Saturday, August 25, 2007

Penyair yang Terlena

Seperti biasa, kala seluet senja hadir menghias hamparan langit sang penyair berlari ke tepi laut dan duduk terpaku di atas batu karang. Tangannya sambil membawa selembar kertas yang digenggamnya erat-erat. Seolah ia tak ingin kehilangan sesuatu yang berharga layaknya dokumen rahasia. Sesekali ia menulis. Entah, apa yang ia tuliskan. Sepertinya, tentang keindahan laut. Mungkin!

Dari tengah laut gemuruh ombak terdengar seperti bernyanyi. Mengisi suasana sepi. Menelusup hati sang penyair yang terpaku sejak tadi. Seutas senyum tersungging di lekuk bibirnya. Kecut.

Ia terpesona memandang burung-burung camar yang terbang melintasi bias pelangi yang kuncup di ufuk barat. Kejar-mengejar satu sama lain. Solek-menyolek bergantian. Sesekali hinggap di air mematuk ikan laut.

Di ufuk barat senja kian temaram.

Oh… Desahnya.

Senja pun tertutup kabut hitam. Malam datang. Siang bertandang.

Dan, penyair itu tetap terpaku di atas batu karang. Entah, apakah ia keasyikan menikmati malam di pinggir lautan, atau jangan-jangan ia terlena oleh satu hal yang sedang menimpa batinnya.

Apa itu...?

Aku tak bisa menjawabnya!

Ssst... Ia telah beranjak. Sejurus kemudian, ia turun dari batu karang. Dengan langkah gontai sang penyair pulang.

Entahlah, perasaan apa yang ia dapatkan dari pinggir laut itu. Mungkinkah di sana ia mencari ketenangan hati. Atau barangkali di sana ia menorehkan luka hatinya.

Aku masih tak tahu!

***

Malam ini sang penyair tidak berteriak-teriak seperti malam-malam sebelumnya. Ia diam. Tanpa suara. Tanpa pekik rintih. Hanya komat-kamit mulutnya yang berbisik dalam keremangan purnama. Betulkah itu adalah mantranya untuk membuat dirinya tenang dalam kesunyian.

Bimbang... Bingung… Berbaur menjadi satu dalam otakku. Karena aku pun tak bisa menguraikannya. Aku hanya mampu bertanya-tanya pada pekatnya malam.

Mungkinkah sang penyair terjerat asmara. Terbuai pahit-manisnya cinta. Jika iya. Kenapa ia harus terlena seperti orang gila. Jika pun tidak. Sepedih apakah luka yang menyayat hatinya. Sebegitu kejamkah wanita yang ia cintai mengupas kesetiaannya. Hingga ia yang kukagumi, kini menjadi manusia lemah tanpa daya.

Tanpa menunggu sebuah jawaban, aku pun sadar. Ternyata cinta memang tidak memandang siapa-siapa. Ia datang bagai misteri. Pergi laksana petir menyambar bumi. Cinta…Cinta… Absolut! Tak mengenal logika. Pun tak mengenal batas dunia.

Tidak cukup mengartikulasikan cinta hanya dengan satu kata. Dua kata. Bahkan ribuan kata sekalipun untuk dapat merealisasikan keadaan yang sebenarnya. Mustahil. Sebab, keberadaannya terlalu misterius untuk ditelusuri. Terlalu naif untuk dicermati.

Bukankah, dunia ada karena cinta. Manusia menjadi sempurna. Kehidupan menjadi bernyawa. Alangkah agungnya cinta. Hingga dapat mengharumkan alam semesta.

Tapi, entah kenapa…

Justru karena keberadaan cinta itulah dunia yang semestinya indah penuh makna, malah menjadi ladang pertumpahan darah. Manusia berwajah srigala. Duh, inikah makna cinta yang terpatri dalam lembar kehidupan manusia...

Aku hanya bisa termangu.

***

Seperti biasa, malam kian larut. Sang penyair hanya termenung di pojok kamar yang sunyi. Matanya menatap jauh ke langit. Telinganya menikmati suara lirih dari sebrang. Angin meniup kencang gurun sahara. Pasir bertaburan ke mana-mana. Hingga menempel di jubah sang penyair yang sedang terlena.

Tapi, ia biarkan begitu saja debu-debu itu melekat di jubahnya. Ia khusuk menyimak dan menikmati alunan suara lirih yang didengarnya itu. Sesaat, ia ikut bersuara. Persis seperti suara itu. Sedikitpun tak ada yang beda. Persis. Ia terdiam, ketika bunyi itu hilang dan lenyap ditelan pekat. Bersuara lagi, ketika terdengar suara lirih tadi. Dan begitu seterusnya... Sampai malam bertandang. Pagi datang menjelang.

Entahlah, kenapa ia jadi seperti itu. Menjadi terlena hanya karena sebait kata cinta. Padahal ia adalah seorang penyair yang tegar. Tidak cengeng. Dan paling tidak suka berbicara kata cinta.

Dulu, sebelum ia dijuluki sebagai penyair, kutahu dirinya hanyalah orang biasa yang selalu membuat jeda (jarak) pada setiap wanita. Bahkan ketika para wanita hendak mendekati dirinya, ia menghindar. Pergi menjauh. Jauh. Dan jauh... Sampai akhirnya wanita itu tidak bisa melihatnya lagi.

Tapi kini, ia berbeda dari yang kukenal dulu. Sekarang ia menjadi lemah tanpa daya. Mungkinkah lantaran kepenyairannya itu cinta datang mengetuk pintu hatinya. Dan membuatnya terlena sampai sekarang? Bisa jadi benar. Sebab, ia berubah drastis setelah mempunyai jiwa kepenyairan.

Siang ia menulis kata cinta. Dan malam ia melukis panah asmara.

Gejolak nafsu telah menguasai dirinya untuk mendapatkan sesuatu yang dirasa sebagai kenikmatan surga. Ia terlalu berharap pada janji mata yang tidak nyata. Terbuai wangian dunia. Sehingga bukanlah kebahagian yang ia dapatkan, akan tetapi sebuah penderitaan yang harus ia telan.

Nyatanya... Siapa yang bisa mengira sifat manusia utuh selamanya. Tidak berubah. Teguh dalam pendirian. Kokoh mempertahankan sikap. Sepertinya, tidak ada!!! Semuanya akan berubah. Berubah. Dan berubah.

Kemudian lenyap. Hilang. Tidak berbekas. Raib.

***

Seperti biasa, di setiap pagi yang datang, malam yang bertandang. Kulihat, ia tetap seperti hari-hari sebelumnya. Membisu. Ngelamun. Menyendiri. Di pojok kamar yang sunyi.

Tatapan lesu tersirat di kelopak matanya yang sayu. Semangatnya yang membara kini padam entah ke mana. Mungkinkah karena asa yang terpendam? Mungkin! Sebab, keterlenaannya pada seorang wanita telah melenyapkan kekuatan jiwanya.

Lalu, siapakah wanita itu? Ada yang bertanya tiba-tiba. Entah, itu darimana dan siapa.

Sungguh, aku pun masih belum tahu! Apakah wanita yang ia cintai menolak cintanya. Kumencoba menjawabnya.

Ah, tidak mungkin! Sebab, ia termasuk sederet penyair yang selalu digemari oleh wanita. Ketika pas di atas panggung, siapa yang tidak akan bergetar dan tertarik melihat penampilannya yang memukau.Apalagi ketampanannya yang sempurna.

Tapi... Benarkah ketampanan itu adalah modal utama untuk mendapatkan cinta dari seorang wanita? Kalau pun benar, kenapa ia mesti terlena.

Keherananku tidak hanya berhenti sampai di situ. Aku terus menelusuri sisi kehidupannya, hingga akhirnya aku dapat merasakan sedikit demi sedikit apa yang ia alami. Seketika nafasku naik turun. Aliran darahku tercekat. Dekup jantungku melemah. Sepotong hatiku seperti copot dari sarangnya.

Ternyata... Kepedihan yang dirasa sang penyair itu benar-benar luar biasa. Perih. Sakit. Aku merasakannya lewat naluri. Terendap laraku dalam kesedihan yang menyiksa diri. Nyatanya, aku masih lebih lemah darinya. Sungguh, ia cukup sabar menjalaninya. Walaupun di dasar hatinya selalu mengadu kesakitan yang tiada tara. Dahsyat!

Akhirnya... Rasa kagumku terkuak dalam kalbu.

Telah kutemukan kepedihan yang membuat diri sang penyair terlena sampai membatu. Kemudian tanpa disuruh mulutku berucap kelu, "engkau yang terlena kini termakan api asmara." Waduh!

Wahai... Sang Penyair! Maafkan diriku yang telah berani menulis sepenggal cerita tentang keterlenaanmu itu. Sebab esok, aku berharap kisahmu ini menjadi guratan makna sejarah bagi Ibu Pertiwi. Negeriku yang sakti. Tempat aku kembali mengabdi pada Bhinneka sejati.

Pada senja yang menabur luka. Kusudahi cacatan pinggir ini sebagai pengantar jejak langkahku di gurun sahara.


Cairo, 04 September 2006
"awal yang indah menapaki negeri piramida"

No comments: