Aku masih bisu. Seperti batu.<br /><br />“Kenapa gadis ini memanggilku. Marahkah ia padaku,” pikirku dalam hati. Embun menetes jatuh berderai. Kekawatiran datang menjamah pikiranku, menghantui perasaanku. “Barangkali karena aku berjalan di tengah, sehingga menghalanginya,” pikiranku tak tenang. Aku pun segera ke pinggir, dan meneruskan perjalananku tanpa menoleh ke belakang.<br /><br />Tapi, gadis itu malah membuntutiku dari arah belakang. Aku semakin heran, “kenapa ia masih mengikutiku. Marahkah ia padaku,” pikirku sekali lagi. <span style="font-style: italic;">Ah, tidak mungkin</span>. Mungkin kebetulan saja ia hendak melewati jalan ini. Tapi... Mobil itu semakin mendekat, dan tiba-tiba berhenti di depanku. Pas di dekat kakiku. Kedua mataku terbelalak, ada perasaan aneh menyergap. Aku hanya bisa diam, berdiri mematung, dan kepalaku tertunduk menatap isi bumi yang seakan menertawai kegugupanku. Mulut tertutup rapat. Muka tertunduk kaku. Aku tidak berani menyapa dirinya, apalagi sampai menegurnya.<br /><br />Entahlah, hanya bisu menelan ragu.<br /><br /><div style="text-align: center;">@@@<br /></div> <br />“<span style="font-style: italic;">Hi Guy...</span>” Gadis itu kembali mengeluarkan suaranya. Seperti memanggil diriku untuk yang kedua kalinya. Kurasa panggilan itu memang sengaja ditujukan untukku. Pikirku akhirnya. Tapi panggilan itu asing bagiku. Sebelum-sebelumnya tidak seorang pun memanggilku dengan sebutan itu. Baru kali ini. Dan aku masih ragu.<br /><br />Pelan-pelan kuangkat juga wajahku. Terasa berat dan kaku. Kemudian kulirik rupa gadis itu. Elok. Ayu. Dan tentu saja sangat cantik. Luar biasa! Degub jantungku berdetak kagum. Dan keringat itu..., mengucur deras di sekujur tubuhku. Aneh, musim dingin berkeringat.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Barangkali sesuatu yang aneh akan terjadi</span>. Batinku.<br /><br />Semerbak harum nan wangi menebar di sekelilingku. Aku menikmatinya dengan mata terpejam. “Nikmat sekali!” Dan sambil aku bergumam, “harum darimana ini?” Tidak sanggup aku menguraikan rasa itu, tiba-tiba sebuah kecupan mendarat di bibirku. Aku terkejut. Tersentak. Kubuka jendela mata. <span style="font-style: italic;">Hah! </span><br /><br />Gadis yang tadi menunggangi mobil telah berdiri di depanku. Menunggangiku kini. Hembusan nafasnya tersengal-sengal. Kristal bening jatuh membasahi keningnya yang putih. <span style="font-style: italic;">Antara percaya dan tidak</span>. Gadis itu pertama kali menyentuh, mencium, mengecup, bahkan melumat habis kedua bibirku dengan mesra. Dan sekali ia bertingkah nakal dan liar, kubiarkan begitu saja. Sebab kupikir ini jarang terjadi. Maka kunikmati sepuas hati.<br /><br />Suara malam mendesah pelan. Dingin mengendap. Hangat merayap.<br /><br /><div style="text-align: center;">@@@<br /></div><br />“<span style="font-style: italic;">Ohhh</span>, Akhirnya..., tuntas sudah dingin di tubuhku. Si Gadis bertubuh gemulai itu membalut hangat ujung tombakku,” desahku meniru bahasa malam.<br /><br />Dan seketika, terdengar teriakan melengking di gendang telingaku. "Pak Onkkk... Bangunnnn... Hari sudah pagiii... Berhenti ngigaunyaaa..." Teriakan sahabatku melilit panjang. Aku terkejut.<br /><br />“<span style="font-style: italic;">Astaghfirullah</span>, Ghi’! Kamu bangunin aku, apa sedang sekarat sih!” Jawabku agak terperanjat. “Lagian siapa yang ngigau,” lanjutku mencibir. <br /><br />"Yee...” Eh, dia malah balas mencibirku. “Kalau Pak Onk tidur mana bisa nyadar. Apalagi tidurnya mimpi gadis cantik. Gimana sih, enak gak teriakanku?" Jahilnya, kemudian berlalu dari kamarku.<br /><br />"Dasar kamu ya..." Makiku sembari melempar bantal guling. Tapi sayang, Ghi’ keburu menutup daun pintu.<br /><br />Kini tinggal aku sendirian dalam kamar.<br />Masih segar dalam ingatan, Ghi’ tadi bilang aku bermimpi. Sejenak aku merasa ragu, ada perasaan heran yang mengusik pikiranku, “benarkah semalam aku bermimpi?” Tanyaku dalam bimbang. <span style="font-style: italic;">Ah, tidak mungkin!</span> Kubuang jauh-jauh perasaan was-was itu. Sebab kutakingin kejadian itu hanyalah bunga malam.<br /><br />“Tidakkk...!!! Aku benar-benar merasakan kenikmatannya. Itu adalah hadiah nyata dari Tuhan, bukan kado dari syetan.” Teriakku memastikan sebuah jawaban. Sayang, teriakanku didengar oleh Ghi’. Ternyata sejak tadi dia hanya mengumpat di depan pintu. Lalu dia masuk. Dan berkata;<br /><br />“Kok teriak-teriak sendirian, Pak Onk! Meniru gayaku, atau sedang memastikan sebuah adegan mesra dengannn..., siapa tuh?” Mulai dia berbasi-basi. Pasti dia akan mempermainkan aku lagi.<br /><br />“Eh, ngapain lagi kamu ke sini, Anjinggg…!!!” Sergahku sekedar menghapus kecurigaan.<br /><br />“<span style="font-style: italic;">Loh</span>, Pak Onk kok marah piye toh! Apa karena mimpinya udahan. Mau ditambah lagi? Hihihihi...” Dia ngeledekin aku. Membuatku semakin keki. <span style="font-style: italic;">Dasar nih anak! </span>Umpatku kesal.<br /><br />Aku garuk-garuk kepala yang tak gatal. Kemudian aku mengangkat bahu. Kenapa pula si Ghi’ masih membahas tentang mimpi. Aku mereka-reka. Jangan-jangan, memang benar kejadian yang kualami tadi malam. Tapi kok dia bisa tahu! Masih gamang. Pikiranku mulai berkecamuk.<br /><br />“Pak Onk gak usah pusing-pusing memikirkan kejadian itu lagi. Entar malah jadi gila lho! <span style="font-style: italic;">Kekekek...</span>” Sindirnya. Sekali lagi, suara itu persis seperti nenek lampir menyergahku.<br /><br />“Maksud kamu?” Aku menimpalinya kebingungan. “Ghi’, kamu ngerjain aku ya?” Sambungku lemas. Tak berdaya sudah. Keningku berkerut. Kernyit alisku membentuk geometri.<br /><br />“Hehehe... Pak Onk bingung niyyeeeee... <span style="font-style: italic;">Kaciaaan</span>. Aku tidak ngerjain, Pak Onk. Mimpi kali yang ngerjain, Pak Onk! Hehehe...” Jawabnya sambil cengengesan. Kemudian dia melanjutkan kata-katanya, “eh, sekalian aku minta maaf, <span style="font-style: italic;">dinks</span>. Mungkin karena teriakanku mimpi Pak Onk jadi berkesudahan. Sorry ya...” Setelah berkata demekian dia beranjak dari kamarku. Dan lihatlah, sebelum daun pintu ditutup lidahnya masih saja sempat mencibir ke arahku. Dasar wong edan...<br /><br />Sekarang aku tidak memperdulikannya lagi. Apakah sudah pergi, atau masih mengumpat dan sembunyi di balik pintu. Sesuatu yang aku bingungkan sudah terjawab kini; sebuah adegan yang membuatku berlabuh di lautan asmara, nyatanya hanyalah sebatas mimpi belaka.<br /><br />“Jancokkkkk...” Umpatku melepas kekesalan.<br /><br />Mentari menertawaiku bersama kawanan burung camar.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Rabea El-Adawea, 13 Juni 2007<br /></span>"<span style="font-style: italic; color: rgb(255, 0, 0);">Mimpi. Barangkali segala yang terealisasi berasal dari mimpi.</span>"<span style="font-weight: bold;"><br /></span></div>-Filantropy-http://www.blogger.com/profile/16607836676548676474noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-4964149376457587432.post-8142510261018938492007-10-21T23:58:00.000+02:002007-10-22T00:28:41.511+02:00Malam Itu...<div style="text-align: justify;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjgN2po1jJrjbj-H5-noFezE7DDpsnH_FwuxJC4kGIh_X_-3UmlebwZjZPQ-UXmWcqqNdXtCcj2uBqBWax3xkTmJEpYXJhsvTkZiNifMYzkeE5bvtNgzVI4sfjJT5xeExHzHZ7WJ1zi5nc/s1600-h/bio_1024.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjgN2po1jJrjbj-H5-noFezE7DDpsnH_FwuxJC4kGIh_X_-3UmlebwZjZPQ-UXmWcqqNdXtCcj2uBqBWax3xkTmJEpYXJhsvTkZiNifMYzkeE5bvtNgzVI4sfjJT5xeExHzHZ7WJ1zi5nc/s200/bio_1024.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5123920305386071538" border="0" /></a>Nek,<br /></div>ingin kuajak semua malaikat berdansa ria<br />malam itu<br />biar ia lupa mengintrogasi nenek<br />di alam kubur<br />sebab aku takut nenek dipukul<br /><br />sekarang tenanglah, Nek!<br /><br />aku tidak akan membiarkan tubuh nenek terluka<br />pasti kuajak semua malaikat berdansa ria<br />ya, berdansa ria<br /><br />Nenek tidurlah dengan tenang...<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Rob'ah, 21 Oktober 2007</span><br />"<span style="font-style: italic;">Seuntai doa mengantar kepergian nenek tercinta; <span style="font-weight: bold; color: rgb(51, 102, 255);">Adhawiyah binti Hasbullah</span>.</span>"-Filantropy-http://www.blogger.com/profile/16607836676548676474noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-4964149376457587432.post-76306277284484847072007-10-21T16:02:00.000+02:002007-10-21T17:35:31.002+02:00Suatu Malam di Tepi Pantai<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjUqGBbhuArimYzIGSGj28o_1Mm2BGYj2KasEeizaZ8tnwpC6cJm91etoG8jC1uTOv_mKlO1_jrRr01IEP2JHYSl65EZ8Zd53qImYjBnU6sWiDmP97qfOXHOY8k05agX8tr4V0QyonEuQc/s1600-h/moonlight01.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjUqGBbhuArimYzIGSGj28o_1Mm2BGYj2KasEeizaZ8tnwpC6cJm91etoG8jC1uTOv_mKlO1_jrRr01IEP2JHYSl65EZ8Zd53qImYjBnU6sWiDmP97qfOXHOY8k05agX8tr4V0QyonEuQc/s200/moonlight01.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5123792878001366498" border="0" /></a>Aku melihat empat anak kecil duduk di tepi pantai. Tiga laki-laki, dan satu perempuan. Ketika kudekati mereka terperanjat dan terkejut. Wajahnya berkerut dan kusut. Kulitnya hitam. Rambutnya merah keriting. Hidungnya mancung. Dan badannya kurus kerempeng. Sepertinya, mereka kurang mendapat perawatan yang cukup.<br /><div style="text-align: justify;"><br />“<span style="font-style: italic;">Duh</span>, siapa dan di mana orang tua mereka,” batinku.<br /><br />Kusapa. Dan kusalami anak-anak kecil itu. Mereka membalasnya, lemas. Kemudian kutanya satu-persatu. Mulai dari nama, orang tua, dan tempat tinggal. Mereka menimpali semua pertanyaanku dengan suara serak. Kelopak matanya sembab. Tangan kecilnya seraya menggosok-gosok kedua matanya yang sembab air mata. Tangis pecah. Mengharukan.<br /><br />Sepertinya, angin pun enggan berbisik lirih.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Ah</span>, kelopak mataku sembab pula. Setetes, dua tetes, tiga tetes, sampai empat tetes jatuh berangsur-angsur. Kuambil kertas tisu sebanyak lima lembar. Kusodorkan pada mereka satu-persatu. Tapi, mereka enggan menerimanya. Salah satu dari mereka bertanya, “buat apa kertas putih ini?”<br /><br />Sambil tersenyum, kujawab pertanyaannya yang polos itu. “Simpanlah kertas ini sebagai kenang-kenangan.” Seketika wajah mereka sumringah, dan senyumnya mengambang.<br /><br /><div style="text-align: center;">-$$$-<br /></div><br />Mereka bukan hanya menderita, lebih menyedihkan lagi mereka mengarungi hidup di tepi pantai. Tanpa orang tua, tanpa sanak keluarga. Pagi dan siang mereka mencari rumah-rumah tak berpenghuni yang rusak dan kotor untuk ditempati sebagai persinggahan. Jika menjelang sore, dan sampai larut malam mereka berada di tepi pantai. Katanya, menunggu rejeki Tuhan dari tangan-tangan manusia yang sedang berwisata.<br /><br />Mereka makan dan minum sesuai rejeki yang diperoleh. Terkadang tidak sama sekali. Raib. Kosong. <span style="font-style: italic;">Waduh!</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Wah</span>, rupanya kelopak mataku sembab pula. Mendung bergelayut di atas kepalaku. Kristal bening itu luruh. Kaos dan tas yang kukenakan basah. Anak-anak kecil yang duduk di dekatku terkejut melihat air mataku berair. Dahi mereka berkerut. Sepertinya mereka hendak bertanya, “kenapa Tuan menangis?” Tapi, pertanyaan itu tidak terucap. Bungkam. Yang kudengar hanya bisik-bisik lirih. Entah, apa yang mereka bisikkan. Aku tak tahu!<br /><br />Suasana hening seketika. Tidak kudengar lagi bisik-bisik dari mereka. Sepi sejenak. Dan isak tangisku pun mulai reda. “Aku cengeng,” gerutuku.<br /><br />Kuhapus sisa-sisa butir air mata dengan kertas tisu. Lalu kulempar kertas tisu itu ke dasar laut. Hanyut ditelan ombak. Anak-anak kecil itu menyimak ulahku. Tanpa berkedip. Lalu secara bersamaan mereka pun meniru apa yang barusan aku lakukan itu. Mereka juga menghapus kelopak matanya yang sembab. Dan ketika selesai, mereka tidak melemparnya ke laut.<br /><br />“Kenapa?” Tanyaku heran.<br /><br />“Karena kertas ini adalah kenang-kenangan yang telah Tuan berikan pada kami,” serantak suara mereka bersamaan. Dan kertas tisu itu dimasukkan dalam sakunya masing-masing.<br /><br />Hatiku berdetak kagum.<br /><br />Tubuh mereka memang kecil dan kurus kerempeng. Tetapi mereka mempunyai jiwa besar. Aku merasa malu dan tersindir oleh kata-katanya. Tubuhku yang besar, nyatanya sangat lemah dan gampang menyerah, gampang lupa terhadap tanggungjawab. Sementara mereka, anak-anak kecil <span style="font-style: italic;">kere</span>, yang tidak tahu apa-apa mempunyai pendirian yang sangat kuat. Dan tegar.<br /><br />Sepertinya, angin pun enggan berbisik lirih.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Ah</span>, kelopak mataku sembab lagi. Setetes, dua tetes, tiga tetes, sampai empat tetes jatuh berangsur-angsur. Kugunakan kedua tangan untuk menggosoknya. Persis seperti yang dilakukan anak-anak kecil tadi. Barangkali, aku meniru gaya mereka. Entahlah.<br /><br />Setelah itu aku melanjutkan sisa obrolanku dengan mereka. Dan selesai...<br /><br />Sebelum aku pergi, kuambil selembar uang. Kuberikan pada yang lebih besar. Wajah mereka tersipu malu. Sungging senyum tipis menggantung di lekuk bibirnya yang kering. Mereka gembira. Kemudian anak-anak kecil itu menyalami dan mencium tanganku, “terimakasih, Tuan! Ternyata rejeki Tuhan datang menyapa kami malam ini. Entah, esok nanti.” Suara mereka terucap pelan, tapi jelas. Dan pasti.<br /><br />Aku pergi. Dan kulihat wajah mereka kegirangan. Saling kejar-kejaran dan lompat-lompatan. Hilang dikerumunan para wisatawan.<br /><br />Aku berjalan gamang. Masih segar dalam ingatanku ucapan anak-anak kecil itu. Sebuah ungkapan yang semestinya keluar dari bibir orang dewasa, tapi anak-anak kecil itu mampu membuatku bengong. Termangu. Tak percaya. Kelopak mataku kian membesar. Heran. Mendengarkan kata-katanya yang sangat bijak itu.<br /><br />Sepotong senyum pun merona menghias malam yang kian temaram.<br /><br /><div style="text-align: center;">-$$$-<br /></div><br />Suasana di tepi pantai semakin malam semakin ramai. Aku terus berjalan menyusuri tepi pantai. Setelah jauh dari keramaian, aku duduk menepi sendirian. Sambil menikmati irama musik mp3, tanganku bermain dengan pasir. Kaki kubiarkan dijilat air laut. Dingin merasuk. Mulutku tiada henti bercanda dengan geliat ombak yang bergemuruh. Kadang seperti penyair, terkadang pula seperti orang sinting.<br /><br />Kusapa alam, laut, samudera, dan ikan-ikan kecil yang menari-nari. Kupandangi langit, awan, bintang, dan rembulan yang berlayar.<br /><br />“Indah...” Gumamku pecah.<br /><br />Angin membelai rambutku. Damai.<br /><br />“Hi...” Tiba-tiba suara perempuan memecahkan keheningan. Aku menoleh ke belakang. Heran!<br /><br />Perasaan masih tidak percaya. Masak iya... Kugosok-gosok kelopak mata memastikan benarkah dia yang datang. Dan ternyata... Benar! Dia yang datang.<br /><br />Seorang perempuan yang kutahu sejak dulu. Dan baru kemarin aku bisa mengenalnya. Sekarang... Entah kehadirannya membingkai cerita apa dalam hatiku. Aku lupa. Tapi, aku bahagia. Sebab, dia telah mengenalku kini.<br /><br />“Entah, darimana dia tahu kalau aku berada di sini.” Hatiku berbisik. Bimbang. Ragu. Bahagia. Ceria. Berbaur dalam otakku.<br /><br />Dia menghapiriku. Dan duduk di sebelahku.<br /><br />Wajah ayu, sorot mata yang teduh, dan sebentuk senyum indah serta lekuk bibir merah, terpancar laksana dewi malam. Aku terpana, tapi bukan karena cinta. Aku kagum. Terpesona. Detak jantungku kian berdegub tak teratur.<br /><br />-<span style="font-style: italic;">Alang-alang rerumputan, bulan rebah di atasnya. Alang-alang rerumputan, angin membawa bau harum rambutnya.</span>-<br /><br />“Indah ya pemandangan di sini,” suaranya mengalun lembut. Memecahkan keheningan. Mengusir kegaduhan.<br /><br />“Iya,” jawabku pelan.<br /><br />“Sendirian aja nih!” Tanyanya. “Pasti cari inspirasi ya...? <span style="font-style: italic;">Wow</span>, memang pekerjaan seorang sastrawan. Menjauh dari keramain, mendekam dalam kesepian. Keren...” Lanjut perempuan itu. Sesungging senyum menggantung di lengkung alis mataku.<br /><br />“Tidak lama, juga tidak sebentar.” Jawabku sedikit terbata-bata. Masih kaku.<br /><br />“Boleh aku temenin?” Dia melontarkan sebuah pertanyaan yang memang kutunggu-tunggu. <span style="font-style: italic;">Kok gak mulai tadi pertanyaan itu kau ucapkan. </span>Hatiku.<br /><br />Dan aku menimpalinya, “oh, silahkan!” Wajahku sumringah, persis seperti anak-anak kecil ketika kuberi selembar uang.<br /><br />Kemudian obrolanaku dengannya mengalir seperti air laut. Indah. Romantis.<br /><br /><div style="text-align: center;">-$$$-<br /></div><br />Langit cerah bertabur bintang dengan gemerlap cahaya sang dewi malam menghias kelam. Gemuruh ombak, kecipak air laut, dan ikan-ikan kecil seolah menjadi teman setia di tepi pantai ini.<br /><br /><span style="font-style: italic;">I’m here without you baby</span> <span style="font-style: italic;">but your still on my lonely mind</span> <span style="font-style: italic;">I think about you baby</span> <span style="font-style: italic;">and I dream about you all the time</span> <span style="font-style: italic;">I’m here without you baby</span> <span style="font-style: italic;">but your still with me in my dreams</span> <span style="font-style: italic;">And tonight it’s only you and me</span><br /><br />Lagu 3 Doors Down mengalun syahdu di telingaku. Aku larut menikmati syair-syairnya.<br /><br />Dan setelah selesai kunikmati lagu itu, tiba-tiba dia pamit pulang. Sebelum pergi dia berkata, “aku pulang dulu yah! Udah malam nih! <span style="font-style: italic;">Sorry</span>, gak bisa lama nemenin kamu di sini.” Aku tersentak.<br /><br />“Oh, iya. Gak apa-apa. Silahkan!” Suaraku gugup. Tidak bersemangat. Sepertinya, aku tidak ingin dia pergi secepat ini. Tapi apalah daya malam semakin larut. Petang.<br /><br />Dan, dia pergi meninggalkan kenangan.<br /><br />Hatiku berbisik melihat kepergiannya, “terimakasih... Engkau telah sudi menemaniku malam ini. Dan esok, aku akan kembali menunggumu di tepi pantai ini.” Mulutku bergetar. Batinku berteriak. Sebab aku masih ingin berdua dengannya. Namun, sepi. Suasana kembali sunyi.<br /><br />Hening seketika.<br /><br />Perempuan itu semakin jauh dariku. Aku melihat kepergiannya ketika bisu menelan ragu. Waktu diam membisu. Lesu merunduk kelam. Di tepi pantai aku tertunduk lesu. Mungkin aku menyesali, mungkin juga menangisi. Atau bisa jadi, aku malah tak ingin jauh darinya. Entahlah...<br /><br />Hanya desau angin yang selalu berbisik lirih; tabahlah.<br /><br /><div style="text-align: center;">-$$$-<br /></div><br />Kini, senyumnya masih merekah di kelopak mataku. Aku terpesona. Aku memujanya. Aku mengaguminya. Tapi bukan untuk menulis keindahannya. Sebab laut pun tidak akan cukup kujadikan kuli tinta.<br /><br />“Biarlah kehadirannya menjadi bingkai cerita indah di pantai,” aku mengakhiri keluh-kesah kala seluet fajar menyingkap tabir malam. Cerah melumat kelam.<br /><br />Pagi datang menjelang. Malam pergi bertandang.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Zues, 25 Juli 2007</span><br />“<span style="font-style: italic; color: rgb(51, 204, 0);">Di Zues kau pergi meninggalkan kenangan.</span>”<br /></div>-Filantropy-http://www.blogger.com/profile/16607836676548676474noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4964149376457587432.post-79296892205021156062007-10-21T03:47:00.003+02:002007-10-21T14:07:28.540+02:00Seperti Seekor Kelelawar<div style="text-align: left;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiAhN6HZT1Fkv51T257T7L9UdsegH5RJcezE9TZ4GShKi4O3xNGpBw5oD3_L8n9wABXNEjkKd5a4QGOiR_SytU-iK1NbjOlTsLZHz_XVxt_cUNG4y1VAUabQqRRx__yKmrLdqaTEOGIvhY/s1600-h/kelelawar.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiAhN6HZT1Fkv51T257T7L9UdsegH5RJcezE9TZ4GShKi4O3xNGpBw5oD3_L8n9wABXNEjkKd5a4QGOiR_SytU-iK1NbjOlTsLZHz_XVxt_cUNG4y1VAUabQqRRx__yKmrLdqaTEOGIvhY/s200/kelelawar.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5123760326444230098" border="0" /></a>Kupotong-potong tubuhku<br />sebagian dari hasilnya<br />hendak kupersembahkan padaMu<br /><br />Maukah...?<br /><br />Tapi terlebih dulu,<br />izinkan aku<br />menghisap setetes saja<br />maduMu<br /><br />Dan, ketika tubuhku sampai di atas<br />terbang<br />mengawang<br />seperti seekor kelelawar<br />bercericit kelaparan<br /><br />"<span style="font-style: italic;">Maafkan Aku yang terlambat untuk sempurna, hingga Kau menjadi marah.</span>"<br /><br />Tuhan...!<br />mungkin dengan begitu<br />aku bisa menapak tilas<br />mengubur jejak dosaku<br />hingga aku<br />tidak lagi merasa malu, dan<br />gugup pada dunia<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Ramadhan Kariem, 20 Sept 2007 04:12 WK</span><br />"<span style="font-style: italic;">Celoteh seekor kelelawar pada anak manusia.</span>"</div>-Filantropy-http://www.blogger.com/profile/16607836676548676474noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4964149376457587432.post-22101174154684074662007-10-20T23:27:00.000+02:002007-10-20T23:37:54.531+02:00Ijazah<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0-DZLmiqlibgV276Yk7SUQz0x4vCwcd6tPdEM4Kj7KVf8GZXmVEKxuo2J5NrA8SKKmvF6BpsR-Ke7ug2dOYPxmQgselJ0lo_Kc586A1Pn4fIvhaL-1oB-w33tVV9JuRYXjl-ki_LDVfY/s1600-h/Ijazah.JPG"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0-DZLmiqlibgV276Yk7SUQz0x4vCwcd6tPdEM4Kj7KVf8GZXmVEKxuo2J5NrA8SKKmvF6BpsR-Ke7ug2dOYPxmQgselJ0lo_Kc586A1Pn4fIvhaL-1oB-w33tVV9JuRYXjl-ki_LDVfY/s200/Ijazah.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5123536008892294594" border="0" /></a>SENIN PAGI. Mentari kembali tersenyum menyapa seluruh isi bumi. Aku bergegas pergi ke sekolah hendak mengambil ijazah. Sabtu kemarin, ijazah milik teman-temanku sudah ada yang diambil. Katanya, nilai mereka ada yang tinggi, ada pula yang rendah. Dan ketika kulihat...<br /><div style="text-align: justify;"><br /><span style="font-style: italic;">Masya Allah!!! </span><br /><br />Semakin aku mengingat nilai ijazah teman-temanku itu, semakin kuat pula rasa penasaranku untuk melihat nilai ijazahku sendiri. Aku menduga-duga, seperti apakah gerangan nilai ijazahku itu. Puaskah nanti aku menerima hasilnya? Atau jangan-jangan, nanti aku malah kecewa. Dalam benaku, berkelebatan sejuta tanda tanya.<br /><br />Seperti biasanya, ketika berangkat ke sekolah aku naik angkutan umum. Sekitar satu jam lebih aku sampai di sebuah persimpangan jalan. Dan di sana aku turun, kemudian berjalan menuju tempat sekolah. Sesampainya di halaman depan sekolah, aku berpapasan dengan kakak senior yang diangkat menjadi guru agama di sekolah ini. Kepadanya aku memberi salam, serta tak lupa mencium tangannya.<br /><br />“<span style="font-style: italic;">Nak, kalau kamu bertemu dengan ulama, kiai, atau seorang guru pun, baik di masjid, di tempat pengajian, di sekolah, dan di mana saja, ciumlah tangan mereka. Jangan lupa ya, Nak! Cium. Karena mencium tangan mereka sama halnya kamu mencium tangan Nabi.</span>” Seperti itulah mendiang Abah menganjurkan dan berpesan padaku. <br /><br />Di halaman depan sekolah, aku diajak ngobrol sebentar. Sebagai muridnya, tentu saja aku mengiyakan. Kemudian, obrolan itupun bermula dari sebuah pertanyaan yang tak pernah kuduga sebelumnya.<br /><br />“Menurut, dik Wafie. Pantas tidak Agama Islam itu diberi stigma sebagai agama teroris?” Seperti itu ia memulai obrolannya.<br /><br />“Hah, masak sih, Mas!” Sedikit aku terperanjat. Pertanyaan yang dilontarkan guru agama menusuk telingaku. Kepalaku panas.<br /><br />“Eh, Adik belum tahu, ya?!” Ia heran melihat ketidaktahuanku mengenai hal itu. Dan aku hanya bisa mengangkat bahu.<br /><br />“Kemarin saya baca sebuah buku. Dan di situ menyatakan, bahwa Agama Islam itu adalah agama teroris. Agama yang ingin merusak, menghancurkan dan memberantas agama lain,” ia menjelaskan sangat antusias. Aku tidak bisa menimpali penjelasannya. Aku masih bingung. Merasa aneh.<br /><br />Sejenak aku berpikir, apakah benar Agama Islam telah menjadi teroris bagi agama lain? Atau jangan-jangan, ini hanya rekayasa pemeluk agama lain untuk menghancurkan reputasi Agama Islam. <span style="font-style: italic;">Ah</span>, tahulah. Aku masih kaku menafsirkan kenyataan itu.<br /><br />Sejurus kemudian, guru agama yang berdiri di dekatku berkata lagi, “<span style="font-style: italic;">Nah</span>, penyebab timbulnya statemen; Agama Islam teroris karena dititikberatkan kepada ulah para pemeluk Agama Islam itu sendiri, Dik. Di buku itu dicontohkah seperti, Imam Samudra, Amrozi, dkk. Konon katanya, Gedung WTC di Amerika runtuh diprakarsai oleh Osama Bin Laden. Lalu kemudian, Osama pun diincar oleh pasukan Amerika, bahkan diumumkan ke seluruh dunia; <span style="font-style: italic;">'Barang siapa yang menemukan Osama, hidup ataupun mati, akan dibayar dengan berjuta-juta dollar!'</span>” Demikian ia menyambung pembicaraannya. Amat serius.<br /><br />Sekali ini, tanpa berpikir panjang aku langsung menimpali ungkapannya. Mungkin ada benarnya juga jika aku marah (entah pada siapa) dan tidak bisa menerima agamaku sendiri (Islam) disebut dan dikutuk sebagai teroris.<br /><br />“Lantas, apakah Mas percaya?” Suaraku pun mengeras. Persis seperti orang membentak. Ia sedikit terperanjat mendengar pertanyaanku itu.<br /><br />Namun kemudian dengan khas senyumannya itu, ia pun kembali menjawabnya dengan cara yang menurutku bijaksana, “percaya atau tidaknya itu <span style="font-style: italic;">kan</span> tergantung bagaimana kita bisa melihat dan menemukan kenyataan yang sebenarnya <span style="font-style: italic;">toh</span>, Dik! Kalau pun ternyata apa yang telah saya baca itu salah, kenapa juga kita harus percaya? Mungkin agama lain hanya ingin menjelek-jelekkan agama kita. Dan kalau pun itu tidak benar, hal inilah yang seharusnya perlu kita lakukan <span style="font-style: italic;">re-interpretasi</span>. Perlu kita pertanyakan kembali. Mengapa saudara-saudara kita berani melakukan tindakan konyol? Atas dasar apa mereka bertindak seperti itu? Bukankah, tindakannya malah akan membuat jelek agamanya sendiri, yaitu Islam.” Jelasnya.<br /><br />“Ya. Ya, aku setuju dengan hal itu. Tetapi apakah kita akan terus berdiam diri, tutup mulut, dan bungkam jika kabar tersebut sudah merajalela? Bukannya hal itu nanti malah akan membuat agama kita sendiri (Islam) yang dijadikan sebagai objek kambing hitam agama mereka; non Islam, maksudku?” Guru agama diam sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaanku. Barangkali, ia sedang berpikir atau mencari jawaban yang pas. Aku tidak tahu.<br /><br />Semenit, dua menit, dan lima menit berlalu.<br /><br />“Dik,” dengan lembut ia memulai ucapannya, “Rasulullah adalah panutan sekaligus suri tauladan yang patut kita contoh. Dulu, ketika beliau menyebarkan Agama Islam tidak hanya gunjingan, ejekan, caci makian dan umpatan yang sering beliau telan. Orang-orang kafir di masanya sering meludahi beliau. Bahkan lemparan batu-batu harus juga beliau rasakan. Tapi apa yang terjadi? Sedikitpun beliau tidak pernah marah, apalagi sampai membenci orang-orang kafir itu. Beliau tetap tersenyum. Dan tidak pernah membalas kejahatan dengan kejahatan pula. Tidak pernah! Sedikitpun, tidak pernah, Dik!!! Beliau justru bersabar dan tabah menghadapi semuanya. Kejahatan dibalas dengan kebaikan, kekerasan dibalas dengan kelembutan, amarah dibalas dengan senyum, dan begitu seterusnya. Itulah sifat Nabi kita, Dik! Lalu, bisakah kita selaku umatnya mencontoh dan meneruskan perjuangan beliau itu?”<br /><br />Pertanyaan itu membentur kepalaku. Sebelum sempat aku berucap, guru agama meneruskan kembali paparannya, “Adik tahu pesan terakhir Nabi?” Ia melontarkan sebuah pertanyaan. Dan aku tidak mengetahuinya.<br /><br />“Tidak!” Jawabku singkat. Garis di keningku berkerut. Sementara di kedua alisku membentuk perahu.<br /><br />Melihatku seperti itu, guru agama memegang pundakku dan berkata, “sebelum meninggal beliau berpesan kepada Sahabat Ali. ‘<span style="font-style: italic;">Ummati... Ummati... Ummati...</span>’ Ya, begitulah, Dik. Nabi kita mengulang-ulang pesan terakhirnya. Tiga kali!”<br /><br />“Lalu, apa hubungannya dengan perkataan Mas tadi?” <span style="font-style: italic;">Dasar bego!!!</span> Kenapa harus pertanyaan itu yang keluar dari mulutku. Bodoh! Goblok! Batinku bertempur dengan sifat keegoisanku. Kesabaranku sepertinya sudah mulai menipis, hingga suasana menjadi tegang seketika.<br /><br />Tapi untunglah, guru agama orangnya sangat bijak, pengertian dan bisa membaca suasana. Ia tidak marah mendengar pertanyaanku yang bodoh itu. Lalu dengan khas senyumnya, guru agama kembali memintaku untuk tenang. Setelah suasana kembali mencair, ia pun bertutur dengan nada yang cukup lembut nan halus.<br /><br />“Dik Wafie... Saya tidak bermaksud menghubung-hubungkan apalagi mencampur-aduk peristiwa di masa Nabi dengan peristiwa yang sering terjadi sekarang ini. Tidak!!! Tapi yang saya inginkan dari perkataan tadi adalah; agar Adik Wafie tahu betapa pentingnya kesabaran itu sendiri. Sabar, bukankah itu titah dari Baginda Nabi.” Sejenak beliau berhenti, menghela nafas tinggi-tinggi.<br /><br />“Adik tidak perlu terlalu pusing memikirkan kejadian-kejadian yang sering menimpa agama kita,” lanjutnya. “Mulai dari label agama teroris sampai kepada Al-Qur’an yang sering disalahartikan. Seandainya seluruh jagat raya berteriak Agama Islam teroris, Al-Qur’an perkataan Muhammad belaka dan sebagainya itu, biarkan saja! Cukuplah dengan sabar Adik menghadapinya. Layaknya Rasulullah ketika menghadapi umatnya. Yang terpenting dari yang paling penting adalah Adik tetap yakin dan percaya bahwa Agama Islam adalah agama <span style="font-style: italic;">rahmatan lil ‘alamin</span>. Dan, Al-Qur’an adalah <span style="font-style: italic;">kalamullah</span> yang hakiki. <span style="font-style: italic;">Nah</span>, dengan bersikap seperti itu sudah cukup. Tidak perlu membalas sebuah kebencian dengan kebencian pula. Itu tidak baik, Dik! Bukankah, Allah akan melihat dan menyaksikan seberapa besar nilai kesabaran kita ketika dihadapkan kepada berbagai macam cobaan di dunia ini. Apakah benar kita umat Muhammad sejati atau malah umat Firaun yang abadi,” panjang lebar ia menjelaskannya padaku.<br /><br />Aku kembali terdiam ketika guru agama menjelaskan pentingnya nilai kesabaran itu. Sungguh aku tidak bisa berucap barang sedikitpun. Laiknya seorang prajurit yang ditegur oleh sang raja. Hanya bisa diam. Tanpa sepatah kata. Tertunduk lemas dan patuh.<br /><br />Di hadapanku, guru agama mengangkat suaranya lagi, “Dik Wafie, kiranya cukup dulu sampai di sini. Sekarang saya hendak mengajar, dan Adik harus belajar. Ok?! Assalamu ‘alaikum,” ia beranjak meninggalkan aku sendiri. Tersenyum ramah.<br /><br />Dalam diam, aku menjawab salamnya, “wa’alaikum salam.” Cara jalannya segagah mendiang Abah. Kata-katanya sebijak mendiang Abah. Sifatnya sesopan mendiang Abah. Semuanya tak ada yang beda. Sama. Aku membatin.<br /><br />Tak terasa, aku dan guru agama berdiri di tempat ini sudah dua jam lebih. Semenjak mentari tersenyum menyapa bumi. Dan kini, sinarnya mulai menyengat ubun kepalaku. Menjamah sekujur tubuhku. Keringat pun mengucur membasahi seragam sekolahku.<br /><br /><div style="text-align: center;">&&&<br /></div><br />Di ruang guru, para murid sedang berebutan menerima ijazahnya. Sepintas kusimak wajah mereka dari jauh. Ada yang tampak ceria, ada pula yang tampak sedih. <span style="font-style: italic;">Barangkali karena sebuah keberhasilan dan kegagalan</span>. Pikirku dalam hati.<br /><br />“Wafie,” bapak guru yang membagi-bagikan ijazah itu menyebut namaku. Oh, mungkin itu ijazahku. Spontan aku tersentak. Perasaanku mendadak gamang. Tanpa larut dalam lamunan, aku pergi menghampirinya. Kuambil ijazah itu. Sebelumnya, seperti biasa, aku mencium tangannya.<br /><br />“<span style="font-style: italic;">Nak, kalau kamu bertemu dengan ulama, kiai, atau seorang guru pun, baik di masjid, di tempat pengajian, di sekolah, dan di mana saja, ciumlah tangan mereka. Jangan lupa ya, Nak! Cium. Karena mencium tangan mereka sama halnya kamu mencium tangan Nabi.</span>” Seperti itulah mendiang Abah menganjurkan dan berpesan padaku. <br /><br />Seperti kali ini, pesan itu pun terngiang kembali di telingaku. Seolah-olah mendiang Abah datang menghampiriku seraya berucap lirih. Lembut dan halus. Selembut permadani. Sehalus sutera.<br /><br />“Abah, lihatlah anakmu sekarang. Akhirnya, setelah 5 tahun duduk di bangku sekolah MAN, anakmu kini berhasil juga mendapatkan ijazah,” kataku menatap langit yang cerah. Dengan senyum gembira.<br /><br />“Berapa nilai ijazahmu, duhai Anakku?” Suara itu datang tiba-tiba, entah dari mana. Aku terkejut mendengarnya. Suara itu cukup jelas. Seperti suara manusia. Kepalaku menoleh ke kanan, ke kiri, ke depan, ke belakang. Tapi, tak ada seorang pun di sana.<br /><br />Benarkah itu suara Abah? Aku bertanya-tanya. Dan seketika... “Berapa nilai ijazahmu, duhai Anakku?” Suara itu terdengar lagi di telingaku. Jelas sekali.<br /><br />“Benarkah itu Abah?!” Gumamku pecah. <span style="font-style: italic;">Ah</span>, tidak mungkin! Aku mencoba memastikan; Abah sudah meninggal. Sangat <span style="font-style: italic;">impossible</span> orang mati bisa bicara lagi dengan orang yang masih hidup? Tidak masuk akal. Tapi suara itu..., pikiran bertempur dengan batinku. Antara iya dan tidak!<br /><br />“Berapa nilai ijazahmu, duhai Anakku?” Lagi, lagi, dan lagi. Suara itu sudah tiga kali terdengar semakin jelas di gendang telingaku. Saat itu juga pikiranku meyakini, bahwa itu suara Abah. Siapa lagi kalau bukan Abah! Batinku.<br /><br />Tanpa berpikir panjang, kubuka bungkus ijazah. Dan kusimak semua nilainya. <span style="font-style: italic;">Astaghfirullah...</span> Mataku terbelalak. Nanar. Kakiku seperti mengambang. Lemas.<br /><br />Lihat! Nilai ijazahku semuanya rata-rata 5,86. Tak lebih dan tak kurang.<br /><br />Tak terasa air mataku menetes, dan mengucur deras. Tangisku tumpah di sudut sekolah. Hatiku menjerit pilu. Dan entah kenapa, tiba-tiba aku menjadi lemas tak bertenaga. Tubuhku terkulai dan roboh tak sadarkan diri.<br /><br />Saat kubuka mata...<br />Ijazah dan sekolahku tak terlihat lagi. Semuanya terasa gelap. Sorot mataku tak dapat menangkap sesuatu apapun. Yang ada hanya si hitam merayap. Ketika aku hendak berteriak, tiba-tiba ada satu titik cahaya menghapiriku. Makin dekat. Dekat. Dan dekat. Kemudian cahaya itu bersuara, persis seperti suara Abah.<br /><br />”<span style="font-style: italic;">Duh, Nak! Bukankah kamu telah diajarkan untuk selalu bersabar dalam menghadapi dan menerima cobaan di dunia ini. Kenapa kamu malah bersedih? Apakah kamu tidak ikhlas menerima hasilnya. Bukankah, itu hasil dari pekerjaanmu sendiri. Nak, sebagai manusia mestinya kamu harus sabar, kuulangi, sabar. Karena dengan bersabar itulah Tuhan akan melihatmu tersenyum bangga. Ya, tersenyum bangga, Nak!</span>”<br /><br />Setelah berkata demikian, cahaya itu pergi meniggalkanku. Makin jauh. Jauh. Dan jauh. Aku mengerjapkan mata. Kristal bening itu luruh. Di kelopak mataku yang kian basah, cahaya itu hilang seketika. Tak berbekas. Hanya pesan itulah yang masih membekas di telingaku.<br /><br />Hingga kini.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Rabea El-Adawea, 17 April 2007</span><br />“<span style="font-style: italic;">Ketika sabar menjadi lelatu dan angin menghempasnya melayang jauh.</span>”<br /></div>-Filantropy-http://www.blogger.com/profile/16607836676548676474noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4964149376457587432.post-40911832860844442202007-10-17T03:04:00.000+02:002007-10-17T23:24:35.222+02:00Air Mata Lazuardi<div style="text-align: left;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjVWpKbCDDlUSOP0zFTtOS5OecipMrzvKp1fHvTxqmW-ANrYUMvqIE4xEvum0lu1xFf6ZBCqDBugCE6oVPFfaImvmCDVat9ass1u25iBDHGGfSbHx_oaUeYWb3ss1ZFwKQsqwOl8mKn2wk/s1600-h/Gibran+Art.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjVWpKbCDDlUSOP0zFTtOS5OecipMrzvKp1fHvTxqmW-ANrYUMvqIE4xEvum0lu1xFf6ZBCqDBugCE6oVPFfaImvmCDVat9ass1u25iBDHGGfSbHx_oaUeYWb3ss1ZFwKQsqwOl8mKn2wk/s200/Gibran+Art.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5122107575784088994" border="0" /></a>Guntur meraung memecah kesunyian malam<br />Halilintar menyambar menyibak tabir kelam<br />Gerimis menetes, dan jatuh pelan-pelan<br /><br />O, malam…<br />Tangan raksasa itu berkelabat<br />Di atas kepalaku<br /><br />Aku terkejut dan takut<br />Aku gelisah dan resah<br /><br />Tapi tiba-tiba, desau angin berbisik mesra;<br /><br />“Tenanglah, wahai sang pujangga. Tangan raksasa itu tak ‘kan menamparmu.<br />Ia tidak jahat, sebab ia bukan penjahat. Ia hanya ingin mencari seekor kutu di rambutmu.”<br /><br />Aku tercengang, keheranan!<br /><br />O, malam…<br />Rupanya, tangan raksasa itu masih berkelebat<br />Di atas kepalaku<br /><br />Hingga kini<br />Aku pun hanya bisa berilusi;<br /><br />“<span style="font-style: italic;">Mungkinkah, di malam itu aku kembali fitri?</span>”<br /><br />Di luar dugaan<br />Derai hujan menganak sungai di halaman depan<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Hay Tasi’, 17 Oktober 2007</span><br />“<span style="font-style: italic;">Kala hujan deras menyiram kota Kairo.</span>”<br /></div>-Filantropy-http://www.blogger.com/profile/16607836676548676474noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-4964149376457587432.post-41863113337344367312007-10-15T15:22:00.000+02:002007-10-15T19:08:50.098+02:00Seorang Hamba Bertanya Pada Tuhannya<div style="text-align: left;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEho4KdXSYkGXBP0n-8RVsl876KUJu6k8ITYaXUpjn2suRpIEJbE4HqTlYJ6eaTV4CnVWGKKNSaC_bmLyirEeJOVNkj5-l53VyOGu4j_92D5TCP_FVS-6GZzb5b8bwFsanxbc3QTnoCFyxI/s1600-h/berdoa1.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEho4KdXSYkGXBP0n-8RVsl876KUJu6k8ITYaXUpjn2suRpIEJbE4HqTlYJ6eaTV4CnVWGKKNSaC_bmLyirEeJOVNkj5-l53VyOGu4j_92D5TCP_FVS-6GZzb5b8bwFsanxbc3QTnoCFyxI/s200/berdoa1.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5121605970848556434" border="0" /></a>Mulai kudengar;<br />langit bertasybih<br />bumi bersyujud<br />mengalunkan puja-puji<br />ke hadirat Sang Ilahi<br /><br />"<span style="font-style: italic;">Marhaban Ya Ramadhan...</span>"<br /><br />Mata tak mampu memandang<br />setumpuk dosa kian terpendam<br />di lubuk yang terdalam<br /><br />Ya, Allah...<br />bulan maghfirahMu<br />kembali<br />bersinar terang di jagat ini<br /><br />Tapi,<br />lihatlah tanganku<br />hampa<br />sejumput saja tak mampu meraih<br />anugerahMu yang suci<br /><br />Kini,<br />hamba bertanya padaMu, Allah!<br />sudikah?<br />menghapus beban bejat<br />di hati ini<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Kairo, 06 Sept 2007</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">--</span><br />"<span style="color: rgb(204, 153, 51);">Minal Aidzin Wal Faidzin.</span><span style="color: rgb(204, 153, 51);"> Mohon Maaf Lahir Batin.</span>"</div>-Filantropy-http://www.blogger.com/profile/16607836676548676474noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4964149376457587432.post-8418774009057534682007-09-29T00:07:00.000+02:002007-09-29T00:14:28.293+02:00Bisikan Semu<div style="text-align: justify;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLRxIEB-sdhUHjakw-792LuSrwRmwA8bunIBvlV-veW-dC7IYejMWZHuYyuhRWu7oaLRMgrjVQpnJRr51ja_-cBH4sYgEmtHfl3Y7Qom7KohdONquvU10l8hUzy1BGZe73gLmjZE7QiAE/s1600-h/digitalfantasyart01.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLRxIEB-sdhUHjakw-792LuSrwRmwA8bunIBvlV-veW-dC7IYejMWZHuYyuhRWu7oaLRMgrjVQpnJRr51ja_-cBH4sYgEmtHfl3Y7Qom7KohdONquvU10l8hUzy1BGZe73gLmjZE7QiAE/s200/digitalfantasyart01.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5115381210321954130" border="0" /></a>Kudengar…<br /></div>Mereka berceloteh<br />Ini sampai itu<br /><br />Tapi...<br />Aku mendengarnya tuli<br />Sebab, telingaku sudah terkunci<br /><br />Ah, ternyata...<br />Di dinding jendela luar, kumelihat rembulan berlayar<br />Mengikuti jejak langkah para petualang<br /><br />Duh, bisakah aku?<br />Meninabobokkan sang dewi malam<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Menepuh Batas Kairo, 29 Juli 2007</span> <span style="font-weight: bold;">22:30 WK</span>-Filantropy-http://www.blogger.com/profile/16607836676548676474noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-4964149376457587432.post-26603316692171998922007-09-28T23:08:00.000+02:002007-09-30T01:11:45.035+02:00Rembulan di Langit Kairo<div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiCI14FTUJt1xDa2ZkFhAvTqiTxfWjihTi3b7KW5-qzs53-dJG05qmvvqr2YeJMxe2qocR5guBQuTc71JIMFCXJfG3_57beQjf8J_0fUrsp9xSVFgePqtKzQlglo6KRW9HrZ6mXCZicrjY/s1600-h/small_hush_nf.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5115365705490015554" style="FLOAT: left; MARGIN: 0pt 10px 10px 0pt; CURSOR: pointer" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiCI14FTUJt1xDa2ZkFhAvTqiTxfWjihTi3b7KW5-qzs53-dJG05qmvvqr2YeJMxe2qocR5guBQuTc71JIMFCXJfG3_57beQjf8J_0fUrsp9xSVFgePqtKzQlglo6KRW9HrZ6mXCZicrjY/s200/small_hush_nf.jpg" border="0" /></a><span lang="IN">Wajah pasi Nayla menebar di seluruh ruang imajinasiku. Entah sedang apa Nayla saat ini. Merintih sakit? Dibujuk makan bubur putih? Ataukah sedang memikirkanku juga? Tidak Nayla. Maafkan aku. Jika dulu-dulu aku sering merasa ingin selalu ada dalam pikiranmu. Tapi tidak untuk saat kau sakit sekarang. Aku ingin kau lebih banyak bermunajat. Tid</span><span lang="IN">ak rewel saat minum obat. Banyak melafalkan dzikir sebagai obat supaya sakitmu lekas sembuh. Kau harus tahu Nayla, sekarang Aku lebih rajin menghafal Al-Quran supaya lekas <i>khatam</i>, supaya bisa menemuimu dan diberkahi oleh-Nya.<?xml:namespace prefix = o /><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Aku menyadari kebodohanku. Aku salah satu dari daftar ikhwan egois yang hanya memikirkan kepentingan pribadi tanpa mau memikirkan orang lain. Baru saat kekasih sakit aku menyadari kekeliruanku. Nayla mengharamkan bertemu lagi denganku. Padahal ia sedang sakit parah. Aku ingin memberikan kekuatan padanya. Ia mengajukan satu syarat; mau bertemu denganku setelah aku fasih dan hafal al-Quran 30 juz. Untuk menebus kesalahanku pada Nayla, aku habiskan waktuku dengan mempelajari dan menekuni ayat-ayat Allah. <o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Suatu hari aku pernah bercerita pada Nayla bahwa nilai hafalan Al-Quranku sangat rendah. Aku lebih asyik diskusi soal artis cantik dan gadis-gadis Mesir yang bertelanjang. Lebih asyik bercerita pemain-pemain sepak bola dunia. Syekh Qordawi sering menegurku. Nayla pun tak luput mengultimatumku. Semula aku benci dengan persyaratan yang diajukan oleh kekasihku, Nayla. Ia sebagai akhwat terlalu mengaturku. Harusnya sebaliknya, aku sebagai ikhwan yang lebih layak mengaturnya? Tapi, keadaan berubah. Sebulan kemudian Nayla jatuh sakit. Aku tersiksa dan tertekan. Menjadi Ikhwan tak berguna. <o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Usai shalat Ashar aku harus ke Husein, di tempat Masjid Al-Azhar untuk <i>talaqqi</i> Qur’an kepada Syekh Qordhawi. Tidak boleh terlambat. Harus sampai di sana tepat Pukul 04:00 waktu Kairo. Kusiapkan mushaf kecil, buku catatan, pensil, serta novel kesayanganku, karya Naguib Mahfouz (<i>Lorong Midaq</i>) ke dalam tas. Satu yang tidak kuikutsertakan ke dalamnya, yaitu; <i>Ponsel</i>. Benda itu kumasukkan ke saku celana supaya aman. Di negeri ini banyak pencopet yang berkeliaran. Di bis, di pasar, di terminal, dan di tempat ramai lainnya. Kubiasakan berdoa sebelum meninggalkan rumah agar perjalananku mendapat perlindungan dari-Nya. <o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Syekh Qordhawi sudah menungguku sejak tadi. Aku terlambat 30 menit. Perempatan Rob’ah macet total. Bis yang kunaiki terhambat di tengah jalan. Para sopir saling memaki. Suara mereka dan bunyi klakson <span style="font-size:0;">sangat bising</span>. Lantunan ayat-ayat suci Al-Quran dari MP3 yang kubawa cukup bisa mengusir kegaduhan itu. Hafalanku pun jadi lebih fasih.<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Sesampainya di sana, seperti biasa, sebelum memulai <i>talaqqi</i>, Syekh Qordhawi menanyakan tentang kesiapanku. Beliau akan memulai bila hafalanku benar-benar di luar kepala. Hatiku sempat membatin, Syekh Qordhawi tak ubahnya seperti Nayla. Hafalanku tidak boleh tersendat-sendat. Tidak boleh putus-putus. Harus lancar dan sesuai dengan tata cara pembacaan Al-Qur’an yang benar. Begitu aku bilang siap, beliau memberiku isyarat dan memulai dengan membaca <i>Basmallah</i>. </span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Aku sukses mempraktekkan hafalan Qur’an sebanyak 3 Juz. Aku merasa lega dan Syekh Qordhawi juga tersenyum bangga padaku. Tinggal 27 Juz harus kuhafal sekaligus kuamalkan. Aku pamitan pada beliau. Pulang menuju rumah di Hay ‘Asyir. Kuperkirakan, waktu Maghrib aku sampai di Bawwabah. Sesampainya di sana nanti, aku tidak akan langsung menuju rumah melainkan mampir dulu di Masjid As-Salam. Di sana aku bisa shalat Maghrib sekalian melanjutkan hafalan Al-Qur’an. <o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Pesona rembulan tampak di langit Kairo. Kemilau sinarnya putih membiasi awan. Kerlap-kerlip sang bintang berpijar seperti kunang-kunang. "Indah..." Gumamku ketika muka tengadah ke atas. Namun keindahan itu tak lama tertindih oleh wajah Nayla yang sedang terbaring pasi di tempatnya. Aku ingin sekali ke sana menjenguknya. Tapi syarat yang diajukan Nayla belum bisa kupenuhi. Aku baru hafal 3 juz. Sedangkan yang diinginkan Nayla 30 Juz. Satu hal yang membuatku terlecut saat Nayla bilang; “sampai mati pun jika kau belum hafal Al-Quran 30 juz, maka aku tak akan mengijinkan dirimu menemuiku.” Bukan sekedar gertak. Hal itu harus menjadi komitmen antara aku dan dia. <o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Di bus, di kereta, di tikungan jalan, di perempatan jalan, di mana-mana mulutku tiada henti melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an. Tak terasa aku sampai di depan pintu rumah tepat jam 19:20 malam. Kupuaskan diri memandang wajah sang rembulan sebelum memasuki rumah. Bias sinarnya menyejukkan palung hati. Sementara udara malam membelai tubuhku dengan mesra. "Nikmat sekali..." Gumamku lagi.<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Cukup lama aku mematung, tiba-tiba nada pesan ponselku berbunyi di saku celana. Kuambil, kemudian kubuka sms yang masuk, dan kubaca. Tidak sampai selesai pesan itu kubaca, aku spontan berlari masuk rumah. Di atas, kuambil jaket dan sedikit sisa uang bayar sewa rumah.<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">“Saiful, mau kemana lagi. Baru saja masuk, dah mau <i>ngeloyor</i> lagi?” Romli menyembul dari kamar dengan raut muka keheranan melihatku yang hendak menutup pintu. Dan, ia segara datang menghampiriku.<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">“Ehm, kamu Rom. Gak ada apa-apa kok! Hanya ingin keluar saja.” Sahutku.<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">“Oh, tak biasanya kamu begitu?” Jawabnya selidik. <o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Aku tak mempedulikannya.<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">“Udah makan belum? Kalau belum, makan dulu sana. Udah aku sisain tuh!” Jemarinya menunjuk meja makan.<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">“Makasih, Rom. Aku masih kenyang nih! Berangkat dulu ya...” Aku bergegas pergi. Setengah berlari. Tanpa menunggu jawaban darinya, aku menuruni tangga. <o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN"><span style="font-size:0;"></span>“Ful, hati-hati.” Romli berteriak mengingatkanku.<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Cesss...! Perhatian Romli bagai tetesan embun malam. Romli satu-satunya temanku yang baik hati. Kebetulan kami sama-sama berasal dari Sumenep, Madura. Perhatian Romli membuatku merasa bersalah telah membohongi dirinya. Menyembunyikan sesuatu yang semestinya aku ceritakan. Apalagi aku hidup serumah dengannya. Sebagai seorang sahabat yang baik tidak seharusnya aku menutup-nutupi penyakit yang menimpa kekasihku, Nayla. Inikah makna persahabatan itu? Entahlah, hanya lambaian tangan inilah yang mengisyaratkan rasa terima kasihku yang mendalam. <i>Semoga kebaikannya mendapat balasan yang mulia dari-Nya</i>. Doaku kemudian dalam hati. <o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Jalan setapak kulalui, gang-gang kulewati. Malam ini rembulan bersinar penuh di langit Kairo. Jalan setapak dan gang-gang tampak sepi, tak ada satupun orang berkeliaran. Malam ini tampak lain dari biasanya. Para perampok, penyamun, dan orang-orang berkulit hitam tidak lagi melakukan aksinya. Mungkin mereka larut menikmati indahnya bulan di langit Kairo. Atau mungkin juga mereka ikut berpesta-fora bersama para gelandangan, anak-anak jalanan, serta penduduk sekitar. Menyanyikan lagu dan tari-tarian khas Mesir-an. Ah, ternyata pesona rembulan mampu mengetuk pintu hati manusia. Yang jahat menjadi baik. Yang baik bertambah baik? Hem, <span style="font-size:0;"></span>Indahnya...!<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: center"><span lang="IN">*@*<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Di persimpangan jalan rumah megah itu sudah kelihatan. Sebentar lagi aku akan sampai di rumah Nayla. Kupercepat langkah kaki, hingga berlari. Risaunya pikiran masih mengusik ketentraman yang baru kurasakan. Pesan itu terus memburu jejak kakiku agar cepat sampai di sana. <o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Nayla gadis berdarah Kairo - Indonesia. Ayahnya dari Indonesia dan Ibunya campuran Kairo - Turki. Aku mengenalnya setahun lalu. Waktu itu aku sangat terburu-buru hendak pergi ke kampus. Sesampainya di tikungan jalan, secara tak sengaja aku menabraknya. Aku pun tidak tahu, tiba-tiba saja ia menyembul di depanku. Buah orange yang dibawanya berjatuhan. Ada yang menggelinding ke tengah jalan, dan sebuah mobil hampir saja menggilasnya. Untung aku cekatan. Terlambat satu menit saja barangkali tubuhku yang akan tergilas mobil. </span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Kulihat, ia menangis. Aku panik, sementara harus cepat-cepat sampai di kampus, ia menangis sambil memunguti barangnya yang berjatuhan. Tangisnya kini semakin keras. Rasa bersalah pun membuncah dalam dada. Akhirnya, aku membujuknya supaya idtak menangis. Tapi ia tetap menangis. Buah orange itu kukumpulkan dalam satu plastik berwarna putih. Kuserahkan kepadanya. Eh, tangisnya agak reda. Aku tersenyum.<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">“Maaf,” sapaku kemudian. “Aku Saiful,” kuserahkan kartu namaku. Tak lama, aku langsung bergegas pergi setelah mendapatkan nama dan nomor telepon darinya. Nayla, itulah nama yang tersimpan dalam otakku saat itu. Seminggu kemudian, aku diundang datang makan malam oleh kedua orang tuanya. Aku pun tak menolak ajakan itu. Aku sudah siap misal harus dimarahi karena telah menabrak anak gadisnya. Diluar dugaanku, ternyata Ayah Nayla sangat baik hati. Ia banyak bercerita tentang masa mudanya. </span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Dari situlah terbangun ikatan emosional antara aku dan Ayah Nayla. Ringkas cerita, kedua orang tua Nayla menjodohkan aku dengannya. Nayla pun mengiyakan. Hatiku tambah berbinar karena sejak pertemuan pertama aku tak bisa menghindari makluk sempurna ciptaan Allah itu. Hanya saja untuk segera menikahi Nayla, aku menawarkan supaya aku lulus dulu dari Al-azhar. Mendapat gelar Lc. Dan, ia juga menawarkan agar aku hafal semua ayat-ayat Al-Qur’an dengan <i>fasih</i>. Kesepakatanpun terikat menjadi tali kasih abadi.<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Kini, aku terpaku setelah sampai di halaman depan rumah Nayla. Tanganku nyaris memencet tombol bel, namun kuurungkan. Aku ingat komitmen kami. Hafalan Al-Qur’anku belum genap 30 juz. Sejenak aku mematung di tempat itu. Namun tiba-tiba aku disentakkan oleh suara adzan Isya’ yang berkumandang dengan lembut nan syahdu. Takbir dan tahmid menusuk lubuk hatiku. Sebuah energi menelusup ke jiwaku. Rasa tenang. Damai. Teduh. <span style="font-size:0;"></span>Sinar rembulan menerpa wajahku. Kuurungkan menemui Nayla.<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Dengan langkah cepat aku menuju masjid terdekat. Bergegas menuju <i>Hammam</i> mengambil air wudhu. Jangan sampai ketinggalan berjama’ah. Masjid tampak penuh. Para jema’ah menunggu Imam Masjid. Dari sudut ruangan, Imam Masjid keluar dengan jubah putih dan sorban merah. Jenggot dan rambutnya yang putih menandakan orang tua itu sudah berumur tujuh puluhan tahun. Namun wajahnya masih <span style="font-size:0;"></span>tampak berseri. Serentak para jema’ah berjajar rapat. Membentuk shaf. Salah satu di antaranya ada yang beriqomat. Shalat Isya’ pun dimulai. Aku berada di shaf ketiga. </span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN"><i>Busyet</i>, <i>aku lupa mematikan HP atau sekedar menggetarkan nada deringnya saja. Ah, biarkan saja deh! Tidak mungkin ada yang nelpon</i>. Bisikku. <span style="font-size:0;"></span>Kubiarkan HP dalam saku celana. Kemudian aku bertakbir; Allahu Akbar... Pada raka’at keempat nada panggilan tiba-tiba berbunyi. Aku tersentak, kubiarkan begitu saja.<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Usai shalat, kulihat misscall di HPku. Penelponnya sama dengan yang tadi mengirim sms padaku. Saat itu juga perasaanku kembali kacau. Pikiran terus berkecamuk. <i>Ada apa gerangan malam ini?</i> Tanyaku dalam hati. <i>Kenapa orang itu terus menghubungiku. Jangan-jangan...?</i> Aku bermain dengan pikiranku sendiri. Aku bergegas keluar dari masjid. Kupercepat langkah kaki. Hingga berlari. Orang-orang Mesir melihatku keheranan. Namun tidak kupedulikan keadaan di sekitar. Aku ingin cepat-cepat sampai di rumah Nayla. Perasaanku tiba-tiba berkecamuk. Seperti terjadi sesuatu pada Nayla. Bukankah Nayla sedang sakit parah. Apalagi orang itu sudah beberapa kali mencoba menghubungiku<i>. </i></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN"><i>“Sampai aku mati pun jangan sesekali mengunjungiku jika hafalan Al-Qur’anmu belum tuntas 30 juz!”</i> Suara Nayla kembali terngiang-ngiang ditelingaku. <i>Ya Robb, mengapa suara itu yang harus menghantuiku di saat aku mengkhawatirkan kondisinya?</i> Aku marah. Ya. Marah pada diriku sendiri. <o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Dari seberang jalan aku melihat ambulan berada di depan rumah Nayla. Di sekelilingnya banyak orang-orang Indonesia dengan wajah sedih<span style="font-size:0;">.<i> </i></span>Sepertinya telah terjadi sesuatu di rumah itu. Benarkah Nayla...? <i>Tidak!!!</i> Pekikku dalam hati. <i>Aku ingin bertemu denganmu, melantunkan hafalan Al-Quran 30 Juz itu, lalu meminangmu. Tunggulah aku, Nayla. Jangan secepat itu kau pergi</i>. Rengekku dalam hati. Tak terasa wajahku bersimbah air mata. Mulutku seakan tercekat. </span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Di bawah sinar lampu neon tampak sosok Romli berdiri di depan pintu rumah Nayla. Wajah yang biasanya ceria tampak sekali murung. <i>Apa yang terjadi, Ya Allah? </i>Benarkah Nayla...?!<i> </i>Kupercepat langkah kaki, hingga berlari. Dan sampailah aku di halaman depan rumahnya.<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Romli datang menghampiriku. Rupanya ia melihat kehadiranku. Ia mendekat ke arahku. Kemudian berbisik lirih, “Ful, kamu tenang ya. Dan tabahkan hatimu. Nayla...., Nayla....” Belum selesai bicara dia menangis dan memelukku.<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">“Eh, ada apa ini. Mulai sejak kapan kamu jadi cengeng seperti ini?” Tanyaku dengan nada tinggi. Semua orang yang berada di tempat itu pada menatapku iba. Romli bermaksud menuntunku masuk. Tapi aku menggeleng dan bergeming di tempatku. <o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">“Mas Saiful, Nayla sudah...” Salah satu dari sekian temanku yang ada di situ tiba-tiba menyembul dan bermaksud memberitahuku, tapi suara itu terpotong.<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">“Heiii... Diam kamu!” Bentak Romli pada teman yang hendak memberitahuku. Dia pun tidak berani meneruskan kata-katanya. Dan mundur ketakutan melihat wajah Romli yang naik darah. <o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">“Ful, sahabatku yang terbaik,” kini beralih kepadaku dengan nada suaranya yang pelan dan lembut. “Sabar ya... Nayla..., Nayla..., ia telah berpulang ke Rahmatullah. Tadi selepas adzan Isya’ meninggal dunia. Katanya kamu sudah ditelpon oleh teman dekatnya, tapi <i>gak</i> ada jawaban.” Tangan kekar Romli merengkuh pundakku. “Aku dan semua teman-teman di sini ikut berduka cita atas kepergian kekasihmu, Nayla.” Ungkapnya penuh perhatian. “Ayolah, kita masuk!” Ajaknya kemudian. <o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Namun, aku tetap bertahan di posisiku berdiri. Romli semakin aneh dengan sikapku. “Apa kamu tak ingin melihat Nayla untuk terakhir kalinya?” Romli jengkel rupanya melihat ulahku itu. <o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Aku menggeleng. Tetap bersikukuh di tempatku, bahkan aku berusaha pergi meninggalkan rumah Nayla. Tapi Romli menahan dengan menarik lengan kananku dengan keras.<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">“Apa-apaan kamu ini, Ful? Masa kamu gak ingin <i>takziah</i> jenazah Nayla? Apa kamu sudah edan? Apa kata orang melihatmu datang tanpa mau masuk ke rumah dan ketemu dengan Nayla?” Romli berkata dengan berapi-api. Bola matanya membesar.<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Pikiranku sudah mengembara, entah kemana... Aku seolah tidak sedang berada di depan rumah Nayla. Sungguh, aku ingin sekali duduk di samping jenazah Nayla. Berdoa untuknya saat ini. Tapi aku masih punya janji yang belum terlunasi. Aku benar-benar pergi. Romli geleng-geleng kepala seraya menjejeri langkahku. Dia tak mengerti dengan sikapku. Orang-orang di sekitarku juga terasa aneh menatapku. Romli masih berusaha membujukku supaya aku masuk melihat jenazah Nayla untuk yang terakhir kalinya. <o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Di atas langit bulan cantik menjelma petir, luluh-lantakan batinku, membakar hangus jiwaku. Jika boleh memilih, aku pilih tak percaya dengan apa yang kulihat. Nayla tidak mungkin pergi secepat itu. Dia pasti menungguku, datang dengan hafalan <i>murottal</i> 30 juz. Aku yakin Nayla masih hidup. Aku berbisik pada sahabatku itu, ”Rom, aku akan bertemu dengannya di surga kelak. Percayalah, aku mencintainya seperti aku mencintai Pencipta Rembulan yang sedang pasi tertindih awan itu.” Wajahku tengadah ke langit. Romli mendesah-esah. Nafasnya terasa berat berhembus. Dia membiarkanku pergi setelah menepuk pundak kananku. <o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Baru beberapa langkah aku pergi, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang-orang yang membacakan kalimat-kalimat tauhid. Terkejut, tersentak. Berbaur dalam pikiranku. Dan kalimat itu...<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Kepalaku reflek menoleh ke belakang. Dari dalam rumah Nayla muncul beberapa orang memikul keranda. Di barisan depan orang yang membawa ambulan dan teman-temanku dari Malaysia berada di barisan paling belakang. Romli bergabung dengan mereka. Saat itu juga aku terpengarah, bola mataku terbelalak, nafasku naik turun, dadaku berdegub tak teratur, pikiranku sesak, kedua kakiku kaku. Aku seakan menjadi orang yang tak berguna. Semua kekuatan dalam tubuhku runtuh. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa itu bukan keranda Nayla. Mungkin karena di situ tidak kutemukan kedua orang tua Nayla. Keluarganya pun tidak ada di antaranya. “<i>Ach, itu bukan keranda Nayla</i>.” Yakinku. <o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Aku hendak berpaling dari tempat itu, tetapi si</span><i><span lang="IN"> Nesha</span></i><span lang="IN">,</span><span lang="IN"> teman karib Nayla berjalan ke arahku. Seolah-olah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan padaku. Dan, ternyata benar. Ia berkata kepadaku.<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">“Mas Saiful, sms saya tadi masuk kan? Telponku kenapa tidak diangkat?” Ya Allah... Ternyata Nesha yang mengirim sms dan hendak menelponku. Berarti di dalam keranda itu... Tiba-tiba kekawatiran kembali menyeruak dalam pikiranku. Mengguncang. Mengacaukan. Pusing... Bumi berputar kencang di bawah kakiku.<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Entahlah, biasanya aku tidak berani menyentuh wanita yang bukan muhrimku. Tapi saat ini, tanpa sadar kedua tanganku telah mendekap pundak Nesha. “Ada apa dengan kekasihku, Nesha? Apa yang sedang terjadi padanya? Apa benar dalam keranda itu...” Suaraku tercekat dalam tenggorokan. Aku tak sanggup meneruskan kalimat tersebut. Mukaku tertunduk lemas di hadapan gadis berdarah Banten itu.<span style="font-size:0;"> </span><span style="font-size:0;"></span><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Namun Nesha tak bergeming melihat kondisiku. Malah ia berkata dengan nada marah. “Kenapa tadi kamu tak masuk melihat Nayla? Apa kamu sudah gila, hingga di saat-saat detik seperti kamu tak mau melihatnya lagi? Mana tanggung jawab kamu?” <o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Mendengar ungkapan itu kedua tanganku lepas dari pundaknya. Hatiku perih. Air mata mengalir deras membasahi pipiku. Jiwaku terkoyak. bBatinku tenggelam dalam tangis. Tenggelam dalam bisu. Mataku tak sanggup memandang keranda itu lagi. Aku memalingkan wajahku. Nayla pasti tidak menyukai kehadiranku di sini. <o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Nesha berkata lagi padaku, “Mas Saiful, sebelum meninggal Nayla menitipkan amplop kecil ini padaku.” Ia menyerahkan sebuah amplop kecil yang baru saja dikeluarkan dari saku busana muslimnya. Kemudian ia membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkanku. Itu yang lebih baik untukku. Aku sedang ingin menyendiri. Kupandangi surat kecil itu. Tanganku gemetar. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN"><span style="font-size:0;"></span><i>Aa’, sungguh Nayla merasa menyaksikan bunga-bunga bermekaran di sebuah taman. Pelangi membentang di atasnya. Banyak kupu-kupu berlarian saling berkejaran. Nayla ingin segera berada di sana. Bermain dengan kupu-kupu itu. Nayla lelah berada di tempat yang sangat gersang ini.<br />Aa’, jangan berhenti menghafal dan mengamalkan Al-Qurannya ya... Karena itu adalah kunci kita kelak bertemu di taman yang indah itu. Nayla tunggu Aa’ di sana. Aa’, jangan bersedih. Nanti Nayla malah nangis lagi. Masih ingatkan, ketika kita baru pertama kali bertemu. Bagaimana Nayla menangis sesenggukan di hadapan Aa’ waktu itu. Hihihi... Jadi malu!<br />Pesan terakhir Nayla pada Aa’ adalah perbanyaklah ibadah. Jangan malas-malasan. Karena setiap yang ada akan tiada. Dunia ini tak ada yang kekal abadi. Sekarang, ikhlaskan kepergian Nayla ya... Aa’ harus sabar, tabah, dan banyak berdoa untuk Nayla. Biar Nayla bisa tenang bercanda dengan kupu-kupu di taman itu.</i> </span></p><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN"><i>Salam Purnama...</i><br />Ttd: Kekasihmu, <b>Nayla</b>.<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN">Mukaku tengadah ke langit. Bulan pucat terkurung awan. Nayla seolah berpuisi di antara lekukannya. Menabur senyum kearahku. Kupahatkan janji padanya; <i>Aku pasti menjumpaimu, duhai kekasihku. Dengan 30 juz bunga kehidupan. Aku akan memetiknya untuk Nayla. Dan, Yang Menguasai langit Kairo semoga memberiku secawan cinta-Nya.</i></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 0.5in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><br /><span lang="IN"><i><o:p></o:p></i></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><b><span lang="IN"><o:p></o:p></span></b></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><b><span lang="IN">Rabea El-Adawea, 04 Maret 2007</span></b><span lang="IN"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN"><o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><b><i><u><span lang="IN">Keterangan:</span></u></i></b><u><span lang="IN"><o:p></o:p></span></u></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 39pt; TEXT-INDENT: -0.25in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN" style="font-family:Symbol;"><span style="font-size:0;">·</span></span><i><span lang="IN">Talaqqi </span></i><span lang="IN">: Memperaktekkan hafalan Al-Qur’an.<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 39pt; TEXT-INDENT: -0.25in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN" style="font-family:Symbol;"><span style="font-size:0;">·</span></span><i><span lang="IN">Husein</span></i><span lang="IN"><span style="font-size:0;"> </span>: Adalah pusat perbelanjaan orang-orang manca negara. <o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 39pt; TEXT-INDENT: -0.25in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN" style="font-family:Symbol;"><span style="font-size:0;">·</span></span><i><span lang="IN">Rob’ah</span></i><span lang="IN"><span style="font-size:0;"> </span>: Nama Robi’ah Al-Adawiyah dijadikan nama daerah.<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 39pt; TEXT-INDENT: -0.25in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN" style="font-family:Symbol;"><span style="font-size:0;">·</span></span><i><span lang="IN">Hay ‘Asyir </span></i><span lang="IN">: Daerah yang banyak ditempati oleh orang-orang Indonesia.<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 39pt; TEXT-INDENT: -0.25in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN" style="font-family:Symbol;"><span style="font-size:0;">·</span></span><i><span lang="IN">Bawwabah</span></i><span lang="IN"><span style="font-size:0;"> </span>: Sebuah tempat yang letaknya berada di kawasan Hay ‘Asyir.<o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 39pt; TEXT-INDENT: -0.25in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN" style="font-family:Symbol;"><span style="font-size:0;">·</span></span><i><span lang="IN">Hammam<span style="font-size:0;"> </span></span></i><span lang="IN">: Kamar mandi. Orang-orang Mesir nyebutnya demikian. <o:p></o:p></span></p><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><div style="TEXT-ALIGN: justify"></div><p class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 39pt; TEXT-INDENT: -0.25in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN" style="font-family:Symbol;"><span style="font-size:0;">·</span></span><i><span lang="IN">Negeri Kinanah</span></i><span lang="IN"><span style="font-size:0;"> </span>: Julukan negara Mesir. Seperti; Negri Seribu Menara, dll.</span></p><p class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 39pt; TEXT-INDENT: -0.25in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN" style="font-family:Symbol;"><span style="font-size:0;">·</span></span><i><span lang="IN">Masjid Al-Azhar<span style="font-size:78%;"> </span></span></i><span lang="IN">: Masjid pertama yang didirikan oleh Universitas Al-Azhar.</span></p><p class="MsoNormal" style="MARGIN-LEFT: 39pt; TEXT-INDENT: -0.25in; LINE-HEIGHT: 150%; TEXT-ALIGN: justify"><span lang="IN" style="font-family:Symbol;"><span style="font-size:0;">·</span></span><i><span lang="IN">Masjid As-Salam </span></i><span lang="IN">: Masjid yang sering ditempati oleh orang2 Indonesia.</span><br /><span lang="IN"></span><span lang="IN"><o:p></o:p></span></p>-Filantropy-http://www.blogger.com/profile/16607836676548676474noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4964149376457587432.post-74843784376286620862007-09-21T04:56:00.000+02:002007-09-22T19:54:22.414+02:00Sepotong Purnama<div style="text-align: justify;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi-IeGsZ33hAod3pKBoQs6b6n5H1EAz_3iVjRRpzkSafr0J1GXEbuRInKE7qsVCgTM1i70QEEM-dPmr-A76hz4Ubg_rdrzp0b8XO8mDzrF3pZXJcUzc9Ncqr_9ZWwz4QF3O2JjAqkdnWD4/s1600-h/MenungguMU.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi-IeGsZ33hAod3pKBoQs6b6n5H1EAz_3iVjRRpzkSafr0J1GXEbuRInKE7qsVCgTM1i70QEEM-dPmr-A76hz4Ubg_rdrzp0b8XO8mDzrF3pZXJcUzc9Ncqr_9ZWwz4QF3O2JjAqkdnWD4/s200/MenungguMU.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5112490121806128434" border="0" /></a>Duarrr...<br />seketika itu juga<br /><br />Purnama,<br />pecah terbelah dua<br /></div><br />Separuh,<br />terpasung di kelopak mataku<br /><br />Separuh lagi,<br />entah di mana...<br /><br />Mungkin,<br />ada yang tahu?<br /><br />Kuharap,<br />kembalikan ia jadi satu!<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Nasr City, 19 September 2007</span>-Filantropy-http://www.blogger.com/profile/16607836676548676474noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-4964149376457587432.post-66349923020229461372007-09-21T03:33:00.000+02:002007-09-25T01:34:02.737+02:00Menanti Maafmu<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQC7dZ-z4KJj3AybjikjsHiOBiVDSdRLQ63yobscvAhHyCDhQC_SLzBjZGwZGOzvPxK9VveDmsYAl1NzITpgSzldDBSti5WdLV2vALkhQXakT_BsxfCGgZHGqxpCrB2qVL8Qd-bxKkkyA/s1600-h/readingTable.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQC7dZ-z4KJj3AybjikjsHiOBiVDSdRLQ63yobscvAhHyCDhQC_SLzBjZGwZGOzvPxK9VveDmsYAl1NzITpgSzldDBSti5WdLV2vALkhQXakT_BsxfCGgZHGqxpCrB2qVL8Qd-bxKkkyA/s200/readingTable.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5112474148822754562" border="0" /></a>Malam ini rembulan berwajah pasi. Kulitnya yang putih tak seputih bunga melati. Bola matanya yang bundar tak sebundar roda dokar. Tubuhnya kini berbentuk sabit, persis seperti celurit. Pesonanya semakin pudar digeluti gumpalan awan. Dijilat lidah kelam.<br /><div style="text-align: justify;"><br />Di pojok kamar yang gelap, sosok manusia berbadan kurus itu sedang termangu memandangi satu titik cahaya -entah apa itu namanya; bintang, planet, atau makhluk langit lainnya- berkilau dari atas langit. Cahayanya teduh menghias malam. Mengitari cakrawala yang berselimut awan.<br /><br />Semakin lama semakin larut pula manusia itu mengurai dan menikmati keteduhan suasana langit. Sepertinya, memang benar di sana tidak ada yang namanya kebencian. Yang ada hanyalah kasih sayang. “Oh, malam...,” desahnya. Manusia itu sedikit tenang rupanya. Larut dalam suasana.<br /><br />Namun tak lama kemudian, telpon di ruang tamu berbunyi tiba-tiba. Nyaring. Manusia itu tersentak. Giginya menggerutu. Tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dan, kenikmatan yang baru saja dia rasakan lenyap seketika.<br /><br />“Ah..., siapa sih malam-malam begini nelpon. Dasar...” Umpatnya kesal. Sepertinya dia marah pada bunyi telpon itu. Tapi apa boleh buat, jika dibiarin malah akan mengganggu konsentrasinya mengurai bahasa malam. Akhirnya, dengan sangat berat kaki itu melangkah juga menuju ruang tamu. Sesampainya di sana, manusia itu langsung mengangkat gagang telpon. Dan, terdengarlah suara dalam telpon itu berucap salam.<br /><br />“Assalamu ‘alaikum...”<br /><br />“Salam.” Jawabnya ketus.<br /><br />“Aditnya ada, Mas...?” Tanya suara itu.<br /><br />“Ada,” setelah berkata demikian, spontan manusia itu tersentak. Matanya terbelalak. Mulutnya menganga. Keningnya berkerut. Kakinya berdiri kaku. Seluruh kekesalannya tiba-tiba runtuh. Hancur berkeping-keping. Ternyata dia baru sadar ketika suara itu terngiang jelas di gendang telinganya.<br /><br />"Lita...," tebakannya dalam hati. Mulutnya langsung terkunci. Bibirnya terkatup rapat. Nafasnya tercekat. Kini manusia itu tertunduk lemas menyesali sikapnya. Tanpa kata-kata. Tanpa suara. Yang terdengar hanya detak jantungnya yang kian melemah.<br /><br />“Mana?” Suara di telpon terdengar untuk yang sekian kalinya. Masih semerdu dan selembut dulu.<br /><br />Tapi, kenapa sekarang ia malah mencari gua. Masih kurang puaskah memarahi dan membenci gua hanya karena masalah sepele. Keluh manusia itu. Dan akhirnya, dia memberanikan diri menjawab pertanyaan Lita, namun lirih, “ya ini gua, Lit” Suaranya gugup.<br /><br />“<span style="font-style: italic;">Hah</span>, kenapa mulai tadi loe...,” Lita heran. Dan suaranya terputus. Tak lama kemudian, suara yang putus itu kini tersambung lagi, “gak suka? Ya udah, gak jadi deh!”<br /><br />Terpaksa manusia yang bernama Adit itu menjelaskannya dengan panjang lebar. Sehingga perdebatan pun berjalan seiring desau angin malam. Begitu lama. Sampai akhirnya, perdebatan di antara kedua anak manusia itu berakhir bisu. Hening. Sepi. Seperti malam terbalut sunyi.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Ada apa gerangan?</span><br /><br /><div style="text-align: center;">#*#<br /></div><br />Malam-malam berlalu begitu menakutkan. Mencekam. Seperti wajah Adit kini. Tidak cerah, laiknya wajah rembulan. Pasi. Hatinya pilu, mungkin juga bersedih. Cewek yang selama ini dikaguminya ternyata masih enggan memaafkan kesalahannya tempo hari.<br /><br />Waktu itu, tepatnya malam Minggu, salah satu temannya Lita yang dari Amrik datang berlibur ke Indonesia dan sekaligus mengadakan acara ultah di hotel Safari Internasional. Kebetulan Lita ditunjuk sebagai pembawa acara. <span style="font-style: italic;">Nah</span>, sebelum acara itu dimulai, Lita mengajak Adit untuk menghadiri acara tersebut. Anehnya, tanpa perhitungan terlebih dulu Adit langsung mengiyakan. Bahkan dia berjanji dan bersumpah tidak akan melewatkan acara itu barang sedetikpun.<br /><br />Tapi sayang seribu sayang, ketika janji sudah terikat dan sumpah terucap. Kenyataan sukar ditebak. Manusia... Tidak salah memiliki jargon; ‘<span style="font-style: italic;">Al-Insanu Mahallul Khotto’ Wannissan.</span>’ Ternyata benar, bahwa kebenaran selalu berpangku pada Tuhan. Dan kesalahan selalu berpangku pada manusia. <span style="font-style: italic;">Duh!</span><br /><br />Adit tidak menghadiri acara ultah itu. Entah, apakah dia sengaja melupakan janjinya, atau tidak!<br /><br /><span style="font-style: italic;">Ah, terkadang janji memang hanya sebatas kata-kata.</span><br /><br /><div style="text-align: center;">#*#<br /></div><br />Lita adalah salah satu tipe cewek yang paling tidak suka dibohongi. Apalagi oleh seorang cowok. Ia mempunyai jiwa pemberani dan tegas, layaknya Ibu Kartini. Entah, apakah karena ia cewek <span style="font-style: italic;">blesteran</span>, yang mengutamakan pentingnya waktu, hingga setiap tindakannya harus sesuai dengan waktu yang ditentukan. “<span style="font-style: italic;">Time is money.</span>” Begitu katanya ketika ditanya perihal tentang waktu.<br /><br />Di malam yang masih berkabut kelam, Lita menegur Adit. Mungkin ia marah. Mungkin juga ia sudah membenci Adit.<br /><br />“Kenapa loe bohong, Dit?” Pertanyaan yang tegas, namun menyentak.<br /><br />“Maafkan gua, Lit! Gua lupa.” Jawab Adit datar.<br /><span style="font-style: italic;"><br /></span><span style="font-style: italic;">Semudah itukah?</span> Lita geram, dan bahkan kesal melihat sifat Adit yang tiba-tiba berubah menjadi manusia pembohong. Rasa kebencian itu tumbuh dengan sendirinya. Lalu, makhluk mana yang tak akan marah mendengarkan alasan Adit yang tidak kuat itu.<br /><br />Barangkali rembulan pun akan bertanya-tanya, “<span style="font-style: italic;">semudah itukah alasanmu, duhai Matahariku?</span>”<br /><br />Kini, raut mukanya naik pitam. Amarahnya sudah mulai bergejolak. Sepertinya, ombak itu akan semakin ganas menghantam perahu layar. Dan lihatlah..., dengan intonasi yang cukup keras dan tegas, Lita berucap, “Dit, lidah itu tidak bertulang. Semua orang bisa berkata seperti itu. Berjanji. Bersumpah. Tapi kenyataannya banyak dari mereka yang ingkar, bahkan dusta.”<br /><br />Wajah Adit minder juga mendengar kata-kata itu, yang secara tidak langsung menyindirnya. Tapi, namanya saja orang yang suka berbual, tetap saja tingkah lakunya tak berubah dan tak gampang menyerah begitu saja. Dia telah menganggap hati kaum Hawa gampang lunak apabila mendengar kata-kata romantis. Akhirnya dia pun merayu, berkata manis dan mendayu-dayu.<br /><br />"Gua sungguh-sungguh menyesal, Lita!" Dan apa yang dia harapkan, tetap saja hasilnya <span style="font-style: italic;">nihil</span>.<br /><br />Ternyata... Adit salah alamat. Lita bukanlah tipe cewek yang suka digombalin. Memang, ia sering dibilang cewek ‘<span style="font-style: italic;">tomboy</span>’, akan tetapi berjiwa Kartini. Bijak. Penuh tanggungjawab. Tidak mudah mengobral janji sekiranya tidak bisa ia tepati. Itulah Lita, bukan Adit.<br /><br />Keesokan harinya...<br />Lita tetap pada pendiriannya, masih enggan menerima kata maafnya. Melihat kenyataan pahit itu Adit hanya bisa termenung. Menerimanya dengan pasrah. Dia teringat akan janjinya yang tak pernah ditepati. Adanya hanya alasan yang tak pasti. Ternyata, manusia yang suka berbual itu sadar juga akhirnya. Dia menyadari jika dirinya telah banyak membohongi orang, terlebih lagi pada orang yang dikaguminya, Lita.<br /><br />Kebohongan-kebohongan yang sering dilakukan membuat pikirannya tidak bisa tenang. Hatinya sedih. Kesehari-harinya murung di dalam kamar. Bahkan keluar pun dia enggan beranjak. Sepertinya, dia terombang-ambing oleh kesalahan-kesalahan yang sering dilakukannya.<br /><br />“Lita benar, gua yang salah,” bisiknya tiba-tiba. Kemudian dia melabuhkan dirinya dalam sujud.<br /><br />Ya, Tuhan! Kenapa hamba bisa seperti ini. Menjadi makhluk paling lemah di dunia. Bukankah, hamba lelaki yang punya martabat lebih tinggi daripada wanita. Yang punya kekuatan untuk memimpin. Tapi kenapa, malah hamba yang menjadi budak.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Rupanya, anak sungai itu mulai mengalir deras di atas sajadah. </span><br /><br /><div style="text-align: center;">#*#<br /></div><br />Pada malam kedua, tepatnya malam Rabu, Lita mencoba meraih gagang telpon hendak menghubungi Adit. "Barangkali sekarang dia sudah sadar, atau setidaknya tidak akan pernah mengobral janji-janjinya lagi." Pikir Lita. Kemudian tanpa basa-basi, ia langsung berkata, “Dit, gua akan memaafkan kesalahan loe. Tapi...” Suaranya masih terputus.<br /><br />Mendengar ungkapan tersebut, pikiran Adit sedikit lega. Tenang. Wajahnya seketika nampak berseri-seri. Ceria. Hatinya pun ikut berbunga-bunga. Lalu dia berucap lirih, “tapi apa, Lit?” Tanya Adit penasaran. Telinganya sudah tidak sabar menunggu jawaban.<br /><br />“Gua akan memaafkan kesahalan loe. Asalkan..., besok loe harus datang ke tempat kita bertemu dulu. Ada sesuatu yang ingin gua omongin sama loe di sana. Ok?! Dan ingat, kalau loe ternyata tidak datang juga, maka jangan harap gua bisa memaafkan loe. Selamanya...” Papar Lita panjang lebar.<br /><br />“Kok bisa gitu, Lit?” Timpal Adit heran. Keningnya berkerut.<br /><br />“Ya, iyalah. Ini sebagai jawaban atas kebohongan loe tempo hari. <span style="font-style: italic;">Huh!</span>” Balas Lita agak sewot mendengar kata-kata Adit yang masih hendak mengelak.<br /><br />“Lit, apakah tidak ada cara lain untuk mendapatkan kata maaf dari loe. Begitu besarkah salah gua hanya karena kejadian sepele itu?” Rupanya Adit tidak ingin langsung menyerah. Dia masih berani mempertahankan sifat keegoisannya.<br /><br />“Jelas... Karena ini kesalahan loe yang amat fatal. Loe selalu berjanji, tapi tidak pernah ditepati. Loe tahu kan, bahwa yang namanya janji itu harus ditepati. Jika ingkar, maka dosa hukumnya!” Kali ini Lita menceramahi Adit dengan meledak-ledak.<br /><br />“Dit, janji itu adalah hutang dan harus dibayar.” Sambungnya kemudian. Dan lawan bicaranya terdiam. Mulutnya kelu.<br /><br />Kini Adit tidak berani lagi menimpali ungkapan Lita. Diam membisu. Suara itu persis seperti malaikat Mungkar-Nakir yang sedang mewanti-wanti, memaki dan mengintrogasi para ahli kubur. Hingga... Adit pun menjadi beku, persis seperti gunung salju.<br /><br />Sejurus kemudian, terdengar panggilan Lita yang mencairkan kebekuan dirinya. “Dit.. Kok diam sih!” Sedikit keras. Kelihatannya Lita sedang menghela nafas dalam-dalam. Lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Dan, ia berucap lagi, “kalau emang loe enggak mau datang bilang terus terang. Gua tahu kok! Waktu loe memang tidak akan pernah ada untuk gua. Gua merasa, Dit!” Entah kenapa, nada suaranya tiba-tiba mengiba seperti itu.<br /><br />Mendengar ungkapan itu, Adit merasa berdosa karena tidak pernah menepati janjinya sendiri. Membuat sakit hati orang yang dikaguminya. Lalu dia berpikir sejenak, “<span style="font-style: italic;">bagaimana seandainya semua cowok seperti gua. Sering bikin kecewa dan sakit hati kaum Hawa. Akan menjadi apa dunia ini?</span>”<br /><br />Kemudian dia mendapat kekuatan untuk berucap tegas, “Lit, gua akan datang ke tempat itu. Janji gua kali ini adalah pasti bukan basa-basi. Percaya deh!” Senyum Adit mengambang di lekuk bibirnya.<br /><br />Lita yang mendengar ungkapan itu hanya bisa tersenyum. Dan, ia pun berucap, “kalau begitu makasih ya, Dit! Berarti sepenuhnya rembulan bakal menjadi milik loe.” Ucapnya dengan luapan hati yang teramat dalam. Adit pun tertegun mendengar bahasanya.<br /><br />Namanya Adit, mendapat kesempatan tidak akan dibuang percuma. Langsung dia merangkai senjata ampuhnya. Seperti biasa, dengan mimik muka tebar pesona Adit memulai membaca mantranya, kemudian terdengar seperti berpuisi mulut itu melontarkan kata-katanya.<br /><br />“<span style="font-style: italic;">Aku hanya ingin menanti maafmu, duhai sang kekasih...</span>” Merdu nan syahdu. Memikat hati pendengarnya.<br /><br />Bidadari di sebrang sana terpana mendengarkan kata-kata Sang Arjuna. Hanya desah nafasnya yang diburu angin. Panah asmara itu telah menancap di relung hatinya. Marah tumbuh sayang. Sayang berbunga cinta. Cinta berbuah rindu. Indahnya...<br /><br />Malam ini raut wajah ayu itu tersipu malu. Lihatlah, ia tidak berkata apa-apa lagi. Bahkan menyudahi obrolannya pun tanpa pamit.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Inikah arti keindahan semu?</span><br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Cairo, 21 Februari 2007</span><br />"<span style="font-style: italic;">ketika kuterlelap, bintang jatuh di pelupuk mataku.</span>"<br /></div>-Filantropy-http://www.blogger.com/profile/16607836676548676474noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4964149376457587432.post-38006915758360689042007-09-14T04:48:00.000+02:002007-09-14T17:18:04.636+02:00Berakhir Bisu<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiaMMaqWmMEz3zRs4rnLwtSFBOh7aHqGSIsKa5VGDRPZaGXEPhU1vfBw7LNEJfMUUABVO6jSLXw0X5vS2vbiMDh37_kGh3baZ0fQT3Bm27BkTXpBfVApP_LxiVLY6TIbvyPJd3H36D6qkc/s1600-h/waitingWord.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiaMMaqWmMEz3zRs4rnLwtSFBOh7aHqGSIsKa5VGDRPZaGXEPhU1vfBw7LNEJfMUUABVO6jSLXw0X5vS2vbiMDh37_kGh3baZ0fQT3Bm27BkTXpBfVApP_LxiVLY6TIbvyPJd3H36D6qkc/s200/waitingWord.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5109889401448021986" border="0" /></a>Bimbang menyeruak<br /><div style="text-align: justify;">Kebisuan berteriak<br />Pikiran di rajam sekat<br /><br />Emosi tak terkendali<br />Kekuatan bersembunyi<br />Di balik tirai nafsu birahi<br /><br />Ya, Rabbi…<br />Dosakah diri ini<br />Salahkah tangan ini<br /><br />Bertapak nasib<br />Pada sang waktu<br />Berakhir bisu<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Al-Azhar, 24 Januari 2007</span><br /></div>-Filantropy-http://www.blogger.com/profile/16607836676548676474noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-4964149376457587432.post-52438333056953195012007-09-08T23:10:00.000+02:002007-09-12T10:21:18.387+02:00Ambisi Manusia<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDr799vo2au-7UsPPxaGu-3kOIWP1LLEUmECAab3UMo-Seb-N51OlSgsj7ZG4Nm7L3aNc8AmPe5Unw7Iwrwba2Wx5_Vq0Qmc5R6uJQoF9uXMo7k3CwiIb60ksMchp9sXBJ94SgOQb1i-M/s1600-h/cartoon.gif"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDr799vo2au-7UsPPxaGu-3kOIWP1LLEUmECAab3UMo-Seb-N51OlSgsj7ZG4Nm7L3aNc8AmPe5Unw7Iwrwba2Wx5_Vq0Qmc5R6uJQoF9uXMo7k3CwiIb60ksMchp9sXBJ94SgOQb1i-M/s200/cartoon.gif" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5107944669591601522" border="0" /></a>lihatlah...<br /><div style="text-align: justify;">dulu, wajah mereka terpampang di mana-mana<br />di sini, di sana, semuanya ada<br />bibirnya menebar senyum<br />lidahnya menyumbar janji<br />apalagi, kalau bukan untuk kemewahan<br />yang ingin mereka jilat sepuas hati<br /><br />dan kini, lihatlah...<br />ketika gelar mahkota mereka raih<br />ketika kursi jabatan mereka duduki<br />ketika roda pemerintahan mereka kuasai<br />dan ketika... ketika... ketika...<br />semua sudah mereka miliki<br /><br />apa yang terjadi...<br />lihat<br />lihat<br />lihat, Kawan!<br />jidat mereka penuh dengan ambisi<br />mereka menjadi sombong, rakus, dan tamak<br />mengunyam negeri Pertiwi<br /><br />lalu...<br />bentuk kesejahteraan seperti apa yang kau harapkan, Kawan!<br />jika ternyata, senyum dan janji mereka<br />hanyalah omong kosong belaka<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Indonesia, 20 Juni 2005</span><br />"<span style="font-style: italic;">semakin hari pesona Indonesiaku semakin pudar</span>"<br /></div>-Filantropy-http://www.blogger.com/profile/16607836676548676474noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4964149376457587432.post-49475862446721954092007-09-08T17:07:00.000+02:002007-10-20T22:41:51.446+02:00Ratapan di Bawah Menara<div style="text-align: justify;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgu9xpJqx0AguYRlzGV2Zkmry7yoCCGKNLZT9MwPp-6r-5dFpHqlqNAD7pZEWJSgse1VZ9CeWzf9Z6J9IovM5CA1h6eXXb1eEsn0urS15fOM_q2EuSCE2Cv_5aHD4Yt5GOxBfNkelN_GGI/s1600-h/Pengemis.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgu9xpJqx0AguYRlzGV2Zkmry7yoCCGKNLZT9MwPp-6r-5dFpHqlqNAD7pZEWJSgse1VZ9CeWzf9Z6J9IovM5CA1h6eXXb1eEsn0urS15fOM_q2EuSCE2Cv_5aHD4Yt5GOxBfNkelN_GGI/s200/Pengemis.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5123520379506304434" border="0" /></a>SEPERTI BIASA. Malam datang. Siang bertandang.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br />Dingin menggeluti kedua tubuh anak jelata yang duduk tersimpuh di bawah menara. Setiap malam mereka selalu seperti itu. Berteman dinginnya udara malam. Tanpa pembalut. Tanpa selimut.<br /><br />"Kak, bagaimana ya caranya agar kita jadi orang kaya. Biar hidup kita gak menderita seperti ini," tiba-tiba suara kecil itu bertanya dengan raut muka pucat pasi. Tangannya menekan perut yang entah sejak kapan tak terisi sebutir nasi. Hanya liur yang sering ia telan setiap hari.<br /><br />Sang kakak terkejut mendengar pertanyaan adiknya. Kemudian dia pun menimpali kata-kata adiknya, "Dik, kamu gak usah berpikir sejauh itu. Wong, selembar rupiah saja kita gak punya. Apalagi mau menjadi orang kaya. Mustahil, Dik!" Jawaban sang kakak membuat kening adiknya berkerut. Sepertinya, ia tidak puas dengan lontaran kakaknya itu.<br /><br />"Kenapa...? Apa tidak boleh seorang anak jelata hidup mewah. Kaya raya. Bukankah, Tuhan maha adil, Kak!" Selorohnya tiba-tiba.<br /><br />Sayang, sang kakak hanya membalasnya dengan diam. Seperti batu membisu. Dia tak mampu menjawab. Sedih pun mengakar seperti tuak di gelas yang lama tak disentuh tangan dan bibir. Ada perasaan luka menyayat hati sang kakak melihat tubuh adiknya kian hari tambah kurus kerempeng. Sedang pakaian yang dipakai tak lain hanyalah baju bekas yang dipungut dari bak sampah.<br /><br />Suasana hening.<br /><br />Dan, tiba-tiba suara anak-anak jelata lain ramai berdatangan. Sepertinya, mereka juga teman seperjuangannya. Melihat banyak yang datang, sang kakak langsung berdiri dan mengajak adiknya yang kurus tak bertenaga itu agar kembali melakoni aktifitas kesehari-hariannya.<br /><br />Dengan muka kusut, tangan kotor, serta baju sobek sana-sini mereka memulai aktifitasnya. Meminta, mengemis, bahkan meratap ke setiap orang yang didatanginya. Tapi anehnya, dari sekian banyak orang yang mereka datangi, sedikit pun tak ada yang merasa iba. Tak ada yang mau bersedekah. Raib. Mereka pulang dengan tangan hampa. Kosong.<br /><br />Malam pun larut dalam kesedihan mendekab tubuh-tubuh kurus anak jelata yang terbujur kaku di sudut malam yang dingin.<br /><br /><div style="text-align: center;">* * *<br /></div><br />SEPERTI BIASA. Siang datang. Malam bertandang.<br /><br />Mentari terpasung di kaki langit. Sinarnya yang hangat menerpa tubuh anak-anak jelata yang tidur pulas di bawah menara. Rasa laper yang ditahan tersirat di lekuk bibirnya yang kering. Namun, kebiasaannya untuk meminta, mengemis, bahkan meratap pada manusia telah menjadi sepenggal semangat hidupnya.<br /><br />Sesuap nasi dan sekeping uang receh menjadi pinta mereka, menjadi harapan mereka mengisi perutnya yang kian tipis. Coba dengarkan suara ratapan mereka ketika tangan kurus itu terjulur di hadapan orang-orang yang dihampirinya.<br /><br />"Pak... Om... Bu... Tante... Minta uangnya. Aku lapar. Aku belum makan." Begitulah, anak-anak jelata dengan mata merah dan suara agak serak meminta, mengemis, bahkan meratap kesemua orang.<br /><br />Tapi, entahlah!<br /><br />Terkadang hanya makian. Hinaan. Tatapan sinis. Bahkan ketidak pedulian yang sering mereka telan. Setiap hari. Bahkan berhari-hari semakin banyak manusia-manusia pongah. Entah, karena merasa benar atau memang tak punya rasa pri kemanusiaan.<br /><br />Siapa yang tahu? Anak-anak jelata itu bertanya pada debu dan sampah. Berguru pada malam dingin dan panas terik. Menunggu jawaban dari geliat di perut. Tak ada! Yang ada hanyalah tatapan sinis belaka.<br /><br />Siang ini seisi bumi mulai memanas. Entah sampai berapa kekuatannya. Dan entah sampai kapan pula mata orang-orang angkuh itu akan berhenti memburu harta, sedang di depan, belakang, samping masih terdengar ratapan anak-anak jelata yang ingusan.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Masya' Allah...</span><br /><br />Udara panas semakin menyengat. Dan anak-anak jelata itu tidak pernah mengaduh dan menyerah. Mereka tetap ada, dan selalu ada di mana manusia berada. Mungkin pada manusia bijak itulah mereka berjuang memperpanjang sisa-sisa hidupnya. Ya, ampun!<br /><br />Matahari semakin mengeras, seperti hati manusia kian cadas.<br /><br /><div style="text-align: center;">* * *<br /></div><br />Siluet senja membentuk sapuan jingga. Langit merah saga. Anak-anak jelata berlari terbirit-birit mencari sisa butir nasi di tong-tong sampah. Dari arah belakang, tiba-tiba terdengar suara panggilan...<br /><br />"Kak, tunggu aku." Pinta si adik tiba-tiba.<br /><br />Spontan sang kakak berhenti. Dia menoleh ke belakang, kemudian menghampiri adiknya, "kenapa kau, Dik?" Tanya sang kakak. Heran.<br /><br />"Aku tak kuat lari lagi, Kak!" Suaranya serak. Nafasnya pun tersendat-sendat.<br /><br />"Ya, kenapa dulu?" Sang kakak mengintrogasi. Kali ini dia bingung melihat seluruh bagian tubuh adiknya gemetar. Tangan. Kaki. Sampai mukanya pucat pasi.<br /><br />"Aku...," tak sempat mulut itu berucap. Tiba-tiba tubuhnya terkulai. Roboh. Dan kepalanya jatuh menubruk batu.<br /><br />"Dik, jangan main-main kamu. Bikin atraksi di sini gak bakalan ada orang yang mau memperhatikan kita, lho!" Dengan perasaan kalut, sang kakak berdiri mematung mengharap jawaban dari adiknya.<br /><br />Tapi..., tetap tak ada jawaban. Adiknya bergeming, tanpa gerak. Akhirnya, sang kakak pun mendekatinya. Masih dengan perasaan kalut, dia tenangkan diri berpikir adiknya hanya berpura-pura saja.<br /><br />"Dik!"<br /><br />Tetap tidak ada jawaban.<br /><br />Darah segar mulai mengalir deras dari kepala adiknya yang tersungkur di atas batu. Sang kakak hanya termangu. Kemudian...<br /><br />"Ini tidak pura-pura, Adikku bukan aktor." Sang kakak berperang dengan batinnya, antara percaya dan tidak.<br /><br />Spontan dia merangkul adiknya dengan erat. Mengguncang-guncang tubuhnya, dengan harapan, kelopak mata adiknya terbuka dan kembali memainkan titik hitamnya. Tapi, tetap tidak ada tanda-tanda.<br /><br />Rohnya kini pergi meninggalkan raganya. Berpulang menghadap Sang Pencipta.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Innalillah... </span><br /><br />Ketika sang kakak menyadari perihal kematian adiknya, dia hanya bisa tersenyum kecil memandang tubuh kurus yang sudah kaku itu. Kemudian dia tertawa terhadap apa yang baru saja terjadi. Satu-satunya saudara tercinta telah menjadi korban. Korban nasib yang mengharuskan mereka berpuasa setiap hari. Apalagi yang bisa dilakukan, air mata, liur sering mereka telan.<br /><br />Dengan mata nanar sang kakak menggali kuburan adik satu-satunya. Dipandanginya muka kusut itu untuk yang terakhir kali. Tanpa kain kafan, dia membungkus tubuh adiknya dengan baju sobek. Perih. Pedih. Mengorek relung hatinya yang paling dalam. Batinnya menjerit melihat tubuh sang adik ditimbun tanah. Untuk selama-lamanya.<br /><br />Di pelataran senja lenyap. Malam menjemput arwah seorang anak jelata di bawah menara.<br /><br /><div style="text-align: center;">* * *<br /></div><br />SEPERTI BIASA. Malam datang. Siang bertandang.<br /><br />Kian hari purnama berwajah pasi melihat nasib anak-anak jelata. Matanya sembab. Sinarnya teduh. Rintik-rintik berjatuhan. Bumi pun basah derai air mata.<br /><br />"Cil, kenapa kau sendirian di sini. Adikmu mana?" Satu panggilan tiba-tiba. Namun, Kancil tidak menghiraukannya. Dia hanya membuka matanya sesaat, kemudian kembali tertunduk lemas. Badan kurusnya hanya mampu menopang kepedihan yang baru dirasa. Tanpa air mata. Tanpa kata-kata.<br /><br />"Cil...!!!" Kali ini suara itu terdengar seperti petir. Tapi, Kancil tetap diam membatu.<br /><br />Sama sekali dia tidak menghiraukan panggilan temannya itu. Kebenciannya pada manusia-manusia kikir telah membekukan semangat hidupnya. Bahkan dia marah kenapa mesti terlahir ke dunia, jika kenyataannya menelan nasib yang begitu pahit.<br /><br />Pertanyaan-pertanyaan adiknya tiba-tiba terlintas dalam benaknya. Sampai sekarang dia masih tidak bisa menguraikannya. Tanpa air mata, dia meneteskan luka pada kehidupannya. Mengingatnya, membuat dirinya semakin terpuruk dengan perasaan bersalah.<br /><br />"Duh Gusti, kenapa Engkau tega mengambil nyawa Adikku tercinta. Bukankah aku juga hamba-Mu," ratapnya.<br /><br />Merasa tidak puas, Kancil lalu menghujat Tuhannya.<br /><br />"Duh Gusti... Kenapa Engkau memberi kekayaan, kemewahan, dan hidup bahagia kepada manusia-manusia berhati serigala itu. Sedangkan diriku, Engkau malah biarkan terkurung dalam kemiskinan, kemalaratan, kelaparan, dan hidup menderita seperti ini. Kenapa, Gusti...?"<br /><br />"Bukankah, diriku..." Kancil hendak melanjutkan hujatannya, tapi tiba-tiba suaranya tercekat. Sepertinya, dia sudah semakin lelah. Tak sanggup lagi berujar. Apalagi berteriak.<br /><br />Seketika tubuhnya terkulai. Roboh. Dan kepalanya jatuh menubruk batu. Darah segar mulai mengalir deras. Lamat-lamat degub jantungnya semakin melemah. Kini, tak ada lagi suara degub jantung. Tak ada lagi hembusan nafas. Seluruh tubuhnya mengejang. Kemudian kaku.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Innalillah...</span><br /><br />Kancil menghembuskan nafas terakhirnya di tengah hiruk-pikuk manusia. Siapa sangka kematiannya bakal berakhir di bawah menara, tempat di mana adiknya juga berpulang ke alam baka. Dia menyusul kepergian adiknya, mungkin juga sekarang telah berpelukan mesra. Siapa tahu? Jikalau Tuhan bakal mempertemukan mereka berdua di surga.<br /><br />Di peraduan purnama tenggelam. Siang menjemput arwah seorang anak jelata di bawah menara.<br /><br /><div style="text-align: center;">* * *<br /></div><br />Hanyalah jarak waktu...<br /><br />Kematian yang mengenaskan terjadi lagi di muka bumi. Sayang, tak pernah ada realisasi menumpas kemiskinan dan kemelaratan para tubuh-tubuh yang tersiksa dan menderita. Barangkali, memang benar. Bahwa hanya sebuah lembaran berita yang akan memenuhi tembok dunia.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Duh</span>, apa kata dunia...?!?<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Rabea El-Adawea, 08 Desember 2006</span><br />“<span style="font-style: italic;">Ombak menyampaikan salam dunia pada semesta.</span>”<br /></div>-Filantropy-http://www.blogger.com/profile/16607836676548676474noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4964149376457587432.post-46428038729270273322007-09-01T04:43:00.000+03:002007-09-08T22:59:30.509+02:00Entahlah<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjN27_Tm_PGHjuUlbq8aycQL4bnF-yNEBUSNsiSnFl3URieVyK0KTz14yuDp86GQsPz1PV2PGTiTUEqiE2UU6GMvyh19QFIq2J9NoaKB_qxOfSXFKUbxW22uEOUgrOi40JqTGE5vwUck2U/s1600-h/vb_cartoon_4-2-thumb.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjN27_Tm_PGHjuUlbq8aycQL4bnF-yNEBUSNsiSnFl3URieVyK0KTz14yuDp86GQsPz1PV2PGTiTUEqiE2UU6GMvyh19QFIq2J9NoaKB_qxOfSXFKUbxW22uEOUgrOi40JqTGE5vwUck2U/s200/vb_cartoon_4-2-thumb.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5107940765466329442" border="0" /></a>Jika,<br />Ia berani mempermalukan dirinya<div style="text-align: justify;">Kenapa,<br />Ia justru tidak berani memperdulikan siapa dirinya<br />Lupakah siapa ia sebenarnya,<br />Hanya karena selembar rupiah yang tak bertahta<br /><br />Entahlah...<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Rabea El-Adawea, 18 April 2007</span><br /><span style="font-style: italic;">"ketika lidahmu menjadi sembilu</span>"<br /></div>-Filantropy-http://www.blogger.com/profile/16607836676548676474noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4964149376457587432.post-76006311845095682432007-09-01T04:16:00.000+03:002007-09-02T00:02:59.513+03:00Sepucuk Surat Buat Nona<div style="text-align: justify;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDKpinyb7GxL0-jpL5mJVJLk3pjxf2YQrty-VzUKYnDqa5pc4A6ob53xGccz7Yn5-aMBjUQakcyQoT8TNKBU7hwfcLf34gHFIyAJOUwK1kVrfN3Al4ztXnhVGL8geGxWMq07a3rAGvspY/s1600-h/Gold+Love+Letter.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDKpinyb7GxL0-jpL5mJVJLk3pjxf2YQrty-VzUKYnDqa5pc4A6ob53xGccz7Yn5-aMBjUQakcyQoT8TNKBU7hwfcLf34gHFIyAJOUwK1kVrfN3Al4ztXnhVGL8geGxWMq07a3rAGvspY/s200/Gold+Love+Letter.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5105041698901771730" border="0" /></a>"Nona..." Begitulah aku memanggilnya saat pertama kali aku berjumpa dengan dirinya di sebuah taman. Di kala itu, ia sedang menikmati gemercik air yang jernih dan tenang. Sambil sesekali menatap dengan penuh makna terhadap sang kura-kura kecil yang berenang di pinggir taman. Tersenyum saat ikan emas datang menari-menari di dekat jemari tangannya yang lentik.<br /><br />Duhai, Nona...<br />Sungguh luar biasa Tuhan mencipta raut wajahmu itu. Adakah Dikau seorang bidadari yang diutus Tuhan untuk menemani kesendirianku di taman yang rindang ini. Gumamku dalam hati... <br /><br />Waktu itu lidah semakin kaku untuk bicara. Muka tertunduk. Tidak seperti biasanya aku seperti ini. Tapi kali ini, saat segumpal senyum manisnya merekah ruah lagi-lagi hati yang jadi sasarannya. Sehingga hanya sebatas kata "Nona" yang dapat kuucapkan lantaran lidahku tak mampu lagi mengangkat suara untuk berbicara dengannya.<br /><br />Mungkin aku terlalu bodoh karena tidak sampai mengenal sejauh yang hati mau. Hati meronta ingin dekat mesra dengannya. Tapi muka tak mampu bersua, lidah tak dapat berucap, dan bibir pun tertutup rapat. Sepertinya, hanya gumam senja yang dapat mengerti keadaanku saat itu.<br /><br />Entahlah...<br /><br />Sebuah pertemuan yang tak kusangka bakal menanam benih-benih cinta dalam dermaga jiwa. Di situlah, ternyata diriku telah terpaut benang asmara. Senyum manisnya selalu mengundang sejuta rindu dalam keranjang kalbu menoreh rindu sepanjang waktu.<br /><br />Sejak pertama kali mata memandang benih-benih cinta tumbuh dengan sendirinya. Entah kenapa mata tidak bisa berkedip saat kilauan senja hadir temaram di raut wajah cantiknya. Putih dan halusnya kulit yang menempel di tubuhnya, bak kain sutera dari Negeri India.<br /><br />"<span style="font-style: italic;">Oh, Nona...</span><br /><span style="font-style: italic;">Putihnya bunga ini </span><br /><span style="font-style: italic;">Tak seputih kulit dan wajahmu,</span><br /><span style="font-style: italic;">Adakah putihnya bunga ini</span><br /><span style="font-style: italic;">Adalah jalan menuju istana hatimu...?</span>"<br /><br />Sepenggal kata yang sempat bergejolak di lautan jiwa. Namun, tak mampu terungkap jua. Bisu menelan ragu. Mungkin inilah yang disebut; '<span style="font-style: italic;">menulis kata menjadi makna sejarah buta</span>'. Akhirnya..., hanya sebatang pena inilah yang mampu berkata di atas lembar-lembar kertas hampa.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Ya</span>, hanya di atas lembar kertas inilah kuungkapkan semua yang bergejolak dalam relung jiwa. Saat pertama kali aku berjumpa dengan dirinya. Saat aku memanggil sebutan 'Nona' kepadanya. Dan saat bola mata tak mampu terpejam melihat keindahan wajahnya.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Duh</span>, kenapa aku mesti bisu seperti ini. Bungkam mulutku untuk sekedar berbincang-bincang dengan dirinya, lantaran siapa?<br />Adakah malaikat yang telah mengkerangkeng lidahku, hingga tak mampu bertutur sapa dengan Nona yang sedang kupuja?<br /><br />Ataukah karena dirimu, Nona... Yang kini membuat lidahku kelu. Rangkaian kata dengan deretan makna hilang begitu saja. Tubuhku gemetar, hati sesak bernafas, denyut jantung berhenti berdetak. Tak teratur. Naik turun.<br /><br />Sungguh dahsyat kejadian dalam tubuhku kala menerobos barisan kesempurnaan auramu, Nona. Engkau hadir mengisi ruang hatiku dengan sekuntum bunga cinta, yang kini tumbuh dalam mangkok perjumpaan yang tiada pernah kusangka sebelumnya. Bunga itupun akhirnya mekar menjadi kembang surga. Harum menelusup jiwa. Wangi menusuk hati.<br /><br />Tapi, adakah bunga yang mekar dalam hatiku adalah isyarat puisi hatimu? <br /><br />Bisu menelan ragu.<br /><br /><div style="text-align: center;">@@@<br /></div><br />Hasratku untuk berjumpa dengannya datang tiba-tiba. Mengalir sepanjang sendi urat nadi. Sebuah harap membuncah agar dapat bertukar sapa dan berbagi pengalaman dengan dirinya. Tapi demi waktu, aku malu bertemu dengan dirinya. Sesungging senyum terhias dalam lekuk bibirku. Sebentar. Dan kemudian, irama musik Kitaro mengalun syahdu menemani kesendirianku mengkhayal tentang dirinya yang kurindu.<br /><br />Di benak kepalaku bimbang datang menyeruak. Entah, apa yang akan kusiapkan esok nanti agar saat kubertemu dengannya tidak larut dalam kebisuan seperti kemaren lagi. Ingin rasanya aku bercakap-cakap mesra dengannya. Bercerita kesejukan taman yang indah rupa. Serta mengutarakan ketakjubanku akan kesempurnaan raut wajahnya.<br /><br />Tapi, mampukah aku...? Sebuah tanya membentur keraguanku.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Nah</span>, itulah satu pertanyaan yang selalu mengusik batinku. Entah kenapa, pertanyaan itu yang selalu hadir dalam lembar waktuku saat kuingin mengenal lebih jauh tentang dirinya. Adakah itu bertanda bahwa, aku memang tidak mampu berbicara ketika bertatap muka dengannya.<br /><br />Entahlah...<br /><br />Lalu dengan jalan apakah yang akan kutempuh? Agar dia dapat mengetahui isi hatiku. Agar dia juga tahu bahwa, "<span style="font-style: italic;">palung jiwamu telah mengetuk pintu hatiku</span>" di saat pertamakali kuberjumpa dengan dirimu. Tatapan indah matamu telah menjadi cahaya penerang hitamnya lorong hatiku.<br /><br />Nona...<br />Kupanggil namamu di malam pekat nan sunyi, agar senantiasa menjadi teman kesendirianku berteman sepi. Ribuan bintang-gemintang di angkasa berpijar terang. Rembulan menjadi lampu malam. Penghias petang.<br /><br />Nona...<br />Walau kau bukan purnama yang besinar di malam hari. Tapi kekagumanku padamu telah menepis kecintaanku pada purnama. Kau tidak seperti purnama yang lenyap saat mentari tersenyum di pagi hari. Kau adalah nyawaku yang setiap saat menghembuskan nafas-nafas cinta surgawi. Ketika aku mengingatmu, disitulah aku kembali bertakarrub kepada sang Ilahi.<br /><br />Sejatinya, engkau adalah detak jantungku yang setiap saat membimbing tubuhku bertasbih kepada-Nya. Mengenangmu, sama halnya aku mengenang kasih sayang-Nya. Mengingatmu, sama halnya aku mengingat keagungan-Nya. Mencintaimu, sama halnya aku mencintai kebesaran-Nya.<br /><br />Jadi biarkanlah aku berbicara, berteriak dan bahkan menangis malam ini. Karena malam tidak akan pernah memberi jawaban padaku. Malam hanya akan diam membisu seperti halnya diriku saat bertemu denganmu. Aku ingin mencurahkan semua hasrat yang bergejolak dalam hati pada sang malam. Agar sang malam menyimpan semua kecintaanku padamu dalam kebisuan yang takkan pernah berujung.<br /><br />Biarlah nanti sang waktu yang akan menjawab semua yang terjadi di malam ini. Karena aku tak ingin kecintaanku kepadamu akan mengkandaskan pelayaranku menuju pelabuhan rahmat-Nya. Aku ingin sampai di pelabuhan-Nya dengan membawa sekeranjang cinta buat sang pemilik cinta. Akan kuhaturkan cinta ini pada Tuhan yang tak bertuan.<br /><br />Tuhan bersemayam di atas sana bukan lantaran lelah oleh tugas yang diemban. Melainkan karena Tuhan sedang menunggu semua hamba-Nya membawakan cinta suci. Cinta yang tak terbungkus nafsu duniawi.<br /><br />Dari itulah, aku akan selalu berusaha menjaga kesucian cinta ini dari jerat nafsu duniawi. Agar kelak cintaku benar-benar suci di sisi Sang Ilahi. Mekar dan harum di taman surgawi.<br /><br />Akhirnya, kulipat sepucuk surat cinta ini buat sang kekasih. Dan kuakhiri dengan untaian puisi hati.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Nona...</span><br /><span style="font-style: italic;">Waktu kian merintih untuk kegalauannya, </span><br /><span style="font-style: italic;">terlalu manis Nona…</span><br /><span style="font-style: italic;">ketika lautan membagi impian, </span><br /><span style="font-style: italic;">oh… hanya suaramu tergenggam erat</span><br /><span style="font-style: italic;">di gerbang kerinduanku. </span><br /><span style="font-style: italic;">sedemikian dalam bahasa, </span><br /><span style="font-style: italic;">tiada kuasa</span><br /><span style="font-style: italic;">mengoyak langit pencarianku kepadamu, </span><br /><span style="font-style: italic;">tiada kekuatan</span><br /><span style="font-style: italic;">membelah awan ketulusanku tentangmu, </span><br /><span style="font-style: italic;">kisahmu</span><br /><span style="font-style: italic;">merajut kemegahan batinmu, </span><br /><span style="font-style: italic;">ku berharap…</span><br /><span style="font-style: italic;">tunjukkanlah wajahmu</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Oh… Nona !</span><br /><span style="font-style: italic;">untaian suaramu, </span><br /><span style="font-style: italic;">tegarkan hati meronta</span><br /><span style="font-style: italic;">ketika matahari menjelang keangkuhannya</span><br /><span style="font-style: italic;">ya… ku tunggu suaramu, </span><br /><span style="font-style: italic;">menempah kesetiaanku </span><br /><span style="font-style: italic;">ku tunggu selalu Nona ! </span><br /><span style="font-style: italic;">walau wajahmu kian tersembunyi</span><br /><span style="font-style: italic;">di balik pesona guratan tintamu, </span><br /><span style="font-style: italic;">untuk kehidupan…</span><br /><span style="font-style: italic;">tiada kejenuhanku mencari istana berpikirmu</span><br /><span style="font-style: italic;">demi satu kehidupan, </span><br /><span style="font-style: italic;">tiada pasti berjejak… </span><br /><span style="font-style: italic;">dan, ku tunggu kedatanganmu Nona…</span><br /><span style="font-style: italic;">di menara piramid cinta</span><br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Cairo, 17 Oktober 2006</span><br />“Harap Yang Berharap“<br /></div>-Filantropy-http://www.blogger.com/profile/16607836676548676474noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4964149376457587432.post-41485279507217872962007-08-25T20:09:00.000+03:002007-10-17T00:33:24.223+02:00Minutes To Midnight<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg5zZrQZnL7MOcwi9RqlN25Ygjm9FMr6qi2iM3Qa4wRiIP0aoPKYP04FdJXCvultq8pOd3UvymitlNbbKfTP2TQpMRWsTHAXGdK6No5_bBfcktkMsPIIYi7NtfHJ2hUgfdNVYV76WfIMJ8/s1600-h/MenungguMU.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg5zZrQZnL7MOcwi9RqlN25Ygjm9FMr6qi2iM3Qa4wRiIP0aoPKYP04FdJXCvultq8pOd3UvymitlNbbKfTP2TQpMRWsTHAXGdK6No5_bBfcktkMsPIIYi7NtfHJ2hUgfdNVYV76WfIMJ8/s200/MenungguMU.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5102687180650235330" border="0" /></a>Suara angin<br />Berbisik lirih<br /><br />Langit berwajah kelam<br /><br />Sinar rembulan<br />Pijar bintang<br /><br />Terbalut gumpalan awan<br /><br />Di atas gelap<br />Di bawah gulita<br /><br />Si hitam merayap<br /><br />Juwita menangis<br />Kejora terisak<br /><br />Sang bayu tertawa<br /><br />Dan kau...<br />Tertunduk pasrah<br /><br />Pada malam yang kian resah<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Cairo, 17 Mei 2007</span><br />"<span style="font-style: italic;">kala detik merajut semu</span>"-Filantropy-http://www.blogger.com/profile/16607836676548676474noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4964149376457587432.post-12593723134464847982007-08-25T15:24:00.000+03:002007-09-22T15:16:06.866+02:00Penyair yang Terlena<div style="text-align: justify;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhv17_xuncL8N7Tw9U1oKVuAy31bQyr6RMeKjvYlSJ_dhdGSbNEjCUX4FzOszBw_jipOQVHWgIUsKSiE8qPFnfGu93QNRiLacjOegvDpIsYbNVxvQMo1gsCdZ5asxKO1dn7i0Du2A2o5OU/s1600-h/Senja+Merah2.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhv17_xuncL8N7Tw9U1oKVuAy31bQyr6RMeKjvYlSJ_dhdGSbNEjCUX4FzOszBw_jipOQVHWgIUsKSiE8qPFnfGu93QNRiLacjOegvDpIsYbNVxvQMo1gsCdZ5asxKO1dn7i0Du2A2o5OU/s200/Senja+Merah2.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5102615347322209714" border="0" /></a>Seperti biasa, kala seluet senja hadir menghias hamparan langit sang penyair berlari ke tepi laut dan duduk terpaku di atas batu karang. Tangannya sambil membawa selembar kertas yang digenggamnya erat-erat. Seolah ia tak ingin kehilangan sesuatu yang berharga layaknya dokumen rahasia. Sesekali ia menulis. Entah, apa yang ia tuliskan. Sepertinya, tentang keindahan laut. Mungkin!<br /><br />Dari tengah laut gemuruh ombak terdengar seperti bernyanyi. Mengisi suasana sepi. Menelusup hati sang penyair yang terpaku sejak tadi. Seutas senyum tersungging di lekuk bibirnya. Kecut.<br /><br />Ia terpesona memandang burung-burung camar yang terbang melintasi bias pelangi yang kuncup di ufuk barat. Kejar-mengejar satu sama lain. Solek-menyolek bergantian. Sesekali hinggap di air mematuk ikan laut.<br /><br />Di ufuk barat senja kian temaram.<br /><br />Oh… Desahnya.<br /><br />Senja pun tertutup kabut hitam. Malam datang. Siang bertandang.<br /><br />Dan, penyair itu tetap terpaku di atas batu karang. Entah, apakah ia keasyikan menikmati malam di pinggir lautan, atau jangan-jangan ia terlena oleh satu hal yang sedang menimpa batinnya.<br /><br />Apa itu...?<br /><br />Aku tak bisa menjawabnya!<br /><br /><span style="font-style: italic;">Ssst...</span> Ia telah beranjak. Sejurus kemudian, ia turun dari batu karang. Dengan langkah gontai sang penyair pulang.<br /><br />Entahlah, perasaan apa yang ia dapatkan dari pinggir laut itu. Mungkinkah di sana ia mencari ketenangan hati. Atau barangkali di sana ia menorehkan luka hatinya.<br /><br />Aku masih tak tahu!<br /><br /><div style="text-align: center;">***<br /></div><br />Malam ini sang penyair tidak berteriak-teriak seperti malam-malam sebelumnya. Ia diam. Tanpa suara. Tanpa pekik rintih. Hanya komat-kamit mulutnya yang berbisik dalam keremangan purnama. Betulkah itu adalah mantranya untuk membuat dirinya tenang dalam kesunyian.<br /><br />Bimbang... Bingung… Berbaur menjadi satu dalam otakku. Karena aku pun tak bisa menguraikannya. Aku hanya mampu bertanya-tanya pada pekatnya malam.<br /><br />Mungkinkah sang penyair terjerat asmara. Terbuai pahit-manisnya cinta. Jika iya. Kenapa ia harus terlena seperti orang gila. Jika pun tidak. Sepedih apakah luka yang menyayat hatinya. Sebegitu kejamkah wanita yang ia cintai mengupas kesetiaannya. Hingga ia yang kukagumi, kini menjadi manusia lemah tanpa daya.<br /><br />Tanpa menunggu sebuah jawaban, aku pun sadar. Ternyata cinta memang tidak memandang siapa-siapa. Ia datang bagai misteri. Pergi laksana petir menyambar bumi. Cinta…Cinta… Absolut! Tak mengenal logika. Pun tak mengenal batas dunia.<br /><br />Tidak cukup mengartikulasikan cinta hanya dengan satu kata. Dua kata. Bahkan ribuan kata sekalipun untuk dapat merealisasikan keadaan yang sebenarnya. <span style="font-style: italic;">Mustahil</span>. Sebab, keberadaannya terlalu misterius untuk ditelusuri. Terlalu naif untuk dicermati.<br /><br />Bukankah, dunia ada karena cinta. Manusia menjadi sempurna. Kehidupan menjadi bernyawa. Alangkah agungnya cinta. Hingga dapat mengharumkan alam semesta.<br /><br />Tapi, entah kenapa…<br /><br />Justru karena keberadaan cinta itulah dunia yang semestinya indah penuh makna, malah menjadi ladang pertumpahan darah. Manusia berwajah srigala. <span style="font-style: italic;">Duh</span>, inikah makna cinta yang terpatri dalam lembar kehidupan manusia...<br /><br />Aku hanya bisa termangu.<br /><br /><div style="text-align: center;">***<br /></div><br />Seperti biasa, malam kian larut. Sang penyair hanya termenung di pojok kamar yang sunyi. Matanya menatap jauh ke langit. Telinganya menikmati suara lirih dari sebrang. Angin meniup kencang gurun sahara. Pasir bertaburan ke mana-mana. Hingga menempel di jubah sang penyair yang sedang terlena.<br /><br />Tapi, ia biarkan begitu saja debu-debu itu melekat di jubahnya. Ia khusuk menyimak dan menikmati alunan suara lirih yang didengarnya itu. Sesaat, ia ikut bersuara. Persis seperti suara itu. Sedikitpun tak ada yang beda. Persis. Ia terdiam, ketika bunyi itu hilang dan lenyap ditelan pekat. Bersuara lagi, ketika terdengar suara lirih tadi. Dan begitu seterusnya... Sampai malam bertandang. Pagi datang menjelang.<br /><br />Entahlah, kenapa ia jadi seperti itu. Menjadi terlena hanya karena sebait kata cinta. Padahal ia adalah seorang penyair yang tegar. Tidak cengeng. Dan paling tidak suka berbicara kata cinta.<br /><br />Dulu, sebelum ia dijuluki sebagai penyair, kutahu dirinya hanyalah orang biasa yang selalu membuat jeda (jarak) pada setiap wanita. Bahkan ketika para wanita hendak mendekati dirinya, ia menghindar. Pergi menjauh. Jauh. Dan jauh... Sampai akhirnya wanita itu tidak bisa melihatnya lagi.<br /><br />Tapi kini, ia berbeda dari yang kukenal dulu. Sekarang ia menjadi lemah tanpa daya. Mungkinkah lantaran kepenyairannya itu cinta datang mengetuk pintu hatinya. Dan membuatnya terlena sampai sekarang? <span style="font-style: italic;">Bisa jadi benar</span>. Sebab, ia berubah drastis setelah mempunyai jiwa kepenyairan.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Siang ia menulis kata cinta. Dan malam ia melukis panah asmara.</span><br /><br />Gejolak nafsu telah menguasai dirinya untuk mendapatkan sesuatu yang dirasa sebagai kenikmatan surga. Ia terlalu berharap pada janji mata yang tidak nyata. Terbuai wangian dunia. Sehingga bukanlah kebahagian yang ia dapatkan, akan tetapi sebuah penderitaan yang harus ia telan.<br /><br />Nyatanya... Siapa yang bisa mengira sifat manusia utuh selamanya. Tidak berubah. Teguh dalam pendirian. Kokoh mempertahankan sikap. Sepertinya, tidak ada!!! Semuanya akan berubah. Berubah. Dan berubah.<br /><br />Kemudian lenyap. Hilang. Tidak berbekas. Raib.<br /><br /><div style="text-align: center;">***<br /></div><br />Seperti biasa, di setiap pagi yang datang, malam yang bertandang. Kulihat, ia tetap seperti hari-hari sebelumnya. Membisu. Ngelamun. Menyendiri. Di pojok kamar yang sunyi.<br /><br />Tatapan lesu tersirat di kelopak matanya yang sayu. Semangatnya yang membara kini padam entah ke mana. Mungkinkah karena asa yang terpendam? Mungkin! Sebab, keterlenaannya pada seorang wanita telah melenyapkan kekuatan jiwanya.<br /><br />Lalu, siapakah wanita itu? Ada yang bertanya tiba-tiba. Entah, itu darimana dan siapa.<br /><br />Sungguh, aku pun masih belum tahu! Apakah wanita yang ia cintai menolak cintanya. Kumencoba menjawabnya.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Ah</span>, tidak mungkin! Sebab, ia termasuk sederet penyair yang selalu digemari oleh wanita. Ketika<span style="font-style: italic;"> pas</span> di atas panggung, siapa yang tidak akan bergetar dan tertarik melihat penampilannya yang memukau.Apalagi ketampanannya yang sempurna.<br /><br />Tapi... Benarkah ketampanan itu adalah modal utama untuk mendapatkan cinta dari seorang wanita? Kalau pun benar, kenapa ia mesti terlena.<br /><br />Keherananku tidak hanya berhenti sampai di situ. Aku terus menelusuri sisi kehidupannya, hingga akhirnya aku dapat merasakan sedikit demi sedikit apa yang ia alami. Seketika nafasku naik turun. Aliran darahku tercekat. Dekup jantungku melemah. Sepotong hatiku seperti copot dari sarangnya.<br /><br />Ternyata... Kepedihan yang dirasa sang penyair itu benar-benar luar biasa. Perih. Sakit. Aku merasakannya lewat naluri. Terendap laraku dalam kesedihan yang menyiksa diri. Nyatanya, aku masih lebih lemah darinya. Sungguh, ia cukup sabar menjalaninya. Walaupun di dasar hatinya selalu mengadu kesakitan yang tiada tara. Dahsyat!<br /><br />Akhirnya... Rasa kagumku terkuak dalam kalbu.<br /><br />Telah kutemukan kepedihan yang membuat diri sang penyair terlena sampai membatu. Kemudian tanpa disuruh mulutku berucap kelu, "<span style="font-style: italic;">engkau yang terlena kini termakan api asmara</span>." Waduh!<br /><br /><span style="font-style: italic;">Wahai... Sang Penyair!</span> <span style="font-style: italic;">Maafkan diriku yang telah berani menulis sepenggal cerita tentang keterlenaanmu itu. Sebab esok, aku berharap kisahmu ini menjadi guratan makna sejarah bagi Ibu Pertiwi. Negeriku yang sakti. Tempat aku kembali mengabdi pada Bhinneka sejati.</span><br /><br />Pada senja yang menabur luka. Kusudahi cacatan pinggir ini sebagai pengantar jejak langkahku di gurun sahara.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Cairo, 04 September 2006</span><br />"<span style="font-style: italic;">awal yang indah menapaki negeri piramida</span>"<br /></div>-Filantropy-http://www.blogger.com/profile/16607836676548676474noreply@blogger.com0