Tuesday, November 06, 2007

Gadis Mesir

DAN tidak seperti biasanya sepulang dari IKBAL aku mampir ke rumah teman-teman. Tapi kali ini aku langsung menuju rumah Ghi’. Di sana aku shalat Asyar. Setelah selesai, seperti biasa aku membaca beberapa lembar ayat Al-Qur’an. Sesudah itu aku membaca novel karya Saudara Furqon Hidayat. Seorang pemuda asal Purbalingga yang sudah berhasil membukukan satu buah karya masterpiece-nya, yang dalam hal ini juga mendapat dukungan dari pihak KBRI-Kairo. Inilah yang kubaca sekarang ‘Gundukan Tanah Cinta’.

Novel berlatar belakang Mesir ini mendapat apresiasi luar biasa dari pihak pembaca, khususnya di kalangan Masisir (Mahasiswa Indonesia Mesir). Dan bagi aku sendiri -selaku pembaca- menilai novel ini cukup sederhana. Praktis dan tidak berbelit. Di dalamnya tersaji racikan kisah cerita yang mengharu biru.

Sampai di halaman yang entah keberapa, tiba-tiba aku dikejutkan bunyi jam dinding. Nyaring. Kulihat ke atas, jam sudah menunjukkan pukul 18:30 waktu Kairo. Berarti aku harus pulang. Aku pamitan pada semua penghuni rumah, terlebih pada saudaraku yang satu itu. Seperti biasa, kami berpelukan dan bergantian menempelkan pipi. Bukan homo, tapi inilah makna persahabatan di antara kami. Menarik bukan!

@@@

Awal cerita yang tak pernah kuduga sebelumnya.

Dari arah Zahra' mobil angkotan mulai menampakkan batang hidungnya. "Sabi'..." Begitulah teriakan Kernit pada setiap orang yang berada di pinggir jalan. Di depan sang Sopir mengacungkan dua jari sebagai tanda bahwa itu daerah Sabi'. Aku pun mengacungkan dua jariku persis seperti Sopir itu. Mobil angkotan itupun berhenti di depanku. Si Kernit bertanya, "Sabi'?" Aku mengangguk. Kemudian Kernit itu menyuruhku masuk. Aku duduk di bangku paling belakang. Di dalam aku bertemu dengan anak Indonesia, yang kebetulan juga kuliah di Al-Azhar University. Ia menyalamiku, aku pun menjawab salamnya.

Selama dalam perjalanan kami saling tukar cerita, mulai cerita berangkatnya dari Indonesia sampai setiba di Mesir. Tak terasa cerita di antara kami mengalir seperti laju mobil. Namun cerita itu berakhir ketika mobil yang kami tumpangi tiba di Sabi’. Sebelum turun, kusempatkan untuk berpamitan terlebih dulu, "Mas, aku duluan yah!"

"Ok. Senang bertemu denganmu. Semoga kita bisa bertemu lagi," jawabnya seraya menjulurkan tangan kanannya. Oh, ia ngajak bersalaman rupanya.

Busyet deh! Hampir lupa pula aku berjabat tangan denganya, "eh, ya. Sama-sama." Senyumku mengambang.

Setelah turun dari mobil, kulihat anak itu melambaikan tangannya ke arahku. Spontan terangkat juga tanganku. Aku membalas lambaiannya. Kemudian aku berbalik arah. Sejenak aku menunggu hilir mudik para pengendara mobil, setelah jalanan agak lenggang baru aku menyebrang. Di studio aku menyerahkan kertas kecil pada perempuan berkulit hitam langsat.

"Sepertinya perempuan ini berasal dari Negeria," pikirku dalam hati. “Ah, rupanya bukan hanya penduduk Indonesia yang mengadukan nasib ke negeri orang,” lanjutku bergumam.

Kuperhatikan dengan seksama, perempuan tersebut sibuk mengacak-acak semua bungkusan-bungkusan foto yang ada di dalam lemari. Ketika bungkusan fotoku ketemu, perempuan itu menyerahkannya padaku. Kuucapkan terimah kasih, kemudian keluar dari studio.

Sesampainya di luar aku langsung menuju Mahattoh. Di sana aku menunggu mobil angkotan yang ke arah Rob'ah. Jelang beberapa menit, sebuah mobil berwarna putih dengan bemper biru berhenti di depanku. Kuhampiri, lalu aku bertanya, "Rob'ah?"

"Ayuwah," jawab Sopir ramah.

Aku naik, dan ternyata di dalam sudah banyak para penumpang lainnya. Aku mencari kursi kosong, masih ada satu. "Hamdulillah," syukurku. Kemudian aku duduk tanpa memperhatikan keadaan di samping, di depan dan di belakang. Mobil mulai berjalan pelan. Sementara kepala si Kernet masih melongo ke luar sambil berteriak, “Rob’ah... Rob’ah... Rob’ah...”

Seperti biasa, selembar uang 50 Kirs, separuh dari 1 LE hendak kuserahkan pada Kernitnya. Tapi kali ini, uang itu...

Gadis Mesir dengan mata sayu, hidung mancung, lekuk bibir menawan dan semua yang kulihat darinya takkan pernah cukup jika hanya lewat sentuhan kata, spontan meraih selembar uang yang hendak kuserahkan itu.

"Isymahli 'an u'tiyahu," sapanya tiba-tiba. Lembut sekali.

Aku tersentak. Bola mataku terbelalak. Dan hatiku berdetak. Sedikitpun aku tidak bisa berucap. Mungkin karena aku senang, gembira, atau mungkin juga karena aku tidak paham gaya bahasanya. Entahlah, aku hanya bisa mengangguk. Heran dan takjub.

Deru mobil yang kami tumpangi berjalan cukup alot. Kadang cepat, terkadang pula lambat. Sesekali kulirik Gadis Mesir yang duduk pas di sampingku, “anjrit!” Gumamku. Ternyata ia lebih ganas lagi. Tanpa rasa peduli terhadap penumpang yang lain, ia seolah-olah telah menyempatkan waktu untuk memandangiku, dan mungkin juga aku.

Kukira kau senang menatapku karena di Negerimu aku orang asing. Aku pendatang dari Negeri jauh. Dan, bukankah dirimu dalam penilaianku seperti itu pula. Sama. “Kau asing bagiku, jangan salah jika aku terpesona melihatmu." Sepertinya, kalimat itulah yang pertama kali terlintas dalam benak si Gadis Mesir, mungkin juga benakku.

Jujur, walau itu pahit, aku ingin sekali berbicara dengannya. Lebih jauh lagi ingin mengucapkan terima kasih atas kebaikannya. Tapi, aku tidak begitu mengerti bahasanya, ia pun sepertinya begitu, takkan paham bahasaku. Bahasa kita bukanlah bahasa Internasional. Aku membatin. Lemas seketika.

Aku merasakan hembusan nafas yang tak teratur. Kumelirik. Diampun menjadi tanda yang tak mampu kujawab. Akhirnya... Aku hanya bisa pasrah menyampaikan pesan lewat isyarat pandangan mataku yang sesekali berpadu dengan tatapannya. Ya, hanya itu!

@@@

Roda terus berputar. Dan perjalananku akan segera sampai. Iseng, selagi belum turun dari mobil kuambil buku novel dalam tas. Ketika hendak kubaca, silau mata Gadis Mesir itu terpancar ke arahku. Kecantikan dan keindahannya menjadi cermin dalam lembar kertas novel Gundukan Tanah Cinta yang kubawa. Seketika aku menjadi canggung. Kadang kala aku kesal, terkadang pula aku merasa bodoh karena tidak bisa berbahasa Arab dengan lancar. "Jancuk!" Makiku dalam hati. Novel itu tidak jadi kubaca. Lalu kumasukkan lagi dalam tas.

Di depan, perempatan jalan raya Rob'ah sudah semakin dekat. Sebentar lagi aku akan turun. Rasa penarasan, kekecewaan, kekesalan, kebahagiaan, ketidakpuasan semua melebur dalam otakku. “Kenapa untuk bertutur sapa saja aku terlalu kaku. Tidak berani. Takut. Dasar bego’!!!“ Kembali aku memaki diri sendiri.

Ketika mobil hampir sampai di perempatan Rob’ah aku berucap, "lausamah, kuddem 'ala gambak, ya Kapten!" Nada suaraku seperti dipaksakan. Gadis itu melirik. Senyumnya merekah. Seperti sedang melontarkan pesan untukku, entah apa itu.

Entahlah, kini perasaanku semakin tak karuan setelah jauh darinya. Padahal baru bertemu dalam sekejab. Dan itu membuatku terpelanting dalam jurang ketidakberdayaan menahan emosi yang kian membuncah. Duduk di sampingnya seolah-olah kutemukan detak kehidupan yang begitu dahsyat. Tapi, kupaksakan untuk tidak mustahil. “Itu tidak mungkin!” Aku membatin.

Aku harus tegas dalam hal ini. Walau kenyataannya sangat berat, aku akan tetap memilih; mana yang lebih penting untuk aku jalani. Bukankah hidup adalah sebuah pilihan. Jadi, aku harus mempunyai sikap itu. Batinku menghancurkan pagar emosiku.

"Mesyi," jawab Sopir kemudian. Dan mobil pun sampai di ujung perempatan jalan. Aku turun. Untuk yang terakhir kalinya, setidaknya saat ini, kupuaskan diri memandang elok wajahnya.

Kelopak mata itu... Hidung itu... Senyum itu... Lekuk bibir itu... Adalah Si Gadis Mesir berbaju biru Akan selalu abadi dalam ingatanku Dan akan selalu begitu Untuk selamanya...

@@@

Aku yang berdiri mematung di pinggir jalan menjadi lemas seketika, tidak bergairah. Penyesalan datang di akhir tarian mentari. Mobil yang kutumpangi semakin jauh dariku. Dan Gadis Mesir itu..., seketika lenyap dalam kelopak mataku yang kian basah.

"Kenapa aku bodoh..." Hujatku pada senja yang kian lembayung.


Rabea El-Adawea, 21 Mei 2007

Keterangan:
1. IKBAL : Sekretariat Keluarga Besar Al-Amien, cab. Kairo-Mesir
2. Bukroh : Besok
3. Zahra' : Daerah yang terletak di kawasan Nasr City
4. Sabi' : Terminal mobil
5. Mahattoh : Halte
6. Rob'ah : Daerah metropolitan. Letaknya di Jantung kota Kairo
7. Ayuwah : Baik/Oke
8. 50 Kirs - 1 LE : Nama mata uang Mesir
9. Isymahli 'an u'tiyahu : Kalau boleh, biar saya yang memberikannya
10. Lausamah,kuddem 'ala gambak, ya Kapten! : Permisi, di depan saya turun, Pak!
11. Mesyi... : Oke...

No comments: