Wednesday, August 22, 2007

Musim Semi di Tengah Perjalanan

DI AKHIR SIANG. Senja mengukir indahnya negeri Piramida. Tabir-tabir langit terbias warna jingga. Awan saling kejar-mengejar. Sementara burung Camar terbang melayang-layang. Membentuk barisan seperti tentara perang. Indah...

Ah, tapi itu hanya sekejab.

Malam pun hadir dengan senyumnya yang gemulai. Membawa sekeranjang mimpi pada sekeping hati yang dirundung sedih.

"Duh, angin... Kau hadir membelaiku malam ini. Sejuk sekali." Desahku.

Kemerlip bintang-gemintang bergantungan di angkasa raya. Memancar elok. Berkilau indah. Sabit purnama berbentuk celurit. Bersama kelam, sepi datang merangkak di gerbong sunyi.

Perjalanan malam semakin kelam memayungi atap langit. Samar-samar. Misteri bergelantungan di tembok keraton putih. Datang menghantui diriku. Membungkam mulutku hingga tak bisa berseru. Sedih... Sedih!

"Indahkah jika seperti ini…?" Sebuah tanya yang berkutat dalam imaji.

Lagi-lagi aku sendiri. Di saat sunyi berpayung sepi. Hati menjadi sedih, ketika secercah kerinduan memanggil pujaan hati. Entah, kenapa hati menjadi sedih, kala seraut wajahnya kembali terpancar di kelopak mata. Akankah, kerinduan ini terus bertalu mengajak ingin bertemu. Ataukah, karena semakin dalamnya cintaku padanya, hingga batinku selalu berteriak memanggil namanya?

"Oh, malam..." Rintihku kini.

Aku memang tidak tahu! Tapi bantu aku hadirkan dia di sini. Agar kerinduan ini terobati. Aku ingin hidup mesra dengannya. Seperti mesranya purnama dengan bintang di tengah kegelapan malam. Dan, aku juga ingin menghapus kesedihan ini. Agar kisahku tak akan mati, tetap terukir indah sepanjang hari. Kekal abadi, sampai nanti...

###

Ayam berkokok di atas ranting pohon. Fajar datang menjemput pagi. Keluh-kesahku terpatri di jidat mentari yang tersenyum di ufuk yang tidak pernah kusinggahi. Aku terpana, sementara rinduku padanya semakin menggelora.

Kini bumi kembali dibias lampu yang terang menderang. Sang raja siang tiba. Sinarnya menerangi seluruh pelosok. Menjilat sisa-sisa kegelapan yang ditinggal oleh juwita malam.

Kicau burung bernyanyi dengan riang. Sepertinya, sejak tadi ia menunggu hadirnya sinar hangat mentari. Di pagi hari, bunga-bunga mulai bermekaran. Harum semerbak menjadi parfume dunia.

Penghuni rumah terpesona menyambut datangnya musim semi menghias pagi. Semuanya pada sibuk menikmati. Ada yang menulis, melukis, dan ada pula yang menggambar.

"Musim semi hadir dengan sejuta keindahan." Untaian kata yang terucap, kala musim semi hadir menyapa anak manusia.

Dan, aku hanya bisa melihat keindahan itu.

###

Mentari mulai bergeres dari singgasananya. Sinarnya kian menderang. Namun tidak terlalu menyengat seperti di musim panas. Adem-ayem.

"Aduhai... Alangkah enaknya cuaca hari ini. Tidak seperti hari-hari kemarin. Udaranya sepoi-sepoi membelai tubuh. Nikmatnya..." Entah suara siapa, kudengar riang. Sepertinya, orang itu sedang menikmati musim semi yang baru beranjak.

Kubuka jendela. Memang luar biasa.

Sendu-sedan dan suara hulu-balang orang ramai sekali. Ada yang hendak pergi mengajar, ada yang hendak pergi mencangkul, ada pula yang hendak pergi mengamen, mengemis dan berbagai macam tindakan yang lainnya.

"Pekerjaan itu adalah ibadah." Tiba-tiba suara itu kudengar lagi, entah darimana...

Aku melihat tubuhku dari cermin, naif. Tiada kegiatan yang hendak kukerjakan selain hanya merasakan hiruk-pikuk nafas manusia dan sendu-sedan yang bergemuruh. Entahlah, kesendirianku dalam kamar ini telah membawa pikiran terbang melayang jauh mencari seraut wajah ayu. Mengajak hati bertaut dengan semi yang baru beranjak mengisi lembaran hari.

"Mungkinkah asam di gunung, garam di lautan akan bercampur dalam satu periuk?" Tanyaku seketika pada semi yang berjalan mengitari matahari.

Bimbang.

Lamunanku jatuh pada seraut wajah ayu, elok nan rupawan. Ya, dialah gadis yang kupuja saat ini. Sebelum wajah itu kudekap, tiba-tiba matahari perlahan membentuk sapuan warna jingga. Salam terakhirnya di hari ini untuk penghuni bumi. Barangkali ia sudah lelah berkelana sepanjang hari. Dan ingin tidur nyenyak dalam belaian mesra sang juwita. Mungkin!

Malam pun tiba. Wajah cantik itupun lenyap seketika.

Sedih.

###

Malam kian merayap. Dan, aku masih sendiri.

Di gerbong sunyi aku berhenti. Bayangan pepohonan membuat suasana jadi suram. Untung ada beberapa titik bintang di langit membentuk percikan sinar terang. Kemudian malaikat datang mengusir setan dengan panah-panah kebesaran.

Udara malam berhembus pelan. Dingin merasuk palung hati.

Di sini, kembali pikiranku ingat akan keanggunan sikapnya yang lemah-lembut. Tanpa sadar, dia telah menjelma musim semi di tengah perjalanan.

"Jika sekarang dia berada di dekatku, hidupku akan menjadi lebih berarti. Hari-hariku akan bersemi. Seperti berseminya musim semi di pagi hari," gumamku pelan. Mengharap kepastian.

Namun, malam semakin kelam.

Dingin telah bergulir, merajut semi membentuk dimensi dalam palung hati. Lantaran kekasih hati terlalu jauh, maka hanya pada angin kutitipkan salam cinta untuk si dia yang jauh di sana.

Kemudian aku terlelap. Kelopak mataku terpejam.

Dan semi..., mengajakku berjalan menapaki mimpi yang tak pernah usai.


Nasr City, 30 Agustus 2006
"Larut dalam kesedihan, kala musim semi di tengah perjalanan."

No comments: